Memahami Muhammadiyah di Aras Lokal

BANTUL, Suara Muhammadiyah – Program Doktor Politik Islam – Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar Seminar Buku Muhammadiyah di Aras Lokal. Acara berlangsung di Pascasarjana UMY, Rabu (30/1).

Menghadirkan Guru Besar Antropologi asal Korea Selatan Hyung-Jun Kim dari Department of Cultural Antropology Kangwon National University. Kim menjelaskan tentang penelitiannya mengenai perkembangan Islam yang dilakukan di sebuah desa di Sleman pada 1992-1994.

Dari penelitian tersebut kemudian dicetak dalam bentuk buku berjudul Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta yang diterbitkanlah oleh Suara Muhammadiyah. Menurutnya terjadi proses perubahan di desa yang menyadari tentang pentingnya Islam.

Hal tersebut dibawa oleh mereka yang mempunyai pendidikan lebih tinggi misalnya sarjana. Mereka berusaha memobilisasi masyarakat untuk mengikuti pengajian dan berusaha memahami Islam untuk lebih sempurna. “Islam dianggap sebagai simbol modern,” kata Kim.

Hanya saja, kata Kim, gerakan dakwah dari ranting Muhammadiyah setempat kurang begitu terasa. Kim juga bertanya kepada aktivis Muhammadiyah yang tinggal di desa tetapi mereka tak memberitahu dirinya sebagai aktivis. “Mereka menyembunyikan identitas sebagai aktivis Muhammadiyah,” katanya.

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Abdul Munir Mulkhan mengapresiasi apa yang telah dilakukan Kim. Senada dengannya, Munir mengungkapkan bahwa perubahan di pedesaan dimotori oleh mereka yang memiliki pendidikan.

Menurutnya kesadaran orang Islam bersekolah merupakan jasa orang Muhammadiyah. Hal tersebut dilakukan Muhammadiyah saat Kongres Islam di Cirebon pada 1921. “Muhammadiyah lah yang pertama kali mendorong masyarakat Islam untuk bersekolah,” ungkap Munir.

Munir mengungkapkan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) muncul dari kreator orang-orang di bawah. Dalam dokumen Muhammadiyah disebut inti jamaah yang disebut Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ).

“Setiap anggota Muhammadiyah ditetapkan sebagai inti jamaah yang mempunyai tugas untuk menggerakkan masyarakatnya dia tinggal tanpa harus menggunakan simbol-simbol Muhammadiyah, dan tanpa dia harus tampil di depan untuk memimpin. Tujuannya menggerakkan masyarakat untuk memecahkan persoalan-persoalan hidupnya,” ungkapnya.

Selain itu Munir mengungkapkan tentang asas Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang terbit pada sekitar tahun 1920-an. Muhammadiyah menyelenggarakan Amal Usaha seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan, rumah miskin, dan lain sebagainya bukan untuk mengislamkan orang, bukan juga untuk memuhammadiyahkan orang. “Semua dilakukan semata-mata demi kemanusiaan atas nama ajaran Islam,” imbuh Munir.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Sjafri Sairin menegaskan bahwa perubahan dilakukan oleh creative minority. “Terbukti bahwa kaum terpelajar itulah yang mengubah tata nilai, karena ini sesuai, meminjam istilah Webber, dengan visi Muhammadiyah itu reformis,” kata Sjafri. Apa yang dilakukan agar tujuan masyarakat terwujud.

Selain itu, kata Sjafri, perubahan terjadi juga karena lingkungan. Dalam keadaan seperti sekarang ini terjadi perubahan yang sangat luar biasa seperti keguncangan di masyarakat termasuk di pedesaan. Dalam kegoncangan tersebut masyarakat mencari kenyamanan hidup yang disebut home (tempat bernaung dalam arti jiwa) bukan house (rumah dalam arti fisik). “Ini yang harus ditawarkan Muhammadiyah,” tandasnya. (RIZ)

Baca juga

Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban

Antropolog Korea Kagumi Tradisi Demokrasi di Muhammadiyah

KHA Dahlan, Sang Revolusioner Yang Bijaksana

Exit mobile version