Jendral Sudirman—Bapak Tentara Nasional Indonesia—adalah salah satu aktor penggerak revolusi fisik yang dinilai paling menonjol di antara tokoh-tokoh lainnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam pertempuran Ambarawa dan Magelang (Desember 1945). Dalam agresi militer Belanda I (21 Juli-5 Agustus 1947) dan agresi militer Belanda II (19 Desember 1948), Pak Dirman sukses memimpin perang gerilya, memobilisasi perlawananperlawanan fisik di beberapa daerah di Pulau Jawa, hingga bangsa ini meraih pengakuan kembali sebagai bangsa yang merdeka.
Walaupun tubuh Pak Dirman tampak kurus, tetapi kharisma sebagai pemimpin dan semangat nasionalisme sebagai salah satu bapak pendiri bangsa, mampu merangkul faksi-faksi dalam barisan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang pada waktu itu didominasi oleh eks tantara PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger), di samping juga pejuang-pejuang dari berbagai kelaskaran umat Islam. Ketokohan dan popularitasnya mampu mengeliminasi nama-nama besar seperti Oerip Sumohardjo, Bung Tomo, dan Suryadarma dalam proses pemilihan Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada pertengahan November 1945. TKR inilah yang nantinya berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan kini menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tidak hanya diakui di kalangan pejuang nasionalis, ketokohan Pak Dirman juga sangat populer di kalangan organisasi-organisasi kelaskaran umat Islam, seperti Hizbullah dan Sabilillah. Di beberapa daerah, kelahiran kesatuan perang yang dibentuk oleh umat Islam dalam rangka mempertahankan kemerdekaan juga terinspirasi oleh ketokohan dan sepak terjang Pak Dirman. Asjkar Perang Sabil (APS) di Kauman, Yogyakarta, misalnya. Sekalipun terbentuknya APS tidak atas instruksi langsung dari Pak Dirman, tetapi pasukan perang lokal ini terinspirasi oleh sepak terjang Panglima Besar yang gigih memimpin perang gerilya demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Warga Muhammadiyah patut berbangga hati karena latar belakang Pak Dirman adalah kader Muhammadiyah. Lahir pada 7 Februari 1916 di Rembang, Jawa Tengah, Pak Dirman menempuh pendidikan di HIS Purwokerto, kemudian melanjutkan ke Taman Dewasa, lalu pindah ke perguruan Wiworo Tomo. Pendidikan terakhirnya di HIK Muhammadiyah Solo. Setelah lulus HIK Muhammadiyah, Pak Dirman menjadi guru di HIS Muhammadiyah Solo dan aktif dalam kepengurusan Hizbul Wathan. Setelah pindah ke Purwokerto, ia aktif sebagai anggota Muhammadiyah. Puncak karir Pak Dirman di Muhammadiyah sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah daerah Banyumas. Sebelum berkarir di dunia militer, selain aktif di kepanduan HW, Pak Dirman muda pernah bergabung dalam barisan Lucht Bescherming Dinest (LBD), sebuah Lembaga Dinas Perlindungan Udara yang dibentuk sejak tahun 1939 oleh rezim kolonial Belanda.• (muarif)
___
Tulisan ini dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 20 tahun 2018
Baca juga
Hizbul Wathan Wariskan Nilai-Nilai Perjuangan Jenderal Soedirman
Kokam Harus Mampu Meneruskan Tradisi Disiplin Jenderal Soedirman
Djoko Suryo: Muslim Modernis Mempercepat Kemerdekaan Bangsa