Assalamu’alaikum wr wb.
Bu Emmy yth, saya gadis (23 tahun) dari keluarga miskin. Sejak kelas 1 SD diasuh oleh om dan tante yang ekonominya berlebih. Saya memanggil mereka mama dan papa. Segala kebutuhan materi saya terpenuhi, tapi tidak kebutuhan emosional. Mereka otoriter, protektif, keras, disiplin, kaku dan tidak tahu bagaimana cara menghargai anak. Saya jarang sekali dipuji kalau dapat nilai bagus, tapi selalu dimarahi bila dapat nilai buruk atau bandel. Mama papa jarang sekali mengajak bercanda atau bercerita hal-hal yang lucu.
Lulus SMP, papa pensiun dan kembali ke kampung. Saya ikut orang tua kandung dan melanjutkan di sekolah kejuruan. Tiga tahun kemudian perusahan tempat orangtua bekerja bangkrut, sehingga kena PHK dan kembali di kota yang sama dengan papa. Saya diterima kuliah, dengan bantuan biaya papa sejumlah nominal yang harus saya kelola untuk biaya selama kuliah. Saya bertekad menjadi seorang yang tegar dan mandiri, maka saya sungguh-sungguh, rajin dan penuh tanggung jawab. Saya berhasil lulus dan kini sudah bekerja.
Bu, saat ini saya punya rencana menikah. Saya tidak banyak kenal lelaki, maka saya merasa lelaki yang sedang jalan dengan saya inilah yang terbaik. Tapi, saya masih merasa kurang sreg. Karena, karakternya mirip papa yang keras, disiplin, mandiri, tidak hangat. Bedanya, ia mampu bikin tertawa dengan banyolannya.
Saya rindu sentuhan hangat dan kalimat positif yang memotivasi saya. Saya juga merasa dia ingin membentuk saya menjadi pribadi yang bicaranya ramai dan suka basa-basi dan disiplin.
Bu, saya minta tolong Bu Emmy memberi pandangan apakah calon suami bisa berubah dengan cara dibicarakan bersama? Jazakumullah atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum wr wb. Nona, somewhere.
___
Wa’alaikumsalam wr wb.
Nona yth., dari cerita dalam surat Nona, masalah serius yang saya lihat adalah Nona begitu menderita dibesarkan oleh sosok ayah angkat yang otoriter, dingin, dan cenderung merendahkan, tetapi nyatanya orang yang Nona pilih untuk menjadi calon suami punya gambaran kepribadian yang hampir sama dengan papa.
Di saat inilah, pengalaman tak menyenangkan ketika bersama papa di mana Nona merasa tidak mendapatkan asupan gizi psikologis kasih sayang, perhatian maupun katakata manis jadi terpinggirkan oleh rasa nyaman.
Di titik paling rawan untuk menentukan pasangan hidup, idealnya perempuan justru meletakkan kriteria psikologis yang paling ingin dihindari dari calon suaminya sebagai rambu utama dari keputusan apakah akan terus jalan dengan pria yang mendekatinya atau tidak. Dengan demikian, kewaspadaan untuk terjebak dalam jerat psikologis bisa dihindari.
Maka berhati-hatilah Nona untuk membuat keputusan ya atau tidak untuk menikah dengan calon suami. Jangan jadikan umur, apalagi malu karena sudah banyak orang tahu bahwa Nona jalan dengannya, sebagai alasan untuk meneruskan perkawinan. Lebih mudah menjadi gadis berusia cukup menikah tapi lajang dari pada janda akibat perceraian. Manusia memang bisa berubah, tapi makin dewasa seseorang keputusan untuk berubah sebaiknya datang dari kehendak sendiri, bukan karena orang lain atau lingkungan yang menginginan kita berubah. Perkawinan tidak otomatis mengubah pasangan meski suami atau istri menginginkan.
Perkawinan mempunyai peluang untuk sukses justru ditandai oleh kesediaan masing-masing pihak untuk menerima pasangannya, mencintainya tanpa syarat dan menghargai keinginan dan harapan pasangannya. Dari penerimaan, cinta tak bersyarat dan penghargaan, akan muncul keinginan untuk berubah agar hubungan bisa berjalan lebih harmonis.
Syarat utamanya adalah keduanya bisa berada pada tataran keinginan dan perasaan yang sama. Bukan mendominasi, atau malah mencoba segala cara agar pasangan selalu merasa down, tidak berharga agar ia yang berada di atas angin. Sehingga Nona benar-benar bahagia. Amin.•
Rubrik sakinah diasuh Emmy Wahyuni, SPsi
___
Tulisan ini dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 1 tahun 2018