JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah, pada 9 Februari 2019, mengusung tema: Beragama yang Mencerahkan. Pengajian yang diberi pengantar oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti ini menghadirkan Prof M Amin Abdullah dan KH Abdullah Gymnastiar sebagai narasumber. Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir juga ikut memberikan materi penutup.
Abdul Mu’ti menyatakan bahwa tema ini terkait dengan Tanwir Muhammadiyah yang diadakan di Bengkulu, 15-17 Februari 2019. Tema ini diketengahkan karena beberapa alasan. Pertama, fenomena spiritualisasi agama. Muhammadiyah ingin mengajak umat untuk beragama yang menyentuh substansi. Beragama tidak sekadar ritual dan spiritual. Tidak sekadar kuantitas, namun juga kualitas.
Kedua, gejala komodifikasi agama. “Di masayarkat kita, ada semacam upaya membisniskan agama,” ujarnya. Hal ini sesuai dengan ayat tentang orang-orang yang menjual agama dengan harga murah.
Ketiga, gejala politisasi agama. Agama dikomodifikasikan untuk tujuan politik. Agama dijadikan kenderaan untuk tujuan politik elektoral jangka pendek. Padahal, seharusnya agama bertujuan untuk memberi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 257)
Oleh karena itu, Mu’ti mengatakan bahwa agama harus membuat orang tercerahkan. “Beragama harus menggembirakan, memajukan, mencerahkan. Tidak boleh beragama itu membuat orang jumud. Beragama membuat terang. Sebaliknya, kegelapan membuat hidup menjadi sumpek,” ulasnya. Orang beragama diharapkan menjadi tercerahkan, bertambah ilmu dan wawasannya.
Amin Abdullah menyoroti tentang keberagamaan kita yang terasa kurang mencerahkan, kurang membahagiakan. “Agama harusnya membahagiakan. Jika agama tidak membahagiakan, kemungkinan ada sesuatu yang salah dalam kita beragama. Saat ini agama terasa tidak membahagiakan,” katanya.
Pernyataan Amin didasari pada fenomena di dunia nyata dan dunia maya. Menurutnya, di media sosial, dalam hal beragama, banyak orang menjadi saling menyalahkan, saling membid’ahkan, bahkan saling mengkafirkan. Ini pertanda orang beragama yang tidak bahagia. “Nabi Muhammad diutus bukan untuk menakut-nakuti, namun untuk membahagiakan dan mencerahkan kanan kiri,” ujarnya.
Mengapa beragama terasa tidak membahagiakan? Menurut mantan Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini, penyebabnya adalah karena keberagamaan kita belum menyentuh rohani yang mendalam atau terjebak pada agama yang terlembaga. “Ketika agama melembaga menjadi institusi, ketika agama dikurung dalam tembok-tembok, di situ sebenarnya sumber masalahnya. Agama yang memcerahkan itu tidak bisa dikurung-kurung seperti ini. Tidak boleh tersekat-sekat. Sekarang ini, agama tersekat-sekat. Jangankan dengan orang lain, dengan sesama teman seorganisasi kita sendiri saja, kadang saling sikut-menyikut,” tuturnya.
Dalam pandangan Amin, institusi itu bagus, tetapi jangan sampai kehilangan aspek rohaniyah beragama. Rohani ini terkait dengan hati nurani. Nur itu hati nurani. Hati yang ada cahaya di situ. “Keberagamaan kita yang kolektif agak kehilangan hati nurani,” katanya. Kalau kita bisa bersahabat dengan keragaman, itu tanda-tanda kita akan bahagia.
Al-Qur’an banyak menyebut tentang hati. Misalkan hati yang sakit. “Ini bahasa tingkat tinggi. Hati nurani harus dijaga, harus jernih, harus dihidupkan. Kalau tidak, maka tidak bahagia dan tidak bisa mencerahkan. Simpati, empati terhadap orang lain itu dari hati nurani, bukan dari akal. Rahmat itu sumbernya dari hati nurani,” jelasnya. Ayat hati nurani ini yang paling banyak dilupakan umat Islam. Al-Ghazali telah menulis tentang penyakit hati
Ayat lainnya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat : 12). “Kalau ingin bahagia, jauhi prasangka (ijtanibu katsiran min dhan). Sebagian dari prasangka buruk itu adalah dosa. Ini tentang hati,” ungkap Amin.
Menurutnya, belakangan ada sesuatu yang keliru dalam beragama. Hati sakit dalam politik menjelma sikap beragama yang antem-anteman, agama menjadi ageman/pakaian atau politik identitas.
Hal itu telah dinyatakan dalam ayat: kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun. “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”. (QS. Al-Mu’minun (23) : 53 dan Ar-Rum (30) : 32). Kebanggaan kita pada kelompok sendiri tidak boleh menegasikan orang lain.
Menjaga sikap dan mencipta suasana harmonis dalam perbedaan merupakan bagian dari akhlak. Dalam hadis, innama buistu liutammima makarima al-akhlak. “Akhlak ini harus diperbaiki terus menerus dari waktu ke waktu. Budi pekerti yang luhur, hati nurani yang jernih,” katanya.
Muhammadiyah sering menjadikan ayat fastabiqul khairat sebagai jargon. Artinya, saling berbuat baik di antara yang berbeda. Menjadi yang terdepan dalam semua bidang kebaikan.
Amin juga mengingatkan pentingya Al-Maun dan Al-Ashri. Menurutnya, al-ashri mengandung empat nilai penting. Semua akan merugi, kecuali disertai empat hal. Pertama, beriman, yang menyentuh nilai-nilai universal dan mendasar yang diimani oleh semua agama dunia, semisal welas asih, simpati dan empati.
Kedua, beramal shaleh. Common good, berbuat baik. Ketiga, saling mengingatkan pada kebenaran dengan ilmu pengetahuan. Keempat, sabar. Terkait dengan hati. Keluarga yang bahagia itu mesti sabar. Jika di keluarga tidak sabar, tidak sakinah, maka akan menyebar ke lingkungan yang lebih luas.
Menyikapi kondisi dunia yang dipenuhi ketidakpastian, Amin mengajak umat Islam bisa cepat beradaptasi. “Proaktif menyongsong masa depan dengan etos berkemajuan. Mencari solusi, jangan mengeluh. Hidup itu adalah masalah, maka harus mencari solusi, bukan mengeluh,” tukas Amin Abdullah.
Haedar Nashir mengajak untuk merefleksikan tentang sejauh mana keberagamaan kita berkorelasi dengan sikap kita. “Bagaimana mungkin kita yang paling tau agama, paling islami, rajin ibadah, tetapi beragama tidak tercerahkan dan tidak mencerahkan?” Islam itu harusnya membuat orang di sekitarnya merasa aman dan nyaman.
“Dan sungguh akan kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf 179)
Ayat tersebut menjelaskan tentang fenomena hari ini. “Hilang penghayatan dalam beragama. Islami diukur dari hal-hal yang sifatnya simbolik,” kata Haedar. Oleh karena itu, perlu dilakukan dekonstruksi, membongkar ritual beragama, apakah sudah menembus hati yang paling dalam.
Menurutnya, kata nur seakar kata dengan tanwir, yang artinya menerangi. Bersinar itu sifat asli dari matahari. Bisa memantulkan cahaya ke yang lain. “Dalam gelap, kita tidak bisa melihat sesuatu. Ketika ada cahaya, kita bisa melihat sesuatu. Itu seperti petunjuk,” katanya. Maka, agama harus menjadi petunjuk.
Islam merupakan agama pencerahan yang membangun peradaban. “Iqra itu ayat pencerahan. Jangan-jangan kita sempit dalam beragama karena tidak punya tradisi iqra dalam beragama,” tutur Haedar. Allah memerintahkan kita untuk memiliki tradisi literasi.
Sisi lain, fenomena keagamaan yang tidak mencerahkan juga bisa karena politik yang serba absolut. Fanatik buta. True believer. Benci kepada lawan. “Anak-anak yang tumbuh dalam suasana penuh tekanan dan penuh ancaman, maka tidak akan bahagia. Umat juga begitu. Suasana penuh anomali. Kehilangan akal murni, kehilangan hati yang jernih. Hati tidak lagi bisa mendengar,” katanya.
Oleh karena itu, Haedar senantiasa mengajak seluruh kekuatan bangsa untuk menyikapi politik secara sewajarnya. “Tumbuhkan suasana yang normal, agar tidak menjadi paradoks dalam beragama kita,” ungkapnya.
Di saat yang sama, Haedar melihat ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan beragama kita: adil, ihsan, kasih sayang. Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hatta, terhadap orang yang dibenci sekalipun. Kalau sudah cinta dan benci susah untuk bersikap adil. Ihsan itu kebaikan yang melampaui, membalas dengan yang lebih baik. Berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat.
“Kita umat Islam, menjadi anak yatim, dalam suasana sosial politik ekonomi yang serba garang. Anak yang hilang kasih sayang akan tumbuh menjadi pendendam, pemarah. Melihat orang lain dilihat sebagai ancaman,” ujarnya. Teori deprivasi relatif menjelaskan tentang ini.
Oleh karena itu, perlu ada jeda. Membaca dan shalat malam harusnya menjadi jeda. Kemampuan kita untuk kontemplasi dalam kehidupan beragama juga diperlukan guna menjernihkan nalar. Mencapai derajat ulil albab, yang terbuka dan bisa memilah yang terbaik.
Akal yang jernih melampaui segalanya. “Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (ulil albab),” (QS. Az Zumar: 18).
Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym juga menekankan pentingnya kasih sayang dalam kehidupan beragama. Aa Gym juga mengimbau masyarakat, khususnya umat Islam untuk tetap menjaga ukhuwah di tahun politik ini. “Jangan korbankan ukhuwah karena pilpres. Seharusnya malah dengan adanya pilpres membuat kita semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, (berdoa) agar diberikan pemimpin yang amanah, jujur, dan adil bagi bangsa ini,” tuturnya. (ribas)