Halaqah Kebangsaan Islam Berkemajuan

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Islam Berkemajuan merupakan watak dasar Muhammadiyah. Sejak awal mula, Kiai Ahmad Dahlan telah menggunakan kata ini, misalnya termuat dalam klausul di statuen (AD/ART) Muhammadiyah: “menggembirakan dan memajukan” pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad di Hindia Belanda. Karakter inilah yang mendorong Muhammadiyah menjadi pelopor kemajuan.

Setelah seabad lebih berlalu, Muhammadiyah tidak boleh terlena. Islam Berkemajuan perlu terus mencari format terbaik dalam ruang dan waktu yang terus berubah. Capaian dan kehebatan Muhammadiyah selama ini perlu terus ditopang dengan konsepsi, interpretasi, dan aksi Islam Berkemajuan.

“Mengapa Islam berkemajuan itu sangat penting? Karena kalau tidak, maka Indonesia kita akan berhenti, karena tidak maju, dan umat kita juga akan menjadi stagnant,” tutur Ketua PP Muhammadiyah dan sekaligus Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, Profesor Syafiq A Mughni, dalam pembukaan Halaqah Kebangsaan Cendekiawan dan Ulama Muhammadiyah di Jakarta, 6 Februari 2019.

Menurutnya, pasang surut peradaban Islam sepanjang sejarah sampai hari ini, perlu diambil pelajaran. Islam itu adalah apa yang ada dalam al-Quran dan Sunah Nabi. Muhammadiyah memiliki peran untuk menjadikan nilai-nilai dari Qur’an dan Sunnah itu mewarnai kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak hanya memahami Islam secara tekstual, namun juga secara kontekstual.

“Islam telah melewati pasang surut peradaban, maka kita harus mengambil pelajaran penting. Terutama adalah umat Islam akan maju jika terbuka. Tanpa keterbukaan maka peradaban sulit berkembang,” tuturnya. Kontekstualisasi Islam, kata Syafiq, mendorong umat untuk terbuka. Tanpa keterbukaan, maka peradaban Islam akan sangat sulit berkembang menjadi berkemajuan.

Pada masa keemasan Islam, para filosof dan ulama telah menunjukkan sebuah tradisi akademik yang mendorong umat untuk maju. Mereka mendapat kebebasan untuk berkarya, namun bertanggung jawab. Dari perdebatan dan dialog di antara mereka, melahirkan karya-karya yang sangat berharga dan dinikmati manfaatnya sampai hari ini.

Dalam upaya itu, Syafiq juga menyarankan untuk keluar dari batasan-batasan literalisme. Teks menjadi sesuatu yang sangat penting, namun ia tidak bisa menjadi penjelas secara utuh. Ada beberapa di antara kita yang melihat teks adalah segala-galanya dan seoalah ia tidak bisa ditakwilkan. Ini merupakan tantangan bagi Islam berkemajuan. Tantangan untuk menjelaskan bahwa teks dapat menjadi pintu masuk tafsir yang lebih luas dan terbuka. “Islam wasathiyah adalah salah satu ciri Islam Berkemajuan. Beragama secara tekstualis tidak bisa mengembangkan watak Islam Berkemajuan,” ujarnya.

Upaya kontekstualisasi Islam ini juga merupakan bagian dari membuka pintu ijtihad. Sehingga Islam senantiasa relevan dengan setiap zaman yang terus berubah. “Karakteristik ijtihad sudah dikembangkan oleh Muhammdiyah. Tanpa kita mengkontekstualkan Islam, bagaimana kita akan menjalani kehidupan kontemporer. Kita tidak mungkin bisa meletakkan nilai-nilai Islam jika kita tidak mengkontekstualkannya,” ungkapnya. Tantangan Islam Berkemajuan saat ini memang tidak mudah. Perlu upaya sistematis dan bergerak bersama agar Islam Berkemajuan terus menjadi bagian dari kemajuan umat dan bangsa.

Para tokoh yang hadir berfoto bersama dalam acara pembukaan Halaqah Kebangsaan (Foto: IB)

Halaqah Kebangsaan bertema: Reinvensi Islam Berkemajuan, Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi, yang diselenggarakan oleh Maarif Institute bekerjasama dengan Majelis Tarjih dan Tajdid serta Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah ini diawali dengan seminar yang menghadirkan Prof Ahmad Syafii Maarif, Prof M. Amin Abdullah, dan Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin.

Dalam paparannya, Buya Syafii mengharapkan supaya Muhammadiyah bisa membumikan Islam rahmatan lil alamin dalam wujud nyata. Selama ini Islam rahmatan lil alamin masih saja mengawang di langit. Perlu upaya serius agar Islam dapat dinikmati oleh seluruh alam dan di amalkan di seluruh bumi. Dalam hal ini, umat Islam juga perlu cerdas dalam memaknai antara Islam sebagai subtansti atau sebagai simbol. Pada saat yang sama juga bisa membedakan antara Islam yang otentik dan kebudayaan yang membungkusnya. Sehingga tidak mewariskan misguided arabism.

Menurutnya, Islam harus bisa memberi solusi bagi umat manusia. Itulah makna dari khairu ummah. Buya Syafii mengutip ungkapan gurunya Fazlurrahman: Islam yang tidak memberikan solusi bagi urusan kemanusiaan, bukanlah Islam yang sejati dan tidak memiliki masa depan.

Senada itu, Prof Amin Abdullah berharap Muhammadiyah senantiasa mengembangkan fresh ijtihad. Sebagaimana dulu di abad pertama, Muhammadiyah mampu menjadi pembaharu dan pelopor kemajuan. Dalam konteks hari ini, dunia sudah berubah dan terus bergerak maju, oleh karena itu, Muhammadiyah perlu untuk terus menelurkan ijtihad dalam artian mengawinkan antara normativitas teks dengan historisitas konteks zaman.

“Kita membutuhkan pemikiran-pemikiran segar dari para pemuda. Kita sebagai pemuda harus merumuskan jawaban atas berbagai persoalan, termasuk salah satunya adalah bagaimana cara melawan berbagai hoaks yang meraja akhir-akhir ini.  Dan juga pemuda hari ini harus mulai memikirkan bagaimana pendidikan agama hari ini dan bagaimana akhlak media sosial itu,” tukas mantan ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini.

Beberapa narasumber lainnya yang akan menyampaikan gagasannya dalam forum ini adalah Prof Azyumardi Azra, Prof Muhadjir Effendy, Prof Alyasa Abubakar, Prof Syamsul Anwar, Prof Lyncolin Arsyad, Prof Abdul Munir Mulkhan, Prof Mahfud MD, Dr Abdul Mu’ti, Drs Hajriyanto Y Thohari, Dr Ahmad Najib Burhani, Dr Fuad Jabali, Dr Chairil Anwar, Dr Siti Syamsiatun, Dr Haryatmoko, Dr Dina Afrianty, Dr Hilman Latief, Radhar Panca Dahana, Wawan Gunawan Abdul Wahid MA, Irfan Amalee MA. (ribas/bs)

Exit mobile version