Pidato Lengkap Haedar Nashir
“BERAGAMA YANG MENCERAHKAN”
Oleh: Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir H Joko Widodo
Ketua MPR-RI, DR (Hc) H. Zulkifli Hasan
Para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara
Para Menteri Kabinet Kerja: Mendikbud RI, Menkoinfo RI,
Gubernur Bengkulu, dr. H. Rohidin Mersyah
Walikota Kota Bengkulu dan Para Kepala Daerah Seprovinsi Bengkulu
Para tokoh bangsa
Segenap Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Aisyiyah, serta Ketua dan anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu
Para tamu undangan, anggota dan peserta Tanwir, rekan-rekan wartawan seluruh media, serta hadirin yang kami mulyakan!
Alhamdulillah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dapat menyelenggarakan Tanwir kedua di Kota Bengkulu pada hari ini, Jum’at 15 Februari 2019, untuk bermusyawarah dalam forum permusyawaratan tertinggi di bawah Muktamar yang akan berlangsung sampai tanggal 17 Februari 2019. Dua tahun lalu Tanwir pertama diselenggarakan di kota Ambon Maluku pada 24-26 Februari 2017.
Bagi segenap pimpinan Muhammadiyah Tanwir ini sangat penting untuk wahana evaluasi program dan proyeksi Muhammadiyah dalam sisa waktu satu setengah tahun ke depan menuju Muktamar di Surakarta pada bulan Juni tahun 2020. Karenanya dalam Tanwir ini seluruh anggota dan peserta yang mewakili pimpinan di setiap tingkatan penting memantapkan komitmen dalam menjalankan amanat, program, dan kegiatan yang menjadi tanggungjawab secara kolektif dan tersistem untuk menjadikan Muhammadiyah ke depan semakin unggul-berkemajuan serta memberi manfaat yang terbaik bagi kemajuan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.
Bapak Presiden dan hadirin yang kami hormati!
Tanwir ke-2 di Bengkulu 15-17 Februari 2019 ini mengusung tema “Beragama yang Mencerahkan”. Tema ini dipilih setidaknya dengan dua pertimbangan penting. Pertama, Muhammadiyah maupun umat Islam agar menyebarluaskan pesan-pesan dan praktik Islam yang mencerahkan kehidupan; sehingga menjadikan setiap muslim cerah hati, pikiran, sikap, dan tindakan yang disinari nilai-nilai ajaran Islam yang luhur dan utama. Kedua, dalam kehidupan sehari-hari masih dijumpai sebagian pemahaman dan pengamalan Islam yang tidak atau kurang menunjukkan pencerahan sehingga menimbulkan masalah dalam kehidupan umat dan bangsa seperti sikap ghuluw atau ekstrem dalam beragama, intoleransi, kekerasan, takfiri, penyebaran hoax, politisasi agama; ujaran-ujaran buruk yang menebar marah, kebencian, dan permusuhan atasnama agama; serta praktik hidup yang menggambarkan kesenjangan antara lisan dan perbuatan.
Jika dirujuk pada kandungan Al-aquran, Sunnah Nabi, dan praktik kerisalahan Nabi Muhammad selama 23 tahun sesungguhnya Islam merupakan agama yang membawa nilai-nilai dan praktik kehidupan yang mencerahkan. Islam adalah din at-tanwir, yakni agama pencerahan yang mengeluarkan umat manusia dari “al-dhulumat” (segala bentuk kegelapan) kepada “an-nur” (kehidupan yang bercahayakan ajaran Ilahi) sebagaimana pesan utama Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” (QS Al-Hadid: 9).
Pencerahan yang diajarkan Islam melekat dengan kerisalahan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul ketika menerima Wahyu pertam “Iqra” di Gua Hira. Iqra tidak hanya mngajarkan manusia untuk membaca secara verbal, tetapi membaca Al-Quran dan ayat-ayat Kauniyah, sehingga setiap insan memiliki ilmu dan hikmah, iman dan amal, serta akal budi yang utama. Iqra dengan atasnama Allah yang mengajarkan manusia dengan qalam dan mengajarkan yang tidak diketahu, mendorng setiap insan muslim untuk memahami agama dan kehidupan melalui kacamata bayani, burhani, dan irfani secara utuh sehingga melahirkan pencerahan alam pikiran dan sikap hidup bagi insan semesta.
Dalam konteks kesejarahan, ajaran Islam yang mencerahkan, merupakan manifestasi dari misi “rahmatan lil-‘alamin” (QS Al-Anbiya: 107) dan “menyempurnakan akhlak mulia” (HR Al-Bukhari). Dengan misi kerisalahan Nabi yang mencerahkan itu terjadi pembebasn umat manusia dari segala perilaku, budaya, dan struktur kehidupan yang “jahiliyah” atau tidak berkeadaban, tertinggal, dan buruk menuju pada kehidupan yang bercahayakan keadaban, kebaikan, keutamaan, dan berkemajuan. Nabi bersama kaum mualimin selama 23 tahun berhasil membangun Yasrib dusun kecil yang tradisional menjadi “al-Madinah al-Munawwarah”, kota peradaban yang tercerahkan. Setelah era Nabi itu kemudian terbangun peradaban Islam selama sekitar enam abad lamanya sebagai era pencerahan dan kejayaan Islam yang memancarkan kemajuan di seluruh persada dunia.
Islam ajaran yang mencerahkan akal budi manusia sebagaimana kerisalahan Nabi, “wamaa buitstu li-utammima makarima al-akhlaq”. Jika Islam sebagai ajaran pencerahan akhlaq atau akal budi benar-benar dihayati maka setiap muslim menjadi cerah hati, pikiran, sikap, dan tindakannya. Setiap muslim mempraktikkan hidup yang benar, amanah, adil, ihsan, kasih sayang, damai, kata sejalan tindakan, uswah hasanah, dan menebar segala kebajikan bagi diri, keluarga, lingkungan, bangsa, dan umat manusia semesta. Setiap muslim yang tercerahkan akan gemar berta’awun yaitu senantiasa bekerjasam dalam kebaikan dan ketaqwaan, sebaliknya tidak bekerjasma dalam dosa dan keburukan (QS Al-Maidah: 2).
Muslim yang tercerahkan oleh ajaran Islam tidak akan mudah menebar marah, kebencian, memecah belah, permusuhan, memproduksi hoax, korupsi, kolusi, nepotisme, menyalahgunakan kekuasaaan, berpolitik menghalalkan segala cara, mengeksploitasi alam secara semena-mena demi keuntungan sendiri, dan berbuat kerusakan di muka bumi atau fasad fil-ardli. Muslim yang tercerahkan suka beramal-shaleh, beramar-makruf, dan bernahyu-munkar. Ketika bernahyu-munkar pun melakukannya dengan cara yang ma’ruf, tidak dengan cara yang munkar. Pendek kata muslim yang tercerahkan itu berakhlaq yang agung dan menjadi uswah hasanah sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad yang menebar misi rahmatan lil-‘alamin di semesta alam raya.
Bapak Presiden dan hadirin yang kami hormati
Beragama yang mencerahkan dapat membangun keadaban publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta ini. Dalam kehidupan kebangsaan saat ini secara umum memang masih terdapat nilai-nilai positif seperti toleransi, kedamaian, dan kegotongroyongan yang masih bersemi dalam mayoritas warga bangsa. Namun mulai bertumbuh kecenderungan orientasi politik yang mengeras, sehingga satu sama lain mudah terbelah, berbenturan, dan bermusuhan secara saling berhadapan. Orientasi politik yang keras membuat setiap orang menjadi sangat ambisius, sehingga politik menjadi to be or not to be atau “urusan hidup dan mati”. Bersamaaan dengan itu ditanamkan pandangan keagamaan atau ideologi yang sama kerasnya, shingga lahir tipologi “true believer” atau sosok fanatik-buta dalam berpolitik.
Politik bukan lagi urusan mu’amalah dunyawiyah yang dasar hukumnya ibahah (kebolehan) yang memberi ruang bagi perbedaan dan toleransi tetapi menjadi urusan keyakinan keagamaan secara absolut sesuai tafsir, pandangan, dan kepentingannya sendiri secara ekslusif. Politik di negeri ini menjadi serba frontal, bahkan oleh sebagian dibikin bersuasana gawat, sehingga berrpotensi menimbulkan benturan tinggi seolah “perang di Kuru Setra” dalam kisah Jawa Kuno Baratayudha. Karya Empu Sedah tahun itu 1157 di era kekuasaan Jayabhaya menggambarkan prahara perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama keturunan Raja Erlangga.
Dalam suasana politik yang terbelah dan membelah itu, media sosial pun makin bebas kian menambah aura politik panas. Di media sosial setiap orang boleh mengeskpresikan apa saja tanpa kendali yang mencukupi. Orang sangat terbuka untuk meluapkan marah, ujaran kebencian, menghujat, menyerang, dan menulis semaunya nyaris tanpa pagar pembatas moral. Politik melalui media sosial bahkan semakin garang, yang berbeda dengan media cetak dan elektronik yang masih dikontrol oleh redaktur, meski kedua media massa tersebut sebagian mulai menjadi corong politik yang sarat kepentingan dan kehilangan objektivitasnya yang jernih.
Di tubuh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pun mulai menggejala kecenderungan sikap intoleransi. Sikap mudah saling menyesatkan dan mengkafirkan mulai menyebar. Paham keagaamaan yang keras menjadi pendorong sikap ekstrem dan radikal, sehingga kehilangan sikap tengahan atau wasathiyah. Akhlaq dalam berinteraksi sosial, berorganisasi, bermasyarakat, dan berbangsa pun menjadi tergerus dan retak. Batasan baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas sebagai khazanah budi pekerti kolektif mengalami peluruhan. Agama oleh sebagian pemeluk dan tokohnya dijadikan alat legitimasi merebut kue kekuasaaan dengan sikap ananiyah-hizbiyah atau fanatik-golongan yang berlebihan. Di antara tokoh agama dan para warasatul anbiya turun ke gelanggang sebagai partisan dan menjadi kontestan berebut tahta politik dengan semangat menyala atasnama agama.
Para elite agama, elite organisasi kemasyarakatan, elite politik, dan elite bangsa keseluruhan dengan spirit beragama yang mencerahkan diharapkan memberikan keteladanan bagi warga bangsa bagaimana berperikehidupan kebangsaan yang cerdas dan berkeadaban luhur. Tampilkan sikap kenegarawanan untuk belajar berjiwa besar dalam berbangsa dan bernegara, lapang hati dalam menghadapi perbedaan, dewasa dalam berkontestasi, saling menghargai dan menghormati, menjadi suluh penerang hati dan pikiran, peredam konflik, pemberi solusi, serta mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dan golongan sendiri.
Karena itu saatnya organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah menggelorakan gerakan pencerahan akal budi dan keadaban publik dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Gerakan keteladanan penting dilakukan oleh seluruh warga dan elite organisasi dakwah Islam. Jika anggota, aktivis, kader, dan pimpinan Muhammadiyah dan ormas-ormas keagamaan tidak memberikan uswah hasanah dalam mencerahkan kehidupan kebangsaan berbasis nilai dan moralitas agama maka kepada siapa misi luhur tersebut harus diberikan?
Bapak Presiden dan Hadirin yang berbahagia
Terakhir, khusus kepada para anggota dan peserta Tanwir selamat bermusyawarah dengan spirit ukhuwah, cerdas, dan produktif. Jalani persidangan dengan suasana gembira dan bahagia. Di Tanwir yang mencerahkan ini, bila ingin berfoto bersama, beraksilah dengan riang gembira, tidak perlu sambil mengangkat jari tangan satu atau dua, kasihanilah nasib sembilan atau delapan jari lain yang sama-sama ciptaan Tuhan. Dianjurkan bersidanglah dengan tersenyum sebagaimana saat ini sedang dipraktikkan oleh anggota PP Muhammadiyah untuk belajar tersenyum 20x per 20 detik, sehingga selama tiga hari Tanwir dapat tersenyum sebanyak 60 kali berdurasi 1200 detik atau setara 20 menit. Tersenyum membuat raut muka cerah, sekaligus bershadqah sebagaimana sabda Nabi:
صَدَقَةٌ لَكَ أَخِيكَ وَجْهِ فِى تَبَسُّمُكَ
“Senyummu di depan saudaramu, adalah sedekah bagimu” (H.R. Tirmidzi).
Dengan tersenyum insya Allah seganap anggota dan peserta Tanwir akan memancarkan wajah-wajah ceria sebagai wujud “bermusyawarah yang mencerahkan”, sehingga dapat dihasilkan keputusan yang menggembirakan dan membahagian umat dan bangsa!
Semoga Allah SWT melimpahkan berkah dan karunia-Nya agar sidang Tanwir ini berjalan dengan baik, lancar, dihiasi jiwa ukhuwah dan kegembiraan, serta cerdas-produktif untuk menghasilkan keputusan yang membawa pencerahan bagi Muhammadiyah, umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.