GARUT, Suara Muhammadiyah –Muhammadiyah mengusung Islam berkemajuan sebagai konsep dakwahnya. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam ceramahnya pada acara Sewindu Ponpes Al-Furqon MBS Cibiuk Garut, Ahad (3/2) menjabarkan Islam berkemajuan tersebut.
Pertama, Islam adalah dienul iqra. Islam mengajari kita untuk iqra, tafakkur, tadabbur. Ia adalah dienul fikrah. Banyak sekali perintah tentang tafaqquh, nadhar, tadabbur, ulil albab. Surat dan wahyu pertama adalah iqra. Kenapa wahyu pertama bukan tentang shalat? Ini adalah rahasia yang besar. Oleh karena itu, muhammadiyah membangun madrasah. “Muhammadiyah Boarding School seperti Al Furqon ini adalah madrasah versi modern. Klasiknya tetap dapat, tetapi modernnya tidak ketinggalan. Konsepnya, santri dibentuk untuk mengecap wawasan yang luas. Tak hanya menguasai ilmu agama, tetapi menguasai juga ilmu pengetahuan umum. Nantinya akan melahirkan kader muhammadiyah yang mampu memimpin umat dan bangsa,” paparnya.
Kiai Mas Mansur, lanjutnya, adalah empat serangkai bersama Soekarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara. Tokoh muhammadiyah yang ada BPUPKI adalah Prof Kahar Muzakir dan Ki Bagus Hadikusumo. Mereka adalah tokoh nasional yang lahir dari rahim pendidikan Muhammadiyah. Ada Jenderal Sudirman yang lahir dari Kepanduan Hizbul Wathan. Dengan dibentuknya ‘Aisyiyah menunjukkan bahwa perempuan dapat berperan menjadi daiyah, mujaddid, pemikir dan penggerak dakwah. Sehingga pada tahun 1917 ‘Aisyiyah menjadi satu-satunya organisasi Islam perempuan yang dilahirkan dari Muhammadiyah. Sekarang ‘Aisyiyah menjadi satu-satunya organisasi perempuan di dunia yang mempunyai universitas.
Kedua, islam adalah dienul taghyir. Agama perubahan. Karena hanya kita yang bisa mengubah nasib kita sendiri. Soekarno terpikat oleh pemikiran-pemikiran Ahmad Dahlan ketika ia nge-kost di rumah Cokroaminoto pada usia 18 tahun. Di sana ia mengikuti pengajian Kyai Dahlan yang sebulan sekali ke Surabaya untuk mengisi pengajian. Hingga pada tahun 1933 dia resmi menjadi anggota Muhammadiyah. Pada tahun 1934-1935 ia di buang ke Ende dan di sana ia mengaku sebagai warga Muhammadiyah. Dalam suratnya kepada A Hasan, tokoh Persis, ia mengaku memilih Muhammadiyah karena pemikiran Muhammadiyah cocok dengan pemikirannya, yaitu Islam yang progresif, berkemajuan, dan pembaharu. Kemudian saat dia dibuang ke Bengkulu, ia menjadi menantu konsul Muhammadiyah Bengkulu, dengan menikahi Fatmawati, sang ibu negara penjahit bendera pertama. Fatmawati adalah kader Nasyiatul ‘Aisyiyah. Hingga terlontar dari bibirnya, “Makin lama saya makin cinta Muhammadiyah.”
Tak mungkin seorang yang haus pemikiran seperti Soekarno sampai tertarik pada pemikiran islam kalau tidak ada sesuatu yang berbeda. Muhammadiyah berpikiran maju, membawa ide-ide progresif, pembaharuan. Pertanyaannya, kenapa kita harus maju? Karena kita dijajah. “Sekarang sesungguhnya kolonialisme itu masih ada. Negara-negara adidaya di dunia ini tentu tak ingin lahir kekuatan besar dari negara-negara Islam. Selanjutnya, karena kita tak mungkin menyaingi minoritas yang kuat jika kita tidak maju di berbagai hal yang terkait dengan hidup kita.
“Islam harus baik akhlaknya. Bahkan Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak menjadi pondasi membangun kemajuan. Kita tidak boleh zuhud yang berlebihan, jauh dan terasing. Kita harus menjadi syuhada al annas. Saya yakin, Al Furqon, Darul Arqam, Baitur Rahmah, At Tajdid, akan menjadi saksi kemajuan. Kita didik mereka dengan baik. Diajari akhlak dan kemajuan. Ke depan insya Allah mereka akan menjadi khairun nas anfauhum linnas,” paparnya.
Ketiga, Islam adalah dienul hadharah, agama yang mengusung kemajuan. Muhammadiyah hadir membawa Islam yang damai. Tidak mengedepankan kekerasan. Dewasa dan beradab. Islam pasca nabi menjadi agama dunia. Menyebar ke seluruh alam. Hingga muncul para ilmuwan islam seperti Al Khawarizmi, Ibnu Rusdi, Ibnu Khaldun, dan lainnya. Jauh sebelum Barat punya ilmuwan, Islam sudah terlebih daluhu punya, karena Islam adalah dienul hadharah.
“Nilai-nilai kemajuan peradaban itu harus hadir, tumbuh dan mekar. Jika masih ada generasi mubaligh atau pimpinan yang takut untuk maju, pikirannya cupet, pendek, heureut, berarti ia belum memahami Muhammadiyah sepenuhnya. Ia harus belajar kembali tentang nilai-nilai ke-Muhammadiyah-an,” tegasnya.
Muhammadiyah tidak reaksioner atas kemajuan orang lain. Anak-anak harus kita ajari berpikir seperti itu. Membaca berbagai kitab. Tak hanya kitab kuning, tetapi juga kitab putih. Jangan takut. Karena ini adalah langkah kita untuk maju. Siapa tahu nanti mereka melahirkan kitab hijau atau biru. Itulah jiwa Muhammadiyah. Jiwa ijtihad. Tajdid.
Keempat, Islam adalah dienul amal, agama perbuatan. Semua pemikiran tadi harus diaplikasikan dalam perbuatan. Oleh karena itu, Muhammadiyah membuat sekolah dan rumah sakit, yang bagus dan terus ditingkatkan kualitasnya. Hidup bersih sehat dan kesadaran lingkungan yang baik. Jangan sampai kaburo maktan indallahi takuulu maala taf’alun. Jangan sampai kita bicara tetapi kita sendiri tidak menjalankan apa yang kita bicarakan itu. (hidayahnu)
Baca juga
Ketum PP Muhammadiyah Resmikan PRIM Queensland Australia
Noordjannah: Fatmawati, Sosok Perempuan Muslim Berkemajuan yang Berbakti untuk Bangsa
Tausyiah Pendidikan Abdul Mu’ti: Ilmu Sebagai Syarat Menjadi Taqwa