Beragama yang Mencerahkan dan Memajukan Muhammadiyah ke Depan
Oleh DR H Haedar Nashir, M.Si.
أَلسَّلاَمَ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِِ وَبَرَاكَاتُهَ
اَلْحَمْدُا ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُبِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَمُضِلَ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ اِلآّ اَللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُهَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْ لُهُ وَلآنَبِىَ بَعْدَهُ. اُوْصِيكُمْ عِبَادَ اللهِ وَاِيآيَ بِتَقْوَي اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ . اَمَا بَعْدُ
“Mengingat keadaan tubuhku kiranya aku tidak lama lagi akan meninggalkan anak-anakku semua sedangkan aku tidak memiliki harta benda yang bisa kutinggalkan kepadamu. Aku hanya memiliki Muhammadiyah yang akan kuwariskan kepadamu sekalian. Karena itu, aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu sekalian dengan penuh harapan agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya.” —KH Ahmad Dahlan— (Munir Mulkhan, 2007).
Alhamdulillah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dapat menyelenggarakan Tanwir sebagai amanat organisasi yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Tanwir kedua ini dilaksanakan di Bengkulu pada 15-17 Februari 2019, sekitar dua tahun sesudah Tanwir di Ambon Maluku pada 24-26 Februari 2017. Menuju Muktamar di Surakarta tahun 2020 terdapat rentang waktu sekitar satu setengah tahun, setelah itu diikuti dengan Musywil, Musyda, Musycab, dan Musyran secara berkelanjutan. Karenanya dalam sidang Tanwir Bengkulu ini seluruh anggota dan peserta yang mewakili pimpinan di setiap tingkatan memantapkan komitmen untuk menjalankan amanat, program, kebijakan, dan kegiatan yang menjadi tanggungjawab masing-masing secara kolektif dan tersistem untuk menjadikan Muhammadiyah ke depan semakin berkemajuan.
Jika dibaca keputusan Muktamar 2015 betapa banyak program yang harus dijalankan oleh para pimpinan Muhammadiyah dengan frekuensi yang tinggi. Bagaimana agar program dan kegiatan Muhammadiyah dalam waktu satu setengah tahun ke depan dapat dilaksanakan secara akseleratif sebagai wujud pertanggungjawaban pimpinan pada organisasi. Program di bidang tarjih, tabligh, pustaka dan informasi, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, ekonomi dan kewirausahaan, pemberdayaan masyarakat, dan seluruh program lainnya yang jumlahnya 6 program umum dan 21 program perbidang mesti dilaksanakan secara tuntas dan optimal.
Jika dinaikkan tingkatannya secara kualitas, sejumlah program unggulan penting untuk diprioritaskan, yang dapat membawa kemajuan Muhammadiyah secara lebih signifikan. Dihadapkan pada persaingan dengan organisasi lain dan tantangan ke depan maka menggarap amal usaha, program, dan kegiatan unggulan sungguh merupakan keniscayaan bagi Muhammadiyah. Apabila semua pimpinan benar-benar serius pun dalam menjalankan mandat Muktamar, tampaknya tidak mencukupi untuk dijalankan selama satu periode. Apalagi jika amanat organisasi yang berat tersebut sekadar ditunaikan secara minimalis, serta perhatian para pimpinan teralihkan oleh hal-hal yang lain. Dengan demikian betapa berat tanggungjawab para pimpinan Muhammadiyah dari Pusat sampai Ranting, sehingga sebenarnya tidak ada kesempatan untuk berwaktu-luang jika ingin menjadikan Muhammadiyah berkemajuan pada periode ini.
Karenanya merupakan saat yang tepat jika pada Tanwir Bengkulu ini setiap anggota pimpinan dan siapapun yang mendapat amanat dari Persyarikatan meneraca seberapa jauh kontribusi dalam menjalankan program dan kegiatan yang diamanatkan Muktamar sebagai bentuk pertanggungjawaban pimpinan pada organisasi. Bagaimana memikirkan dan mengerjakan amanat Persyarikatan yang lebih serius dan optimal tanpa terpecah pada perhatian lain? Memang berkhidmat di Muhammadiyah merupakan kesukarelaan yang tidak ada paksaan di dalamnya, tetapi komitmen selaku pimpinan selalu menuntut pertanggungjawaban dalam menjalankan amanat organisasi. Jika bukan pimpinan yang menunjukkan pengkhidmatan, lantas siapa yang akan melakukan? Kita diminta meneraca apa yang telah dilakukan selaku pengemban amanat sebagaimana peringatan Allah bagi setiap orang beriman tatkala di Hari Akhir harus membuka kitab amalnya sebagaimana firman-Nya:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا . اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Artinya: “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS Al-Israa: 13-14)
Gerakan Pencerahan
Tanwir ke-2 di Bengkulu 15-17 Februari 2019 ini mengangkat tema “Beragama yang Mencerahkan”. Tema ini dipilih setidaknya dengan dua pertimbangan penting. Pertama, Muhammadiyah maupun umat Islam agar menyebarluaskan pesan-pesan dan praktik Islam mencerahkan kehidupan; yang menjadikan setiap muslim cerah hati, pikiran, sikap, dan tindakan yang disinari nilai-nilai ajaran Islam yang luhur dan utama. Kedua, dalam kehidupan sehari-hari masih dijumpai pemahaman dan pengamalan Islam yang tidak atau kurang menunjukkan pencerahan sehingga menimbulkan masalah dalam kehidupan umat dan bangsa seperti kekerasan, sikap takfiri, penyebaran hoax, intoleransi; ujaran-ujaran buruk yang menebar marah, kebencian, dan permusuhan, serta praktik hidup yang menggambarkan kesenjangan antara lisan dan perbuatan.
Jika dirujuk pada kandungan Al-Quran, Sunnah Nabi, dan praktik kerisalahan Nabi Muhammad selama 23 tahun sesungguhnya Islam merupakan agama atau ajaran yang membawa nilai-nilai pencerahan atau Islam sebagai din at-tanwir. Islam adalah agama yang mengeluarkan umat manusia dari “al-dhulumat” (segala bentuk kegelapan) kepada “an-nur” (kehdiupan yang bercahayakan ajaran Ilahi) sebagaimana pesan utama Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257).
Islam merupakan agama yang mencerahkan bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Pencerahan merupakan nilai keutamaan diri yang tertanam dalam segenap kebaikan jiwa, pikiran, sikap, dan tindkan yang membawa kemaslahatan yang serbautama dan penuh makna. Dengan ajaran Islam maka umat manusia dibebaskan dirinya dari segala perilaku, budaya, dan struktur kehidupan yang “jahiliyah” atau tidak berkeadaban, tertinggal, dan buruk menuju pada kehidupan yang berkeadaban, baik, dan berkemajuan. Dengan berislam yang mencerahkan maka setiap muslim akan menyebarkan akhlak mulia yang menebar ihsan atau kebaikan yang melampaui sekaligus rahmat bagi semesta alam. Sebaliknya Islam melarang umatnya menyebarkan akhlak yang tercela (al-akhlaq al-madhmumah) yang membawa kerusakan di muka bumi (fasad fil-ardl).
Jika Islam benar-benar dihayati secara murni atau autentik maka setiap muslim menjadi cerah hati, pikiran, sikap, dan tindakannya. Setiap muslim berbuat yang benar, baik, cinta kasih, damai, kata sejalan tindakan, serta menebar segala kesalehan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Setiap muslim yang tercerahkan akan gemar berta’awun yaitu senantiasa bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan, sebaliknya tidak bekerjasma dalam dosa dan keburukan (QS Al-Maidah: 2). Muslim yang tercerahkan oleh ajaran Islam tidak akan mudah marah, buruk ujaran, iri, dengki, hasud, dendam, congkak, menebar permusuhan, dan segala perangai yang buruk. Islam tidak berhenti menjadi pengetahuan, ujaran, dan kebanggaan simbol minus perbuatan nyata yang serba baik dan menjauhi yang serbaburuk. Muslim yang tercerahkan suka beramal-shaleh, beramar-makruf, serta bernahyu-munkar. Ketika bernahyu-munkar tidak dilakukan dengan cara-cara yang munkar, tetapi dengan cara yang ma’ruf.
Islam sebagai agama yang mencerahkan dipraktikkan dan menjadi perwujudan dalam tugas kerisalahan Nabi Muhammad s.a.w.. Misi kerisalahan dan kenabian Muhammad telah mengeluarkan bangsa Arab “jahiliyah” dalam struktur kepercayaan penyembah berhala, menista martabat perempuan, berekonomi riba, merendahkan manusia menjadi budak, dan menyelesaikan sengketa dengan pertumpahan darah untuk diubah menjadi bangsa yang tercerahkan. Bangsa Arab berubah menjadi masyarakat Islam yang bertauhid, memuliakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, berniaga secara halallan-thayyibah, menyelesaikan konflik dengan damai, serta membangun tatanan sosial-kebangsaan yang berkeadaban mulia.
Dalam konteks kesejarahan, misi mewujudkan Islam sebagai “rahmatan lil-‘alamin” (QS Al-Anbiya: 107) dan “menyempurnakan akhlak mulia” (HR Al-Bukhari) sebagaimana tugas utama kerisalahan Nabi diwujudkan dalam kehidupan yang luas di Makkah dan Madinah. Selama 23 tahun di zaman Nabi terbangunlah sistem kehidupan di mana dusun tradisional Yasrib berubah menjadi “al-Madinah al-Munawwarah”, kota peradaban yang tercerahkan. Setelah era Nabi Muhammad kemudian terbangun peradaban Islam selama lima sampai enam abad lamanya sebagai era kejayaan Islam yang memancarkan kemajuan di seluruh dunia. Sebagian ahli sejarahnya menyebut sebagai masa The Renaisance of Islam, suatu Era Pencerahan Peradaban Islam, yang menyinari seluruh dunia.
Islam selama beratus-tahun menjadi agama yang membuana dan melahirkan kosmopolitanisme Islam, yang dalam konteks kekinian menjadi agama yang mengglobal atau globalisasi Islam. Islam menyebarluas sampai ke Indonesia, yang menjadikan negeri kepulauan yang luas dan kaya di Asia Tenggara ini menjadi negeri muslim terbesar di dunia. Dalam matarantai penyebaran dan perwujudan Islam yang mendunia itu kemudian lahir gerakan Islam yang membawa misi pembaruan, yakni Muhammadiyah yang diririkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 Miladiyah bertepatan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah di kota kebudayaan Yogyakarta.
Karenannya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menisbahkan namanya sebagai “pengikut Nabi Muhammad” membawa misi gerakan pencerahan sebagai aktualisasi dari perwujudan Islam sebagai agama pencerahan dan terkait langsung dengan aktualisasi Islam Berkemajuan yang menjadikan Islam sebagai agama pembangun kemajuan peradaban (din al-hadlarah). Jika Muhammadiyah dan seluruh warga atau anggotanya mengklaim diri sebagai pengikut Nabi Muhammad, maka niscaya berkomitmen untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang mencerahkan kehidupan. Jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah niscaya menunjukkan pencerahan yang Islami sebagaimana diajarkan oleh Islam serta diteladankan dan dipraktikkan oleh Nabi akhir zaman.
Muhammadiyah pada Muktamar ke-46 tahun 2010 mendeklarasikan diri sebagai “Gerakan Pencerahan”. Dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua” bagian V (Kelima) tentang “Agenda Abad Kedua” dinyatakan secara tegas dan lengkap, bahwa Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural. Gerakan pencerahan menampilkan Islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan, dan membangun pranata sosial yang utama.
Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasithiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.
Muhammadiyah dalam melakukan gerakan pencerahan berikhtiar mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu’afa dan mustadh’afin serta memperkuat civil society (masyarakat madani) bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Dalam pengembangan pemikiran Muhammadiyah berpijak pada koridor tajdid yang bersifat purifikasi dan dinamisaai, serta mengembangkan orientasi praksis untuk pemecahan masalah kehidupan. Muhammadiyah mengembangkan pendidikan sebagai strategi dan ruang kebudayaan bagi pengembangan potensi dan akal-budi manusia secara utuh. Sementara pembinaan keagamaan semakin dikembangkan pada pengayaan nilai-nilai aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah yang membangun keshalehan individu dan sosial yang melahirkan tatanan sosial baru yang lebih relijius dan humanistik.
Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.
Dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah mengagendakan revitalisasi visi dan karakter bangsa, serta semakin mendorong gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih luas sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan transformasi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya. Sementara nilai-nilai kebangsaan lainnya yang harus terus dikembangkan adalah nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan.
Pada abad kedua Muhammadiyah menghadapi perkembangan dunia yang semakin kosmopolit. Dalam perspektif kosmopolitanisme yang melahirkan relasi umat manusia yang semakin mendunia, Muhammadiyah sebagai bagian integral dari warga semesta dituntut komitmennya untuk menyebarluaskan gerakan pencerahan bagi terbentuknya wawasan kemanusiaan universal yang menjunjungtinggi perdamaian, toleransi, kemajemukan, kebajikan, keadaban, dan nilai-nilai yang utama. Orientasi gerakan yang kosmopolitan tidak sertamerta menjadikan Muhammadiyah kehilangan pijakan yang kokoh dalam ranah keindonesiaan dan lokalitas kebudayaan setempat, serta mencerabut dirinya dari kepribadian Muhammadiyah.
Beragama yang Mencerahkan
Bagaimana dengan tema “Bergama yang Mencrahkan”? Beragama ialah praktik hidup pemeluk agama yang jiwa, pikiran, sikap, dan tindakannya berlandaskan agama yang dianutnya. Dengan beragama manusia itu beriman sekaligus berilmu dan beramal kebaikan sesuai dengan nilai-nilai dasar dari agama itu sendiri. Dengan demikian beragama merupakan kata kerja dari setiap orang yang memeluk agama, yang dalam terminologi Islam sepadan dengan mengamalkan agama secara totalitas atau kaffah. Adapun beragama yang mencerahkan tentu saja merupakan suatu praktik hidup setiap orang beragama khususnya di kalangan kaum muslim yang melahirkan perubahan ke arah yang penuh cahaya keislaman sebagaimana diteladankan oleh Nabi Muhammad s.a.w..
Bagi setiap muslim melekat kewajiban untuk menjalankan agama Islam secara menyeluruh atau kaffah sehingga dirinya merupakan pengejewantahan langsung dari Islam itu sendiri sebagaimana Nabi Muhammad dilukiskan oleh Siti ‘Aisyah sebagai berakhlak Al-Quran, artinya bahwa Muhammad sebagai “Al-Quran yang berjalan” di muka bumi ini, yang harus diikuti para pengikutnya. Semua muslim, apalagi yang mengklaim diri selaku pengikut Nabi Muhammad yakni warga Muhammadiyah, niscaya menjalankan dan mewujudkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan dalam keseluruhan hidupnya sehingga terwujud “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Beragama atau bagi umat Islam “berislam yang mencerahkan” dimulai dari mengembangkan dan menyebarluaskan tradisi “Iqra” sebagaimana Wahyu atau Risalah pertama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dari Gua Hira. Kehadiran Islam yang dibawa risalahnya oleh Muhammad sebagai Nabi akhir zaman sangat revolusioner dan transformasional karena dimulai dari perintah Allah untuk “Iqra”, yakni “Iqra dengan dan atasnama Tuhan”, bukan sembarang iqra tetapi iqra yang bersifat Langit dan profetik. Dalam tradisi iqra bukan hanya keniscayaan setiap muslim untuk membaca ayat-ayat Al-Quran tetapi juga ayat-ayat kauniyah atau semesta. Iqra membaca ayat-ayat langit, bumi, dan alam raya dengan segala isinya, termasuk iqra tentang manusia dengan segala dimensinya. Iqra menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi keseluruhan makna yang tercakup arti “iqra” dalam bahasa Arab seperti tafakur, tadabbur, tanadhar, tadzakur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, kajian keilmuan, dan membaca secara kontekstual secara menyeluruh. Dalam terminologi Tarjih iqra memiliki makna pada pemahaman keislaman secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksitas.
Tradisi Iqra yang bercorak transformasional itu akan melahirkan pencerahan alam pikiran, keilmuan, dan peradaban. Dalam tradisi Barat modern, tradisi pencerahan (aufklarung, enlightenment) menurut Immanuel Kant dimulai dengan sapere aude, yakni keberanian menggunakan akal pikiran yang mendobrak segala doktrin yang membelenggu, termasuk doktrin agama abad tengah yang mengkerangkeng akal pikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara menurut Horatius sapere aude bermakna “beranilah menjadi bijak”. Kyai Dahlan menyerukan penggunaan “akal yang suci-murni”, sedangkan dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiuah dikemal “akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam”. Dalam ajaran dan sejarah Islam justru Islam itu sendiri sebagai sumber nilai pencerahan, yang dimulai dari risalah Iqra sebagai Wahyu pertama dalam misi kenabian Muhammad. Islam adalah ajaran yang pro-akal pikiran, pro-ilmu pengetahuan, dan segala kegiatan berpikir dan berdzikir yang melahirkan generasi ulul-albab serta melahirkan kemajuan peradaban dunia di era kejayaan Islam.
Kembangkan kebiasaan membaca, mengkaji, mengaji, diskusi, seminar, bedah buku, berwacana, dan berbagai kegiatan keilmuan dan tradisi iqra untuk mengembangkan tajdid sebagaimana karakter Muhammadiyah. Terbiasalah menghadapi keragaman pemikiran, tentu bagi warga Muhammadiyah dengan rujukan pemikiran Islam dan ideologi Muhammadiyah yang benar dan tidak ditafsirkan sendiri. Asah kemampuan memahami Islam dengan bayani, burhani, dan irfani sebagaimana rujukan tarjih. Jadilah anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah yang memiliki sifat ulul-ulbab sebagaimana dipesankan Allah dalam Al-Quran yang artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az-Zumar : 18). Kayi Dahlan mengkaji ayat ini, beliau sering berpesan agar orang Islam termasuk ulamanya harus berkemajuan: “dadiyo kyai sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”, artinya, “jadilah ulama yang berpikiran maju, dan jangan berhenti bekerja keras untuk kepentingan Muhammadiyah”.
Beragama atau berislam yang mencerahkan juga melekat dengan “pencerahan akal budi” yang berbasis pada kerisalahan Muahammad untuk “menyempurnakan akhlak mulia” dan menebar “rahmatan lil-‘alamin” dalam kehidupan semesta. Ajaran Islam yang mencerahkan harus terwujud dalam karakter insan berakhlak mulia sebagaimana Rasulullah “diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nabi agung itu bahkan pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak mengantarkan manusia masuk surga, beliau menjawab: “Taqwallahi wa husnul khuluq”, yakni bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang mulia (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Abu Hurairah). Nabi memperingatkan dalam salah satu hadis yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Bukhari). Betapa penting dan menentukan ajaran tentang akhlaq mulia atau al-akhlaq al-karimah dalam Islam, yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbutan utama.
Di antara nilai Islam sekaligus perwujudan akhlak mulia yang mencerahkan dalam kehidupan menurut ajaran Islam ialah amanah, adil, ihsan, dan kasih sayang. Insan muslim diberi tanggungjawab menunaikan amanah dalam kehidupannya. Amanah yakni tugas mulia yang musti ditunaikan untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Amanah setiap muslim bahkan sangat berat yakni membawa kerisalahan Allah yang harus diwujudkan dalam kehidupan sebagaimana pesan-Nya dalam Al-Quran yang artinya: “Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (QS Al-Hasyr: 21). Amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi ialah menyebarkan risalah Tuhan dan mengajarkan ilmu serta memakmurkan dunia (QS Al-Baqarah: 30; Hud: 60). Manusia bahkan diberi amanah menunaikan tugas hidupnya sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah (QS An-Nisa: 58).
Amanah berdakwah dan memimpin umat merupakan tugas mulia yang penting untuk ditunaikan setiap muslim yang musti dilaksanakan dengan ikhlas dan penuh pertanggungjawaban. Menjadi apa saja, lebih-lebih memimpin umat dan bangsa, merupakan amanah luhur yang jika ditunaikan. Sebaliknya mereka yang abai dan tidak menunaikan amanah disebutkan oleh Nabi sebagai bersifat nifaq atau menjadi sosok munafik. Karennya Allah mengingatkan para hamba untuk menunaikan amanat dan jangan menghianatinya (QS Al-Anfal: 27). Tetapi, kadang atau sering manusia itu bertindak bodoh dengan tidak menunaikan amanat, sebagaimana diingatkam Allah dalam Al-Quran, yang artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72).
Islam selain mengajarjan amanah, juga mewajibkan kepada pemeluknya untuk berbuat adil, yakni sikap benar, objektif, dan tidak berat sebelah. Adil itu menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat. Ajaran tentang keadilan merupakan hal yang sangat esensial dalam Islam. Allah berfirman dalam al-Quran yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS An-Nisaa’:135). Sikap adil itu pantulan dari nilai benar dan nirhawa nafsu, sehingga insan yang beriman menjadi lurus hati sekaligus jujur dan bijaksana. Ketika harus menyuarakan kebenaran pun tetap dengan sikap adil dengan menjunjungtinggi objektivitas, bukan subjektivitas.
Sikap adil bahkan harus ditunjukkan meskipun terhadap pihak lain yang musuh. Allah mengajarkan agar muslim bertindak adil dan jangan karena kebencian terhadap suatu kaum membuat diri bertindak tidak adil, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran yang artinya “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah: 8).
Selain nilai adil, setiap mulsim juga diajarkan untuk berbuat ihsan. Ihsan ialah kebajikan utama yang melintas batas ruhani seseorang. Ihsan ialah “engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Dia, kalaupun engkau tak mampu melihat Dia, sesungguhnya Allah melihatmu” (HR Bukhari-Muslim). Hadis tersebut mengandung makna hakikat dan makrifat dalam habluminallah (hubungan dengan Allah), yang buahnya ialah hanluminannas atau bhubungan antar insan yang serbaluhur. Sikap ihsan yang memancarkan kemuliaan ditunjukkan dalam uswah hasanah Nabi. Ketika beliau dilempari batu hingga terluka parah tatkala hijrah ke Thaif, Nabi akhir zaman itu bahkan menolak tawaran Malaikat Jibril agar kaum yang melukainya itu diberi azab Tuhan. Nabi justru memaafkan bangsa Thaif karena mereka belum tercerahkan akal budinya.
Nabi bersama kaum muslimin memang pernah perang melawan kaum Quraisy. Namun perangnya Nabi karena membela diri dan menjaga keberadaan umat serta membela ajaran Islam, yang segala halnya dilakukan dengan seksama dan akhlaq mulia. Perang di jaman Nabi sangat menjunjung etika dan keadaban mulia. Perang bukan karena dorongan hawa nafsu dan ambisi-ambisi duniawi yang bertentangan dengan ajaran utama Islam sebagai agama damai dan penyebar keselamatan. Hasrat dan jiwa perang juga tidak boleh dibawa dan digelorakan dalam relasi habluminannas yang normal dan dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Bukankah Islam bermakna selamat dan damai, sebaliknya anti-kekerasan dan anti-perang yang muaranya meruntuhkan peradaban dunia. Karenanya Allah memerintahkan kaum beriman untuk berbuat adil dan ihsan (QS An-Nahl: 90), sehingga umat muslim tercerahkan hidupnya dan memancarkan pencerahan ruhani dan akal budi bagi lingkungannya.
Pencerahan akal budi juga diperkaya dengan ajaran kasih sayang, selain dengan adil dan ihsan. Islam mengajarkan kasih sayang atau sikap welas asih terhadap sesama, bahkan terhadap seisi alam semesta. Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Nabi bahkan diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS Al-Anbiya: 107), yang mengandung makna menebar kasih sayang yang melintasi. Ajaran kasih sayang itu bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan makhluk lainnya di alam raya. Dalam salah satu hadisnya Nabi bersabda “irham man fil ardli yarham-ka man fi-samaai”, artinya “sayangilah yang ada di bumi, niscaya Yang Ada di Langit akan menyayangimu.” (HR. At-Thabrani). Allah SWT bahkan membela para hamba sejauh hamba-hamba itu mengasihi dan membela sesamanya. Nabi bersabda, ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyatu al-samhah, bahwa agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang lurus dan lapang hati (HR Muslim dari Ibn Abbas).
Dalam berdakwah, bermu’amalah, serta menyikapi orang lain yang berbeda keyakinan sekalipun, termasuk perbedaan pilihan politik, sungguh terhormat manakala disertai jiwa kasih sayang dan lembut hati. Kelembuthatian yang berbasis ikhlas jika tetap dilandasi kekuatan prinsip atas keyakinan Islam tidak akan menjadikan diri rendah atau kalah di hadapan orang lain. Allah bahkan mengajarkan umat mukmin dan muslim untuk berlema-lembut sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran yang artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159). Nabi dengan kekuatan prinsipnya juga memiliki sifat lemah lembut dan tidak kasar hati. Menurut Al Hasan Al Bashri, sosok sufi ternama, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini”.
Pencerahan akal budi berbasis nilai-nilai amanah, adil, ihsan, kasih sayang, dan akhlak mulia lainnya menjadi penting dalam kehidupan yang seringkali paradoks. Dalam kenyataan Islam atau agama tidak sepenuhnya menunjukkan konsistensi, sebaliknya terjadi hal-hal yang bertentangan antara nilai ajaran dengan perilaku pemeluknya. Islam mengajarkan adil, ihsan, dan kasih sayang, namun para pemeluknya tidak jarang berbuat dhalim, keburukan, dan permusuhan. Islam mengajarkan kasih sayang, ta’awun, dan ukhuwah, namun pemeluknya berbuat permusuhan dengan sesama insan ciptaan Allah, bahkan dengan sesama seiman. Dalam narasi dan amalan orang Islam rajin shalat, puasa, dan iabadh-ibadah lainnya secara intensif tetapi sikap dan tindakannya diwarnai amarah, kasar, buruk kata, kebencian, dan permusuhan. Islam hanya sebatas ilmu dan ajaran verbal tetepi tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata, paradoks beragama seperti itulah yang termasuk beragama yang tidak mncerahkan yang dalam Al-Quran tergolong dalam perbuatan yang dimurkai Allah (QS Ash-Shaff: 3).
Dalam menggelorakan “Beragama yang Mencerahkan” segenap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah penting menyebarluaskan dan mengembangkan tradisi iqra dan pencerahan akal budi seperti sikap hidup amanah, adil, ihsan, kasih sayang sebagai bagian penting dari gerakan pencerahan yang menebar pesan-pesan keislaman yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Peran Majelis Tarjih dan Tabligh secara khusus penting untuk dioptimalkan dan dininamisasi dalam mendakwahkan Islam dan keislaman yang mencerahkan. Semua angggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah niscaya melandasakan dan membingkai pandangan-pandangan dan praktik keislamannya pada orientasi Islam yang mencerahkan yang merujuk pada Manhaj Tarjih dengan mengembangkan pendekaatan bayani, bunrani, dan irfani secara melintasi. Di tengah lalulintas dan dinamika paham maupun perilaku keagamaan yang beragam dan tidak jarang ekstrem, Muhammadiyah ditunut perannnya sebagai gerakan dakwah dan tajdid yang mencerahkan.
Beragama yang mencerahkan juga niscaya disebarluaskan di Media Sosial yang saat ini hadir sebagai dunia baru dalam relasi masyarakat secara membuana dan terbuka laksana pasar bebas. Dalam dunia yang serbaterbuka dan demokratis ala pasar saat ini tidak ada yang dapat menghindar dan menjauhi, apalagi menutup diri rapat-rapat dari media sosial. Dalam kehidupan yang niscaya seperti itu yang diperlukan ialah daya hadap dan daya seleksi yang cerdas dan bijaksana. Bagaimana menyerap semua informasi, pengetahuan, gagasan, pemikiran, paham, dan kepentingan yang bersebaran di media dan ruang publik untuk dipahami dan diselekesi dengan tingkat kualitas yang tinggi. Praktikan ajaran Allah dalam “Al-Hujarat” (Al-Quran Surat Al-Hujarat) tentang tabayun, ukhuwah, ishlah, dan ta’aruf yang menunjukkan akhlak mulia serta sebaliknya jangan saling merendahkan, tajassus, suudhan, memberi label buruk, menghardik, menebar kebencian, bermusuh-musuhan, dan perangai buruk lainnya yang menggambarjan akhlak tercela. Pada saat yang sama bagaimana mengembangkan tradisi iqra, adil, ihsan, kasih sayang, dan nilai-nilai akhlak mulia dalam bermedia sosial sehingga menjadi arena kehidupan yang berkeadaban mencerahkan.
Anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah dalam menghadapi beragam pemikiran dan keadaan juga niscaya cerdas, bijak, dewasa, dan berkemajuan. Tidak mudah mengikuti arus, tetapi jangan alergi pada pemikiran yang berkembang sebelum dikaji dengan seksama. Dalam mengkaji pun tidak perlu penuh ketakutan, fanatik-buta, dan apriori. Bukalah pikiran dan wawasan agar menjadi pelaku gerakan yang berkemajuan. Sikap terbuka dengan daya seleksi yang cerdas merupakan ciri dari orang berkemajuan. Kalau berbeda pendapat atau tidak bersetuju dengan pemikiran orang lain lakukan diskusi dan wacana dialog, tidak perlu mengerahkan massa atau melakukan tindakan yang politis sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan. Salah satu sifat dalam Kepribadian Muhammadiyah ialah “Lapang Dada, luas pandang dan memegang teguh ajaran Islam.”, sifat lainnya ialah “Bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.”.
Jika Muhammadiyah ingin menjadikan Islam teraktualisasi dalam wujud “Beragama yang Mecerahkan” sebagaimana menjadi tema Tanwir Bengkulu ini maka dimulai dari usaha menggelorakan kembali Gerakan Pencerahan di interrnal Persyarikatan untuk bersamaaan menyebarluaskan dan mengaktualisasikannya ke luar di lingkungan umat Islam, bangsa, dan kemanusiaan universal di ranah global. Pada lingkungan internal sosialisasikan dan harus menjadi instrumen yang melekat dengan seluruh kegiatan keagamaan di lingkungan persyarikatan bagaimana memahamkan dan mengamalkan Islam dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang mencerahkan sebagaimana menjadi bagian penting dari Manhaj Tarjih secara masif. Anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah seluruhnya termasuk para mubaligh di lingkungan Majelis Tabligh mesti akrab dan menjadi bagian dari paham keislamannya berpikir dan bertindak bayani, burhani, dan irfani. Tafsir yang dihasilkan Tarjih bahkan bernama “At-Tanwir”, yang mengandung arti pencerahan. Jika Kyai Dahlan berhasil mendirikan dan meletakkan dasar Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid yang berkemajuan karena alam pikiran bayani, burhani, dan irfani menyatu dalam dirinya, yang niscaya menjadi rujukan bagi para penerusnya di seluruh lini Muhammadiyah. Dari internal Muhammadiyah mesti digelorakan “Beragama yang Mencerahkan” agar umat Islam dan warga bangsa di negeri ini benar-benar beragama dan berkehidupan yang mencerahkan!
Menghadapi Tahun Politik
Tanwir Bengkulu bersamaan dengan suasana kontestasi politik Pemilu 2019 untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan calon anggota DPR/DPRD dan DPD. Pemilihan Umum merupakan proses konstitusional yang melibatkan kompetisi politik yang terbuka. Masing-masing pihak akan saling memperebutkan dukungan dari rakyat dan seganap komponen bangsa, termasuk dari Muhammadiyah yang memiliki anggota dan jaringan oragisasi yang luas. Muhammadiyah tidak dapat terhindar dari kehidupan poliik. Dalam Pedoman Hidup Islami mengenai “Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” bahkan disebutkan pada poin kesatu, bahwa “Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.“ Muhammadiyah tentu berharap agar warga Persyarikatan berpartisipasi politik dengan sikap yang mencerahkan dan tidak melibatkan organisasi ke dalam percaturan politik-praktis (politik kekuasaan) sebagaimana yang dilakukan para aktivis partai politik, lebih-lebih dengan sikap yang tidak mencerahkan.
Di tahun politik 2019 ini baik dalam relasi sosial langsung maupun melalui media sosial terasa sekali nuansa politik yang cenderung mengeras, saling menegasikan, menghujat, membenci, dan permusuhan satu sama lain dengan pandangan yang serba memutlakkan atau fanatisme-buta dalam dukung-mendukung. Ruang toleransi, kedewasaan, kearifan, dan sikap cerdas seolah menyempit sehingga satu sama lain menjadi aktir “true-believer” atau sosok-sosok fanatik-buta dalam berpolitik. Suasana politik selain memanas, bahkan terdapat nuansa yang diciptakan penuh dengan kegentingan, yang menyebabkan sikap keras dan ekstrem dalam berpolitik. Kehidupan politik mulai kehilangan moderasi, yang sangat diperlukan untuk mengembangkan sikap tengahan sebagaimana agama mengajarkan tawasuth atau wasathiyah. Nabi mengajarkan, “khair al-umur auwsthuha” atau sebaik-baik urusan ialah yang tengahan (HR Baihaqi), bahkan Allah memerintahkan umat untuk menjadi ummatan wasatha (QS Al-Baqarah: 143). Di sinilah sebagai aktualisasi “beragama yang mencerahkan” maka diperlukan pula khususnya di lingkungan warga Muhammadiyah untuk “berpolitik yang mencerahkan”.
Bagaimana dengan hubungan antara Muhammadiyah dan politik, serta bagaimana sebaiknya warga Muhammadiyah bersikap di tahun politik yang niscaya tersebut? Kadang terjadi tarik menarik tafsir tentang bagaimana sebaiknya Muhammadiyah secara institusi dan warganya selaku anggota Persyarikatan dalam berpolitik. Sebenarnya secara organisasi mesti dipahami dan menjadi komitmen seluruh anggota termasuk kader dan pimpinannya untuk tidak melibatkan Muhammadiyah dalam percaturan politik-praktis karena hal itu sudah merupakan pandangan dan sikap resmi organisasi sebagaimana terkandung dalam Khittah 1971 dan Khittah 2002. Meletakkan posisi dan peran Muhammadiyah yang non-politik praktis tersebut bukan hasil pikiran dan sikap orang-perorang atau personal tetapi resmi sebagai ketentuan dan sikap organisasi, sehingga semuanya mesti merujuk demikian tanpa perlu diperdebatkan lagi.
Namun dalam kenyataan selalu berkembang tuntutan yang niscaya, bagaimana Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya meskipun dirinya bukan partisan politik praktis. Bahwa dalam kenyataan Muhammadiyah tidak dapat menghindar dan menjauhkan diri dari percaturan politik di negeri ini. Dinyatakan pula, Muhammadiyah sepanjang sejarahnya bersentuhan atau berkaitan dengan kehidupan politik. Karenanya Muhammadiyah tidak boleh alergi, menjauhi, dan anti-politik. Hal itu benar sekali, tetapi tidak berarti kenyataan tersebut meniscayakan Muhammadiyah terlibat dalam percaturan kekuasaan dengan melibatkan diri berpolitik-praktis layaknya partai politik serta para pimpinan Muhammadiyah memposisikan dan memerankan diri sebagai aktivis atau pimpinan partai politik dalam menghadapi kehidupan politik di tahun politik 2019 ini.
Dalam sejarahnya betul sekali bahwa Muhamamdiyah meskipun tidak berpolitik-praktis karena posisinya sebagai Organisasi Dakwah dan Kemasyarakatan, secara faktual tidak lepas dari kehidupan politik terutama melalui para tokoh dan kadernya. Dalam kurun yang cukup panjang sekitar limabelas tahun (1945-1960) Muhammadiyah bahkan menjadi Anggota Istimewa Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sampai partai Islam ini dibubarkan tahun 1960. Muhammadiyah juga memiliki keterlibatan dalam ikut mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di era awal Orde Baru, meskipun di kemudian hari tidak berhasil menajdi partai Islam yang diharapkan meneruskan Masyumi. Setelah reformasi tahun 1998 atas mandat Tanwir Semarang dilakukan “ijtihad politik” berdiri Partai Amanat Nasional (PAN), yang sama seperti Parmusi berdiri terpisah dari organisasi Muhammadiyah.
Namun setelah tiga kali “keterlibatan” dalam politik tersebut, Muhammadiyah tetap berposisi dan berperan diri sebagai Organisasi Kemasyarakatan yang tidak berafiliasi pada partai politik tertentu serta tidak terlibat dalam kegiatan politik-praktis (politik kekuasaan, power struggle) sebagaimana yang menjadi tugas partai politik dalam sistem politik modern. Jalan keluarnya terbuka dua jalur. Pertama, Muhammadiyah mendorong dan menyiapkan kadernya untuk terlibat dalam partai politik sesuai ketentuan dengan kesiapan yang sebaik-baiknya untuk memperjuangkan aspirasi dan misi Muhammadiyah dalam perjuangan politik kekuasaan di pemerintahan. Kedua, Muhammadiyah melalui tugas para pimpinannya dan mekanisme organisasi yang berlaku menjalankan komunikasi, silaturahim, lobi, opini publik, dan berbagai saluran fungsi kelompok kepentingan untuk memperjuangkan aspirasi dan misi Muhammadiyah dalam kehidupan politik kebangsaan. Dengan dua jalur tersebut sebenarnya sangatlah memadai bagi Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah kemasyarakatan menjalankan peran dan fungsinya dalam kehidupan politik, yang semuanya mesti dilakukan dengan seksama dan tersistem dalam proses perjuangan yang dinamis dan tidak instan.
Muhammadiyah tetap perlu belajar dari pengalaman masa lalu bahwa politik itu tidaklah sederhana dan hanya berpikir tentang kemenangan atau hal-hal yang baik semata, tetapi juga rumit dan sarat benturan kepentingan yang tidak jarang keras sekali, sehingga lahir pemikiran dan kebijakan yang membingkai dan menjadi koridor organisasi dalam menghadapi kehidupan politik sebagaimana lahirnya Kepribadian dan Khittah. Khusus dalam kaitan keterlibatan dalam politik bersama Masyumi, Muhammadiyah mengalami dampak kurang positif dalam bentuk terbengkalainya kegiatan dakwah dan amal usaha Muhammadiyah, di samping Muhammadiyah ikut terbawa suasana konflik politik yang keras di era demokrasi liberal tersebut. Dengan pengalaman yang kurang kondusif tersebut lahirlah Kepribadian Muhammadiyah (1962) yang memberi bingkai pada karakter Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah melalui sepuluh sifat Muhammadiyah yang berangkat dari pertanyaan “Apakah Muhammadiyah itu?”. Tim perumus Kepribadian Muhammadiyah diketuai oleh KH. Faqih Usman dengan anggota Farid Ma’ruf, Djarnawi Hadikusumo, Djindar Tamimy, Dr. KH. Hamka, Mohammad Wardan Diponingrat, KH. M. Saleh Ibrahim, dan Mr. Kasman Singodimedjo. Dalam salah satu latarbelakangnya disebutkan, bahwa “Di Masyumi ini, banyak warga Muhammadiyah yang berkiprah dalam kancah politik dan karena dibubarkan maka banyak dari mereka yang kemudian kembali aktif di Muhamamdiyah. Namun kembalinya mereka diikuti oleh penerapan kebiasaan berjuang di partai politik (pragmatis, berorientasi pada kekuasaan) yang tentunya berbeda jauh dengan semangat berjuang di Muhammadiyah. Hal tersebut berdampak pada gerak langkah Muhammadiyah yang kalau dibiarkan dapat merusak perjuangan Muhammadiyah.”.
Muhammadiyah setelah itu melahirkan Khittah Ponorogo tahun 1969 disambung Khittah Ujung Pandang 1971 dan kemudian disempurnakan dalam Muktamar Surabaya tahun 1978. Setelah reformasi 1998, Muhammadiyah tetap menegaskan posisi dan perannya sebagai Organisasi Kemasyarakatan non-politik praktis dengan Khittah Denpasar tahun 2002. Dengan penegasan-penegasan Khittah tersebut dan diperkuat sebelumnya oleh Kepribadian Muhammadiyah maka hal itu menunjukkan kepastian posisi dan peran Muhammadiyah yang tetap istiqamah sebagai Organisasi Dakwah Kemasyarakatan yang tidak berafiliasi pada partai politik tertenru serta tidak terlibat dalam perjuangan politik-praktis sebagai sikap resmi organisasi yang diperkuat pada setiap Muktamar. Posisi dan sikap Muhammadiyah tersebut bukanlah kemauan atau pandangan orang-perorang yang menjadi pimpinannya tetapi melekat dalam sistem organisasi dari periode ke periode yang mengikat seluruh anggota Muhammadiyah.
Namun dengan Kepribadian dan Khittah Muhammadiyah tersebut tidak dimaknai atau berarti Muhammadiyah anti, alergi, dan menjauhi kehidupan politik. Secara umum Muhammadiyah memerankan politik kebangsaan dengan menjalankan fungsi kelompok kepentingan dalam posisi sebagai organisasi kemasyarakatan berkiprah dalam pembangunan masyarakat dan bangsa sebagaimana terkandung dalam Khittah 2002. Secara khusus dalam hal peran politik-praktis Muhammadiyah juga mendorong kadernya untuk berkiprah melalui partai politik yang diberi panduan moral dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dan melalui mekanisme organisasi tertentu yang diatur dalam Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam berbangsa dan bernegara Muhammadiyah bersikap aktif dengan menjalin komunikasi, lobi, dan upaya-upaya yang dibolehkan oleh organisasi dengan berbagai pihak baik dalam memperjuangkan kepentingan Persyarikatan maupun umat dan bangsa. Muhammadiyah berkomunikasi dengan pemerintah, partai politik, serta berbagai pihak lainnya secara elegan dan bermartabat. Dengan demikian secara umum sebenarnya sudah tidak ada masalah krusial yang berkaitan soal hubungan Muhammadiyah dengan kehidupan politik. Hal-hal yang sering menjadi masalah biasanya pada tataran operasional dan situasional yang memang lumrah dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan maupun komponen bangsa lainnya dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana hukum dinamika kehidupan. Soal dukung-mendukung atau pilihan politik dalam berpolitik-praktis memang bukan ranah Muhammadiyah secara organisasi, tetapi menjadi bagian dari hak konstitusional warga negara termasuk anggota Muhammadiyah secara individual.
Sebagai rujukan dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara penting diperhatikan Kepribadian Muhammadiyah yang mengandung sepuluh sifat yang harus menjadi bagian dari karakter setiap anggota, kader, dan pimpinan Persyarikatan dengan seluruh komponen yang terdapat di dalamnya. Sepuluh ciri dalam Kepribadian Muhammadiyah tersebut ialah sebagai berikut: (1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; (2) Lapang dada, luas pandang dan memegang teguh ajaran Islam; (3) Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah; (4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (5) Mengindahkan segala hukum dan undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah; (6) Amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh tauladan yang baik; (7) Aktif dalam perkembangan masyarakat dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam; (8) Kerja sama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya; (9) Membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; dan (10) Bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Bagi warga Muhammadiyah terdapat panduan nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana terkandung dalam “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah” sebagai berikut:
- Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
- Beberapa pinsip dalam berpolitik harus ditegakkan dengan sejujur- jujurnya dan sesungguh-sungguhnya yaitu menunaikan amanat dan tidak boleh menghianati amanat, menegakkan keadilan, hukum, dan kebenaran, ketaatan kepada pemimpin sejauh sejalan dengan perintah Allah dan Rasul, mengemban risalah Islam, menunaikan amar ma’ruf, nahi munkar, dan mengajak orang untuk beriman kepada Allah, mempedomani Al-Quran dan Sunnah, mementingkan kesatuan dan persaudaraan umat manusia, menghormati kebebasan orang lain, menjauhi fitnah dan kerusakan, menghormati hak hidup orang lain, tidak berhianat dan melakukan kezaliman, tidak mengambil hak orang lain berlomba dalam kebaikan, bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta tidak bekerjasama (konspirasi] dalam melakukan dosa dan permusuhan, memelihara hubungan baik antara pemimpin dan warga, memelihara keselamatan umum, hidup berdampingan dengan baik dan damai, tidak melakukan fasad dan kemunkaran, mementingkan ukhuwah Islamiyah, dan prinsip-prinsip lainnya yang maslahat, ihsan, dan ishlah.
- Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah dan ishlah serta ihsan kepada sesama, dan jangan mengorbankan kepentingan yang lebih luas dan utama itu demi kepentingan diri sendiri dan kelompok yang sempit.
- Para politisi Muhammadiyah berkewajiban menunjukkan keteladanan diri (uswah hasanah) yang jujur, benar, dan adil serta menjauhkan diri dari perilaku politik yang kotor, membawa fitnah, fasad (kerusakan], dan hanya mementingkan diri sendiri.
- Berpolitik dengan kesalihan, sikap positif, dan memiliki cita-cita bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan fungsi amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem dalam satu kesatuan imamah yang kokoh.
- Menggalang silaturahmi dan ukhuwah antar politisi dan kekuatan politik yang digerakkan oleh para politisi Muhammadiyah secara cerdas dan dewasa.
Muhammadiyah melalui Khittah Denpasar 2002 secara tegas menetapkan garis perjuanag politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang di dalamnya terkandung nilai dan orientasi tindakan bagi setiap warga persyarikatan sebagai berikut:
- Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur al-dunyawiyyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan pilitik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun memalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun dimana nilai-nilai Illahiyah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegakknya nilai-nilai kebersamaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, keadaban untuk terwujudnya “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”
- Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
- Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis dan berorientasi pada kekuasaan untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya NKRI yang diprolkamasikan tahun 1945.
- Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
- Muhammadiyah tidak berafiliasi ddan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan pollitik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
- Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus sesuai dengan tanggung jawab sebagai warga negara yag dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiayah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
- Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab, akhlaq mulia, keteladanan, dan perdamaian. Aktifitas polotik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar.
- Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah sungguh tidak dapat memisahkan diri dari kehidupan politik dan tidak boleh mengingkarinya, sebaliknya perlu mengambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal yang perlu menjadi kerangka berpikir anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah ialah berkaitan dengan sejumlah aspek penting antara lain sebagai betikut:
Pertama, memedomani Khittah, Kepribadian, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup, Pedoman Hidup Islami, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta prinsip-prinsip dan kebijakan organisasi sebagai asas dan tata aturan bermuhammadiyah baik bagi anggota maupun institusi organisasi. Kuhus tentang Khittah Muhammadiyah 2002 maupun Khittah 1971 masih berlaku dan mengikat secara organisasi yang dikukuhkan dalam Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar yang intinya Muhammadiyah tidak memgambil bagian dalam perjuangan politik-praktis dan tidak berafiliasi kepada kekuatan politik tertentu, tetapi menjalankan peran politik kebangsaan di luar jalur partai politik dengan posisi sebagai organisasi kemasyarakatan yang berfungsi selaku kelompok kepentingan.
Prinsip-prinsip organisasi tersebut bukan pendapat dan kepentingan orang-perorang dalam Persyatikatan, tetapi melekat dalam sistem organisasi Muhammadiyah itu sendiri yang mesti diikuti dan menjadi komitmen anggota lebih-lebih kader dan pimpinan di seluruh tingkatan dan lini organisasi. Pandangan dan pendapat orang perorang mesti dirujukkan pada prinsip-prinsip organisasai tersebut. Jika masih ada kekurangan dari pemikiran resmi organisasi atau terdapat pikiran baru di luar pemikiran-pemikiran resmi organisasi tersebut maka terbuka untuk dibahas sesuai dengan mekanisme organisasi, tetapi sebelum menjadi ketetapan organisai maka gagasan itu sekadar wacana atau pendapat individual semata. Pendapat individual pun tidak boleh bertentangan dengan prinsip atau pemikiran resmi organisasi, apalagi menganulir atau menegasikan prinsip dan pemikiran resmi organisasi.
Kedua, mengambil bagian dalam kehidupan politik dan tidak boleh apatis atau masa bodoh sebagaimana termaktub dalam poin pertama Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM): “Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”. Poin positif tersebut menunjukkan agar setiap warga Muhammadiyah berperan aktif dan tidak apatis atau masa bodoh dalam kehidupan “berbangsa dan bernegara” sebagaimana menjadi salah satu aspek dan judul yang dicakup dalam PHIWM tersebut. Bersamaan dengan itu secara institusional Muhammadiyah sesuai Khittah menjalankan fungsi politik kebangsaan untuk tegaknya Indonesia sebagai negara dan bangsa yang dicita-citakan para pendiri bangsa, yang dalam referensi Muhammadiyah dirujuk sebagai Indonesia Berkemajuan. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan komponen umat Islam memiliki komitmen pada perjuangan Islam bersama segenap kekuatan kaum muslimin untuk menjdikan Indonesia sebagai “Darul Ahdi Wa Syahadah” menuju Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Poin satu dalam PHIWM tersebut tidak mengandung perintah agar Muhammadiyah secara kelembagaan harus aktif dalam berpolitik-praktis. PHIWM sendiri dirumuskan tahun 2000 sebagai “cara berperilaku” (mode for action) menyerupai etika berkehidupan sehari-hari, sedangkan rujukan utama dalam berpolitik secara organisasi bagi Muhammadiyah dan mengikat bagi warganya tetap diatur dalam Khittah 2002 yang dirumuskan dua tahun setelah PHIWM. Pesan dalam PHIWM tersebut cukup proporsional, di satu pihak kader didorong aktif dalam kehidupan politik kebangsaan maupun politik-praktis sesuai misi dan mekanisme yang berlaku dalam Persyarikatan dan berbingkai misi luhur serta akhlak mulia sebagaimana menjadi model perilaku yang diatur dalam PHIWM. Pada sisi yang lain Muhammadiyah secara kelembagaan tetap berada dalam koridor Khittah yang menjadi garis perjuangannya, dengan fokus menjalankan misi dakwah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal yang berkemajuan. Bagi kader yang mengambil bagian dalam berpolitik praktis tetap perlu mengikuti nilai-nilai luhur Islami sebagaimana dipesankan dalam PHIWM tersebut. Sedangkan bagi warga Persyarikatan yang karena posisinya selaku warga negara untuk memilih maka tidaklah ada halangan dan bahkan dianjurkan sebagai pemenuhan hak konstitusional, tetapi ketika mendukung dan memilih tidak menjadikan organisasi atau Muhammadiyah sebagai lahan berpolitik-praktis.
Ketiga, Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan dan bukan sebagai organisasi atau partai politik, sehingga memiliki pekerjaan yang berbeda dengan partai politik. Politik itu penting sebagai urusan mua’malah-dunyawiyah dan peran partai politik sama pentingnya, tetapi hal itu bukanlah pekerjaan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan. Dalam poin kedua Khittah Denpasar 2002 disebutkan, bahwa “Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun memalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun dimana nilai-nilai Illahiyah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegakknya nilai-nilai kebersamaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, keadaban untuk terwujudnya “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.”.
Tetapi “Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.” (Khittah 2002 poin ketiga). Karenanya Muhammadiyah tidak dapat dibawa dalam percaturan politik-praktis sebagaimana posisi dan peran partai politik, sementara para pimpinan Muhammadiyah pun tentu perlu memposisikan dan memerankan diri sebagaimana pimpinan organisasi kemasyarakatan dan bukan sebagai pimpinan partai politik, kecuali yang oleh organidasi diberi idzin untuk menjalankan fungsi politik-praktis tersebut sesuai dengan kebijakan dan mekanisme yang berlaku dalam Persyarikatan.
Keempat, aktualisasi peran Muhammadiyah dalam kehidupan bangsa dan negara maupun dalam membangun hubungan dengan pemerintah dan partai politik dapat berwujud “netralitas”, “jarak yang sama”, kemudian “netralitas-aktif” atau “kedekatan yang sama” sebagai alternatif dari “mengambil jarak” yang selama ini menjadi cara menafsir atau mengkonstruksi hubungan Muhammadiyah dan politik. Aktualisasi tersebut tetap berada dalam koridor yakni Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dan bukan sebagai partai politik, sehingga porsi dan fungsi yang dijalankan tetap terukur dan seksama agar Muhammadiyah tidak memerankan diri seolah sama atau melebihi fungsi partai politik. Demikian pula para pimpinannya tetap memposisikan dan memerankan diri sebagai elite organisasi kemasyarakatan dan bukan sebagai elite politik atau elite partai politik. Posisi Ormas dan Parpol tersebut sama penting dan baik, tetapi satu sama lain dijalankan sesuai dengan keberadaan dan fungsi masing-masing. Manakala terdapat kepentingan politik tertentu yang menyangkut hajat hidup Muhammadiyah, umat, dan bangsa yang krusial maka Muhammadiyah menempuh langkah-langkah komunikasi politik dan fungsi kelompok kepentingan yang seksama sesuai dengan prinsip-prinsip dan kepribadian Muhammadiyah. Semua langkah penting dan strategis yang diambil lazim melalui musyawarah dan kebijakan organisasi, sehingga bukan merupakan langkah perorangan.
Hal yang perlu menjadi catatan ialah, politik baik dalam makna perjuangan kekuasaan (politik-praktis) maupun berbangsa dan bernegara (politk kebangsaan) tidaklah linier dan jangan memandangnya secara hitam-putih, karena sering politk itu rumit dan saling terkait dengan banyak faktor, aktor, dan kepentingan. Politik juga jangan diletakkan dengan asumsi meraih keberhasilan atau kemenangan semata, tetapi juga dengan kemungkinan kekalahan atau ketidakberhasilan, sehingga semua hal tidak dapat dianggap serbamudah dan seolah sederhana. Apa yang sering oleh sementara pihak diklaim sebagai “kepentingan umat Islam” atau “kepentingan Muhammadiyah” atau “kepentingan bangsa dan negara” pun tidak secara otomatis persis seperti itu, boleh jadi banyak atau terdapat kepentingan lain yang belum tentu sama dan sebangun seperti diidealisasikan di ruang publik. Di dalam politik terdapat kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan bakan dinasti atau oligarki yang tidak sering berkaitan dengan hajat hidup publik, termasuk di dalamnya kepentingan khusus Muhammadiyah atau umat Islam. Perilaku politik elite pun tidak selalu indah sebagaimana sering diidealisasikan atau diidolakan publik, karena pada kenyataan sering terjadi “kata tidak sejalan tindakan”, yang disebut khalayak sebagai “inkonsistensi” sikap yang bagi aktor itu sendiri boleh jadi merupakan bentuk dari “konsistensi” sikapnya yang “tidak konsisten”. Dalam teori interaksionis-simbolik Ervin Goffman disebut “dramaturgi” di mana perilaku aktor berbeda antara “layar depan” (front stage) dan “layar belakang” (back stage), yang bagi sementara orang awam sulit terjangkau dalam memahami perilaku dan dunia kehidupan politik karena mereka hanya melihat yang di permukaan semata. Di situlah rumitnya urusan politik, yang memerlukan keseksamaan, lebih-lebih bagi Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah kemasyarakatan yang memiliki amal usaha, aset, dan jaringan organisasi yang besar dan tentu saja tidak boleh dipertaruhkan lebih-lebih dengan cara serampangan.
Kelima, Muhammadiyah memberi solusi yang elegan dengan mendorong kadernya yang siap dan berkemampuan untuk aktif atau berjuang dalam politik-praktis melalui partai pllitik, mendorong dan berkomunikasi dengan kekuatan partai politik agar kekuatan politik tersebut menjalankan fungsi sebagaimana mestinya untuk membangun bangsa dan negara, serta Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi kelompok kepentingan dalam menyikapi kebijakan negara/pemerintah yang menyangkut hajat hidup bangsa dan negara sebagaimana ditentukan dalam Khittah 2002. Bagi yang aktif di partai politik atau perjuangan politik praktis maka tunaikan dengan idealisme yang baik, membawa misi Muhammadiyah, serta memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa secara optimal. Muhammadiyah tentu akan memberikan dukungan postif bagi para kadernya agar berhasil dalam perjuangan politik kekuasaan. Jika berhasil maka perjuangkan pula misi Muhammadiyah dan bila mampu bantulah Muhammadiyah secara baik. Setidak-tidaknya kalau belum dapat membantu Muhammadiyah maka kader politik dari Muhammadiyah jangan membebani Muhammadiyah dengan urusan dan kepentingan politk yang bukan menjadi porsi Muhammadiyah, apalagi sampai mendesak-desakkan urusan politiknya yang menyebabkan keretakkan dan masalah di tubuh Muhammadiyah.
Adanya Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai larangan rangkap jabatan tertentu antara pimpinan Muhammadiyah dengan partai politik tiada lain untuk menjaga keteraturan dan tetap adanya koridor organisasi untuk menghindari konflik-kepentingan, meskipun dalam sejumlah langkah dilakukan fleksibilitas sesuai dengan kebijakan Pimpinan Pusat. Kebijakan Muhammadiyah tersebut bukanlah bentuk ambigu, tetapi sebagai keniscayaan adanya tata-aturan sebagaimana layaknya organisasi yang bersistem baik. Bahwa selalu terdapat kekurangan dari setiap kebijakan organisasi tentu hal itu disadari adanya, karena segiap polihan kebijakan senantiasa mengandung sisi lebih dan kurang, yang selalu diantisipasi dengan langkah-langkah akomodasi agar organisasi tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun selain diperlukan upaya fleksibilitas atau akomodasi, suatu aturan atau kabijakan organisasi tersebut tetap penting agar Muhammadiyah yang telah berjalan satu abad lebih dan memiliki sistem organisasi yang baik tetap harus dipertahankan sebagai pijakan dalam berorganisasi dan menjadi kesadaran kolektif para anggotanya. Jika beroganisasi kehilangan tatanananya, maka gugurlah eksistensi dan fungsi organisasi tersebut. Tentu saja organisasi pun memerlukan pembaruan, sehingga tidak dapat dimutlakkan dan dibiarkan mengalami stagnasi, tetapi pembaruan organisasi pun memerlukan proses dan mekanisme organisatoris, yang memerlukan visi dan komitmen para anggotanya untuk mengagendakan dan melakukan perubahan.
Keenam, para anggota khususnya kader dan pimpinan di lingkungan Persyarikatan hendaknya berpikir, bersikap, dan bertindak seksama dalam menghadapi dinamika politik. Kedepankan kepentingan organisasi di atas kepentingan lainnya, lebih-lebih manakala kepentingan lain itu dapat melemahkan keberadaan dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid sebagai organisasi kemasyarakatan yang besar. Mempertimbangkan perkembangan dinamika situasi nasional dan lokal maupun kondisi internal persyarikatan dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 tersebut bagi organisasi kemasyarakatan dan organisasi dakwah seperti Muhammadiyah sungguh memerlukan penyikapan yang seksama. Bersamaan dengan itu agar tetap dapat dipelihara ketertiban organisasi sejalan dengan posisi dan peran Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjalankan misi dakwah dan tajdid sebagaimana Kepribadian dan Khittah gerakannya yang tidak terlibat dalam percaturan politik praktis sebagaimana halnya partai politik.
Karenanya secara moral dan organisasional para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan lingkungan mesti bersikap seksama dengan tetap Istiqamah berada di jalur organisasi kemasyarakatan dan dakwah serta tidak terbawa arus euforia politik yang di belakang hari dapat mengganggu stabilitas Muhammadiyah serta karakter gerakan Muhammadiyah yang selama ini terjaga dengan baik. Usahakan secara seksama tidak menjadikan acara-acara resmi Muhammadiyah dijadikan ajang kampanye atau dukung-mendukung pilihan politik masing-masing, termasuk menggunakan atribut dan nama Muhammadiyah yang menimbulkan masalah di dalam lingkungan Persyarikatan dan menjadikan organisasi terbawa dalam situasi politik yang partisan. Sikap bijaksana merupakan bagian dari keseksamaan serta wujud dari menjaga nama baik dan martabat Muhammadiyah. Dalam hal ini kepada seluruh Pimpinan Persyarikatan di semua tingkatan bersama Organisasi Otonom, majelis, lembaga, amal usaha, dan institusi lain di lingkungan Muhammadiyah untuk mengindahkan prinsip, ketentuan, dan keutuhan organisasi dalam menjalankan usaha, misi, dan visi gerakan.
Ketujuh, apabila di antara anggota, kader, dan personal pimpinan Muhammadiyah mempunyai konsep, pandangan, dan pemikiran yang kritis dan alternatif mengenai “Muhammadiyah dan Politik” di luar yang selama ini telah menjadi pemikiran dan langkah Muhammadiyah maka terbuka untuk didiskusikan, dibahas, dan didialogkan di lingkungan Persyarikatan sesuai forum wacana dan mekanisme organisasi yang berlaku. Susunlah konsep dan pandangan tersebut ke dalam pemikiran yang lengkap, lebih-lebih menyangkut aspek yang strategis, kemudian ajukan untuk dibahas secara seksama. Muhammadiyah terbuka dengan pemikiran-pemikiran alternatif jika betul-betul pemikiran yang diajukan tersebut memiliki landasan, argumen, dan kemanfaatan yang mendasar, penting, dan strategis bagi masa depan Muhammadiyah. Jangan sampai mudah memvonis negatif pemikiran dan keberadaan Muhammadiyah dalam urusan politik dengan opini-opini selintas dan belum didialogkan di internal Persyarikatan secara seksama. Pengalaman menunjukkan banyak gagasan yang semula diragukan atau ditolak akhirnya diterima secara organisasi ketika memang pemikiran atau gagasan tersebut dapat dijelaskan dengan benar dan argumentatif, sehingga menjadi pemikiran resmi Muhammadiyah.
Jika memiliki pemikiran-pemikiran alternatif maka susunlah secara jelas, lengkap, dan sistematik untuk dijadikan bahan diskusi, kajian, dan pembahasan secara seksama dalam sistem yang berlaku di Muhammadiyah. Berbagai pemikiran lainnya pun seperti tentang nasib umat Islam, radikalisme dan terorisme, hak asasi manusia, masalah perundang-undangan, dan isu-isu besar lainnya di samping masalah Muhammadiyah dan politik maka terbuka forum dialog dan kajian ilmiah untuk diagendakan bersama dalam Persyarikatan. Konsep dan pemikiran tersebut tentu memerlukan pandangan multiperspektif agar tidak linier dalam mengkajinya maupun formulas yang dihasilkannya. Hal itu karena dalam kenyataannya pemikiran atau pandangan atau perspektif tentang apapun tidaklah tunggal dan hitam-pitih, demikian pula realitas kehidupan dalam bidang apapun tidaklah serba sederhana dan satu faktor tetapi seringkali kompleks dan multifaktor. Peneyederhanaan masalah dan pemikiran dapat menggiring pada reduksi dan solusi yang dangkal, sehingga tidak menembus ke akar dan tidak menghasilkan jalan pemecahan yang menyeluruh.
Kedelapan, Muhammadiyah bersama pemerintah, partai politik, dan komponen bangsa lainnya menjaga kehidupan kebangsaan di tahun politik tetap kondusif serta menyukseskan Pemilu yang demokratis, damai, aman, tertib, jujur, adil, dan objektif untuk kepentingan bangsa dan negara. Peran moral dan sosial Muhammadiyah dengan kepercayaan dan integritas dirinya jauh lebih memberikan kekuatan dalam mengawal demokrasi dan membangun kehidupan kebangsaan ke arah yang baik dan berkemajuan. Muhammadiyah menghargai perjuangan politik kekuasaan dan mereka yang berkiprah di dalamnya, lebih-lebih manakala hal itu diperankan oleh para kader Perayarikatan yang berkualitas dan bermartabat mulia. Seraya dengan itu bagi para kader politik atau siapapun yang memandang perjuangan politik sebagai penting dan strategi, maka hargai pula bahwa perjuangan dakwah Muhammadiyah dalam membangun masyarakat dan bangsa melalui gerak kemasyarakatan yang telah ditunaikannya selama lebih satu abad juga sama penting dan strategisnya.
Dalam konteks kebangsaan pun perbedaan politik jangan meruntuhkan kebersamaan dan keutuhan selaku bangsa Indonesia. Jika terdapat hal-hal yang krusial dalam menghadapi sitausi politik ditempuh dialog dan musyawarah yang seksama sesuai mekanisme organisasi, tidak menempuh langkah dan pemecahan sendiri-sendiri. Pilihan politik yang berbeda pun mesti ditunjukkan dengan sikap dewasa, cerdas, bijaksana, dan ukhuwah dengan mengedepankan kemaslahatan dan kepentingan Persyarikatan. Sangatlah rugi jika karena kontestasi politik lima tahunan atau urusan-urusan politik kemudian kehidupan dalam Muhammadiyah, umat Islam, umat beragama, dan bangsa menjadi terpecah-belah dan saling bermusuhan. Semua pihak di tubuh Persyarikatan harus dapat menahan diri dengan ikhlas, cerdas, dan bijaksana. Pupuk ukhuwah dan kebersamaan agar dalam perbedaan apapun terikat rada bersaudara dalam berorganisasi, lebih-lebih sebagai saudara seiman dan seagama. Tidak perlu satu sama lain mengklaim paling membela kepentingan Islam dan umat Islam dengan menegasikan sesama muslim lebih-lebih sesama warga Persyarikatan. Tumbuhkembangkan sikap dan rasa saling percaya antar anggota, kader, dan pimpinan di lingkungan Persayarikatan sebagai modal ruhaniah dalam berorganisasi dan menjalankan misi luhur Muhammadiyah.
Kesembilan, menyangkut politik Islam dan perjuangan umat Islam. Merupakan keniscayaan sebagai penduduk mayoritas umat Islam mengartikulasikan politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam perjuangan kekuasaan (politik-praktis) baik melalui gerakan keumatan lebih-lebih melalui partai politik. Dalam setiap tahun politik bahkan secara faktual sering disuarakan politik Islam dan perjuangan politik umat Islam. Penting diformulasikan apa yang dimaksudkan dengan politik Islam dan perjuangan politik umat Islam itu. Hal itu mengingat sering terjadi klaim di tubuh umat Islam sendiri yang satu sama lain berbeda. Sementara umat Islam sendiri terkategorisasi atau terkelompokkan ke dalam golongan dan kekuatan partai politik yang beragam. Partai politik Islam pun banyak, yang satu sama lain berbeda perspektif dan orientasi politiknya. Umat Islam yang heterogen itu pun pilihan dan afiliasi politiknya tidak tunggal alias beragam, sehingga perbedaan langkah dan strategi politik pun sangat majemuk.
Karenanya setiap pemikiran dan format “politik Islam” maupun “perjuangan politik umat Islam” sebagaimana sering menjadi klaim yang beragam di tubuh kaum muslim Indonesia penting untuk didialogkan dan dicarikan konsensus kolektif untuk mengartikulasikan perjuangan umat Islam dalam kehidupan politik di Indonesia. Jika masih bersifat personal atau kelompok tertentu maka sampai kapanpun akan terjadi disparitas dalam kehidupan politik umat Islam Indonesia dengan klaim-klaim politik masing-masing atasnama Islam dan umat Islam. Alangkah elok dan elegan untuk saling berbagi pandangan dan orientasi sikap yang cendekia-bijaksana ketika satu sama lain memiliki pandangan tertentu tentang keadaan dan pemikiran politik Islam untuk menghindari saling klaim paling benar. Sebelum segala seuatunya didiskusikan atau didialogkan sedapat mungkin dihindari saling perang opini yang tidak didukung data dan argumentasi yang lengkap serta dengan mempertimbangkan keadaan umat Islam sendiri yang sejatinya memiliki banyak masalah dan agenda strategis yang penting juga untuk diperbincangkan seperti ketertinggalan di bidang ekonomi, pendidikan, serta masalah-masalah keumatan dan dakwah di lingkungan umat Islam.
Sebagaimana dalam paham keagamaan, dalam kenyataan kehidupan politik di Indonesia terdapat fakta “satu Islam, banyak wajah”, lantas politik Islam dan perjuangan politik umat Islam yang mana yang harus menjadi rujukan dan pilihan perjuangan? Di tubuh umat Islam antara yang satu dengan yang lain sering berbeda pandangan yang tidak dapat dipaksakan kecuali melalui dialog dan musyawarah. Demikian halnya dengan keberadaan umat Islam dalam kehidupan politik maupun kebangsaan yang sering satu sama lain memiliki pandangan yang beragam atau berbeda dari para tokohnya, yang masing-masing tentu saja berhak berpendapat sebagai pribadi. Ketika dikaitkan dengan Islam dan umat Islam tentu semuanya perlu dibahas secara seksama dengan sebanyak mungkin tokoh dan organisasi di lingkungan umat Islam Indonesia yang begitu beragam atau heterogen. Masalah yang satu ini termasuk agenda strategis umat Islam Indonesia untuk dibahas dan didialogkan secara demokratis dan sistematis, yang sering menjadi titik krusial dan perbedaan yang klasik di tubuh umat Islam Indonesia sejak era kemerdekaan sampai saat ini.
Dari paparan mengenai Muhammadiyah menghadapi dinamika politik tersebut maka organisasi Islam yang didirikan Kyai Dahlan ini penting untuk benar-benar dijaga dengan seksama dalam bersikap sesuai dengan prinsip, keberadaan, kepentingan, konteks, dan situasi Muhammadiyah sendiri. Dengan demikian harus menjadi komitmen seluruh anggota, kader, dan elite pimpinan Muhammadiyah agar memiliki pandangan yang luas dan proporsional dalam menghadapi kehidupan politik nasional, baik dalam konteks bangsa secara umum maupun umat Islam dan Muhammadiyah secara khusus. Bersamaan dengan itu semua anggota lebih utama kader dan pimpinan Persyarikatan perlu istiqamah dalam menjaga marwah, keutuhan, kebersamaan, dan keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah kemasyarakatan yang non-politik praktis, seraya proaktif dalam peran-peran strategis kebangsaan serta dalam batas tertenru menjalankan fungsi kelompok kepentingan sesuai dengan kepentingan dan Kepribadian Muhammadiyah. Lebih dari itu penting diperhatikan dengan seksama bahwa Muhammadiyah itu organisasi Islam yang sangat besar dengan segala amal usaha, aset, akses, dan integritas gerakannya yang tidak dapat direduksi dengan kepentingan dan kontestasi politik tertentu, sehingga semua langkah Muhammadiyah memerlukan keseksamaan dalam koridor dan kepentingan organisasi yang lebih besar.
Muhammadiyah sebagai kekuatan Islam modernis terbesar bahkan diperlukan kehadirannya sebagai penyuplai pemikiran-pemikiran besar dan strategis mengenai bangsa dan masa depan Indonesia. Pemikiran-pemikiran mendasar dalam tiga buku Muhammadiyah yaitu “Revitalisasi Visi Karakter Bangsa” (2007), “Indonesia Berkemajuan” (2014), dan “Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah” (2015) penting disosialisasikan terus menerus agar menjadi alam pikiran kolektif di tubuh banggsa dan pemerintah Indonesia. Muhammadiyah juga tetap dituntut perannya sebagai penjaga moral bangsa dengan nilai-nilai keutamaan hidup yang bersumber dari Islam Berkemajuan, sehingga mampu memberikan “sibghah” bagi pembentukan karakter bangsa, termasuk dalam menghadirkan “politik Indonesia yang mencerahkan” sebagai satu paket atau elaborasi dari “Beragama yang Mencerahkan” sebagimana menjadi tema Tanwir di Bengkulu ini. Para intelektual atau akademisi Muhammadiyah sangat diharapkan buah pemikirannya yang jernih, mendasar, dan objektif dalam menggadapi masalah-masalah strategis persyarikatan, keumatan, dan kebangsaan sehingga Muhammadiyah memiliki pandangan yang komprehensif dan peta-jalan yang terang di tengah dinamika kehidupan nasional dan global yang sarat tantangan saat ini. Peran “dakwah kebangsaan” bagi Muhammadiyah tidak kalah penting atau sama pentingnya dengan tugas partai politik dalam perjuangan politik kekuasaan, yang bermuara pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa tahun 1945.
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah-kemasyarakatan yang besar dan berusia lebih satu abad sungguh diperlukan kehadirannya sebagai kekuatan Islam yang mencerahkan kehidupan kebangsaan, karenanya tidak dapat dipertaruhkan oleh tarik-menarik kepentingan politik praktis sesaat dan bersifat partisan, meskipun kehidupan politik tersebut dinilai penting dan dihargai oleh Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya tanggungjawab anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dalam menjaga Gerakan Islam ini untuk istiqamah sebagai organisasi kemasyarakatan nonpartisan politik praktis dan menjalankan peran kebangsaan yang mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Posisikan dan perankan diri selaku anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah secara seksama disertai komitmen tanggungjawab yang tinggi dalam menjaga dan memajukan Gerakan Dakwah dan Tajdid yang dititipkan sebagai amanah luhur oleh pendiri Muhammadiyah. Kyai Dahlan berpesan, “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi. Aku juga berdoa berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh ummat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.” (Mulkhan, 2007).
Muhammadiyah Ke Depan
Muhamamdiyah sejak berdirinya hingga saat ini terus berkiprah menjalankan misi dakwah dan tajdid melalui usaha-usaha yang dijalankannya untuk memajukan kehidupan umat dan bangsa menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di dalam Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah. Misi dakwah dan tajdid tersebut dilakukan melalui usaha-usaha yang diaktualisasikan salam amal usaha, program, dan kegiatan yang membawa pada kemajuan sehingga terbangun Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Muhammadiyah telah dan akan terus memberikan sumbangan besar dalam upaya-upaya mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa serta menyebarkan Islam sebagai risalah rahmatan lil-‘alamin (QS Al Anbiya: 107). Muhammadiyah dalam menjalankan misi utamanya itu tentu berafa dalam konteks kehidupan sesuai zamannya, sehingga dituntut membumi dan tidak memisahkan diri dari realitas kehidupan yang dijalani dan dihadapinya, termasuk dalam menghadapi dinamika kehidupan bangsa Indonesia maupun dinamika global dunia modern abad ke-21.
Kiprah Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal melekat dengan posisi dan peran gerakan Islam ini sebagai Organisasi Dakwah Kemasyarakatan melalui usaha-usaha yang ditetapkannya untuk terus dilaksanakan oleh para pimpinannya yaitu: (1) Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan; (2) Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya; (3) Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah, hibah, dan amal shalih lainnya; (4) Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia; (5) Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian; (6) Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas; (7) Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; (8) Memelihara, mengembangkan, dan mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan; (9) Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri; (10) Memelihara keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (11) Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan; (12) Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan gerakan; (13) Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat; dan (14) Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah (ART Muhammadiyah, 2005).
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang mengakar dan meluas di masyarakat Indonesia. Mengakar karena keberadaan gerakan Islam ini basisnya jama’ah, yakni umat atau masyarakat yang memiliki ikatan sosial tertentu, yang sadar akan kemajuan dan terdiri dari golongan menengah. Keberadaan Muhammadiyah juga menyebar di banyak kawasan di seluruh tanah air. Meski masih minoritas secara jumlah dibanding mayoritas masyarakat tradisional, penyebaran anggota dan pergerakan Muhammadiyah terdapat di seluruh pelosok negeri. Menurut sejarah setempat, di Aceh Muhammadiyah sudah menyebar sejak 1921, sedangkan di Merauke tahun 1926. Di kawasan Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan pulau-pulau terjauh juga menyebar pada fase sekitar 1922-1927. Padahal kala itu gagasannya banyak ditentang dan sarana transportasi masih sangat terbatas.
Keanggotaan Muhammadiyah terdiri atas berbagai kelompok sosial, lebih-lebih pada kelompok menengah ke atas, kaum terdidik, wirausahawan, profesional, dan kelompok lainnya. Pada sebagian kawasan juga terdiri para petani, nelayan, dan lain-lain meski tidak sebanyak kelompok pertama. Temuan disertasi Prof. Munir Mulkhan di Jember menunjukkan keragaman itu, meskipun di Pare temuan Clifford Geertz menunjukkan anggota Muhammadiyah sebagai kelompok sosial menengah perkotaan yang dikenal kaum santri modern. Hingga pada era Orde Baru banyak elite bangsa di berbagai lembaga pemerintahan dan yang bergerak di sektor modern berlatarbelakang Muhammadiyah. Kondisi ini menyebabkan mobilitas sosial-vertikal orang yang memiliki basis sosial Muhammadiyah cukup tinggi dan menyebar. Proses ini berlangsung alamiah, bukan rekayasa politik Muhammadiyah, yang sering membuat kelompok lain cemburu dan menuding Muhammadiyah bersekongkol dengan penguasa untuk meminggirkan mereka, suatu pandangan yang tidak sejalan fakta sosial. Integritas dan peran sosial warga maupun organisasi Muhammadiyah cukup baik, sehingga basis sosial umat dan daya jelajah gerakan Islam ini menjadi soko guru kekuatan civil soviety atau masyarakat madani yang cerdas, mandiri, dan maju.
Dengan keragaman latar belakang anggota dan simpatisannya, maupun posisinya selaku organisasi dakwah, Muhammadiyah menjadi lebih leluasa dalam bergerak mengembangkan jamaah atau komunitas yang dibinanya serta dalam menjalankan peran keumatan dan kebangsaan. Komunitas Muhammadiyah lebih sentrifugal atau meluas secara heterogen dan tidak sentripetal atau memusat secara homogen. Muhammadiyah termasuk organisasi Islam yang paling luas persebarannya di seluruh tanah air. Pada era politik Masyumi ketika Muhammadiyah menjadi Anggota Istimewa selama sekitar limabelas tahun lebih di era pemerintahan Soekarno-Hatta, keberadaan Masyumi lebih banyak di basis sosial Muhammadiyah yang kuat. Organisasi Islam modern ini bahkan unik karena dapat masuk ke daerah-daerah dan komunitas terpencil di hampir seluruh wilayah kepulauan Indoneia maupun di masyarakat di mana Islam minoritas seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Bagaimana mungkin organisasi Islam berhaluan tajdid yang sering disebut puritan dan secara stereotipe kadang dituding “Wahabi” mampu menembus batas pluralitas sosial yang sangat kontras dan kemudian banyak diterima secara terbuka di kawasan Indonesia timur jika bukan karena kelenturan dakwah dan gerakannya. Modal dakwah kultural ini sangatlah besar untuk terus dipertahankan dan dikapitalisasi, sehingga Muhammadiyah tidak saja membuktikan pengkhidmatannya yang nyata untuk memajukan masyarakat Indonesia secara inklusif sekaligus mempraktikkan pluralisme di di dunia nyata tanpa banyak retorika dan klain kebhinekaan yang semu.
Kekuatan Muhammadiyah juga pada sistem gerakannya melalui organisasi modern berbasis nilai-nilai Islami seperti ikhlas, musyawarah, amanah, ukhuwah, dan cara mengelola organisasi dengan akuntabilitas tinggi. Berorganisasi dalam melaksanakan dakwah bagi Muhammadiyah bahkan melekat dengan komitmen gerakannya sebagaimana perintah Allah dalam Ali Imran 104 yang menjadi salah satu insporasi lahirnya Gerakan Islam ini oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Dengan kerapihan sistem organisasinya Muhammadiyah mampu mengelola amal usaha, program, dan kegiatannya secara modern yang oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sering disebut sebagai organisasi ala “Holding Company” yang besar. Semua aset dan segala hal yang terkait dengan dan dimiliki organisasi semuanya atasnama Persyarikatan Muhammadiyah sebagai Badah Hukum. Kekuatan ini menjadikan gerakan Islam ini mampu bertahan dan berkembang melewati masa satu abad dan kini memasuki abad kedua dalam pergerakannya menuju masa depan yang sarat masalah dan tantangan dalam kehidupan dunia modern dan globalisasi abad ke-21 yang banyak berbeda dari era sebelumnya.
Kini Muhammadiyah memasuki abad kedua dan tidak lama lagi sekitar satu tahun setengah akan bermuktamar ke-48 tahun 2020 di Surakarta. Bagaimana para anggota, kader, dan lebih-lebih pimpinannya di seluruh tingkatan dan lini organisasi selain mempertahankan keberhasilan yang telah diraih, pada saat yang sama menjadikan Muhammadiyah dengan segala usahanya menjadi gerakan yang unggul-berkemajuan secara lebih menggembirakan dan membanggakan. Pada waktu yang bersamaan para pimpinan Muhammadiyah juga dihadapkan pada masalah dan tantangan yang semakin kompleks yang dihadapi gerakan Islam ini, termasuk di internal Persyarikatan sendiri dan yang menyangkut keberadaan organisasi ini.
Dalam beberapa kajian internal selain diperoleh data yang menggembirakan mengenai perkembangan Cabang dan Ranting dengan kegiatannya, bersamaan dengan itu terdapat hal atau keadaan yang perlu memperoleh perhatian sangat serius oleh para pimpinan di lingkungan Persyarikatan. Jumlah anggota Muhammadiyah yang cenderung stagnan, sebagian amal usaha yang cenderung menyusut jumlahnya di samping masalah kualitas, kegiatan jamaah di tingkat bawah yang kurang hidup, pengelolaan organisasi yang seadanya, konflik dalam pengelolaan amal usaha, dan masalah lainnya. Dalam temuan Nakamura terakhir (2010) antara lain hilang atau menurunnya etos pimpinan Muhammadiyah yang berani mengambil resiko dan berkhidmat tanpa pamrih, banyak orang Muhammadiyah tidak mau berubah, kecenderungan sikap puritan yang ekslusif karena sebagian masih terfokus pada gerakan TBC (anti tahayul, bid’ah, dan churafat), sehingga dalam 40 tahun itu selain ada kemajuan juga kemunduran atau regresi. Secara umum Nakamura mengkiritik melemahnya ideologi pembaruan di Muhammadiyah.
Muhammadiyah penting menerima kritik sebagai masukan penting agar tidak merasa berada di zona aman dan nyaman. Kini seiring dengan berjalannya waktu dan proses perubahan sosial yang cepat dan masif, jika diamati terdapat kecenderungan bahwa basis komunitas Muhammadiyah mulai longgar atau abu-abu. Masyarakat kota dan kelas menengah ke atas yang dulu menjadi basis gerakan dan komunitas Muhammadiyah mulai lepas dari genggaman gerakan Islam ini. Di sejumlah area bahkan mulai kehilangan pengaruh dan daya jelajah dakwah dan pergerakannya. Organisasi-organisasi keagamaan lain mulai masuk dan merambah dengan progresif, sampai batas tertentu mengambil alih peran Muhammadiyah. Kelompok komunitas baru pun lahir di sekitar Muhammadiyah baik di tingkat bawah dan menengah maupun atas, yang mungkin banyak tidak tergarap dakwah Muhammadiyah. Kelompok Islam yang dulu tradisional bahkan masuk ke perkotaan dan diterima dalam struktur sosial kelas menengah ke atas, pemikiran keislamannya pun jauh lebih maju dan sampai batas tertentu cenderung progresif dan inklusif sebagaimana Muhammadiyah generasi awal di era Kyai Dahlan.
Pertanyaannya apakah dakwah dan pergerakan Muhammadiyah saat ini masih memiliki tempat spesial di kalangan komunitas sosial lama maupun baru? Misalnya di berbagai komunitas masyarakat kota besar dan metropolitan, di samping di pedesaan dan daerah-daerah terpencil dan terjauh? Begitu pula pada generasi baru yang lahir dalam kultur media sosial dan generasi milenial? Mampukah Muhammadiyah berfastabiqul-khairat secara lebih unggul dengan gerakan Islam lain maupun gerakan keagamaan lainnya di negeri ini yang dalam sejumlah aspek mereka lebih maju? Muhammadiyah wajib hadir di tengah dinamika sosial baru dengan menampilkan alternatif gerakan dakwah yang berkemajuan. Muhammadiyah jangan sampai mengalami stagnasi (kejumudan) atau involusi (jalan di tempat), ketika pergerakan keagamaan lain mengalami transformasi sosial baru. Di sinilah pentingnya kehadiran yang dinamis dari Majelis Tabligh, Tarjih, Majelis Pendidikan, organisasi otonom, dan seluruh institusi Muhammadiyah yang semuanya bermisi dakwah dalam menghadapi realitas sosial baru dan masyarakat yang tengah berubah dengan cepat di awal abad kedua pergerakannya.
Alhamdulillah amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, ekonomi dan kewirausahaan, dan amal usaha lainnya terus berkembang secara kuantitas maupun kualitas. Peningkatan kualitas amal usahan menjadi keniscayaan untuk terus dilakukan, selain menyebarluasaan dan pengembangan. Amal usaha ekonomi yang menjadi pilar ketiga mestinya semakin dibumikan dan diperluas sehingga menjadi gerakan unggulan. Amal usaha merupakan kekuatas dan aset strategis Muhammadiyah menjadi gerakan yang semakin kuat dan mandiri. Perlu perhatian serius dan terfokus dalam meningkatkan, mengembangkan, dan pembaruan amal usaha Muhammadiyah dari seluruh tingkataj pimpinan Perayarikatan. Persaingan dengan “amal usaha” lain semakin tinggi, sehingga jika amal usaha Muhammadiyah tidak benar-benar dipikirkan masa depannya maka akan tertinggal.
Dakwah Komunitas yang menjadi amanat dan agenda penting dalam Muhammadiyah periode 2015-2020 memerlukan penanganan serius dan terprogram secara masif. Diakui sampai sekarang belum tampak gerakan Dakwah Komunitas tersebut menjadi perhatian dan prioritas di lingkungan Persyarikatan. Padahal program tersebut sangat penting dan strategis untuk dilaksanakan dalam mengembalikan dan memperluas daya jangkau dakwah Muhammadiyah ke berbagai segmen atau lingkungan sosial yang heterogen di tengah arus perubahan sosial dan fungsi dominan mesia sosial saat ini. Apakah para pimpinan Muhammadiyah benar-benar memikirkan dan menjalankan pelaksanaan gerakan dakwah komunitas yang diamanatkan Muktamar Makassar tiga setengah tahun yang lalu? Semua pimpinan penting berintrospeksi diri dalam mengemban amanat yang berat sekaligus mulia ini, setiap hari apa yang didiskusikan dan dipikirkan dalam bermuhammadiyah sekarang ini.
Para pimpinan Persyarikatan periode ini memiliki tanggungjawab besar untuk mewujudkan visi program hasil Muktamar ke-47 yang cukup berat yaitu: (1) transformasi (perubahan cepat ke arah kemajuan) sistem organisasi dan jaringan yang maju, profesional, dan modern; (2) berkembangnya sistem gerakan dan amal usaha yang berkualitas utama dan mandiri bagi terciptanya kondisi dan faktor-faktor pendukung terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; serta (3) peningkatan dan pengembangan peran strategis Muhammadiyah dalam kehidupan umat, bangsa, dan dinamika global. Visi gerakan dan program tersebut tentu bukan sekadar tertulis sebagai rumusan Muktamar tetapi niscaya diusahakan untuk dicapai secara jelas dan berkesungguhan. Apakah para pimpinan Muhammadiyah periode ini mengetahui dan memahami akan visi lima tahun Muhammadiyah tersebut?
Prioritas pengembangan program Muhammadiyah periode 2015-2020 ialah sebagai berikut: (1) Pengembangan kuantitas dan kualitas Cabang-Ranting sebagai basis penguatan, pemberdayaan, dan perluasan gerakan Muhammadiyah di akar-rumput sebagai bagian penting dan strategis dalam mengembangkan kekuatan civil Islam (masyarakat madani, civil society) di masyarakat; (2) Pengembangan sistem gerakan yang ditekankan pada pengayaan dan penyebarluasan ideologi dan pemikiran yang menjadi basis bagi pengembangan nilai-nilai keagamaan, intelektualitas, dan praksis gerakan yang bersifat pembaruan sebagai bagian penting dan strategis bagi pengembangan tajdid Muhammadiyah untuk pencerahan masyarakat; (3) Pengembangan kualitas sumberdaya anggota dan kader sebagai pelaku gerakan yang mampu mendinamisasi dan memperluas peran strategis Muhammadiyah dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan percaturan global; (4) Pengembangan amal usaha dan praksis sosial Muhammadiyah yang unggul dengan mengintensifkan dan memperluas program ekonomi, pemberdayaan masyararakat, dan gerakan jama’ah sebagai basis kemandirian dan kekuatan strategis Muhammadiyah; (5) Pengembangan model gerakan pencerahan Muhammadiyah ke dalam program berbasis komunitas yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan bagi kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan universal; dan (6) Pengembangan peran strategis Muhammadiyah dalam kehidupan bangsa dan negara serta percaturan global yang berbasis pada prinsip, kepribadian, kemandirian, keseimbangan, dan kemaslahatan sesuai misi utama Muhammasiyah.
Bersamaan dengan itu pada fase tiga tahun berjalan, Muhammadiyah secara internal juga memiliki sejumlah masalah yang harus dihadapi dan dipecahkan. Di sejumlah wilayah masih terdapat daerah, cabang, dan ranting yang tidak sepenuhnya aktif yang memerlukan penguatan. Program dakwah komunitas, termasuk di tingkat jamaah, masih belum terlaksana sebagaimana mestinya. Semua masjid masih belum terkelola dan dimakmurkan dengan sebaik-baiknya. Warga dan umat yang heterogen dengan berbagai masalahnya belum sepenuhnya tergarap oleh dakwah Muhammadiyah, baik di perkotaan maupun pedesaan dan daerah terjauh di seluruh kepulauan Indonesia.
Pada saat ini juga berkembang berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan lain yang semakin masuk ke masyarakat dengan aksi dan programnya yang menarik minat publik. Mereka menggarap lembaga pendidikan, kesehatan, dan usaha lain sebagaimana dilakukan Muhammadiyah yang berkualitas. Rumah sakit Siloam berdiri di setiap kota atau daerah, yang memerlukan kompetisi Muhammadiyah. Beragam paham keagamaan pun semakin meluas di lingkungan umat Islam yang memerlukan panduan keagamaan alternatif. Sementara media sosial menjadi area interaksi sosial baru yang memerlukan kehadiran dakwah yang mencerahkan. Bagaimana menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam alternatif yang unggul di tengah dinamika baru keagamaan dan kemasyarakatan yang dinamis itu? Para pimpinan Muhammadiyah dituntut pemikiran dan kerja-kerja yang cerdas dan produktif. Manakala lengah dan merasa aman, boleh jadi akan terjadi keadaan organisasi-organisasi lain bergerak jauh ke depan, sementara Muhammadiyah mulai ketinggalan.
Bagaimana para pimpinan Muhammadiyah memikirkan agenda-agenda penting dalam satu setengah tahun ke depan? Muhammadiyah tidak cukup berada di zona aman dan nyaman jika ingin terus maju menjadi gerakan Islam yang unggul. Amal usaha yang besar jangan sampai membuat para pimpinan Muhammadiyah berpuas diri serta menjadi berjalan di tempat tanpa melakukan usaha-usaha penguatan, peningkatan, dan pengembangan secara lebih dinamis dan lebih berkualitas. Jika tidak mampu melakukan terobosan, lakukan pengembangan kualitas. Hal yang niscaya ialah membangun pusat-pusat keunggulan yang akan menjadi kekuatan Muhammadiyah dalam lahan gerakannya di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, plus tablig yang masif dan mencerahkan.
Gerakan ke masyarakat di kota maupun desa serta daerah terjauh harus menjadi fokus pengembangan Muhammadiyah jika ingin tetap mengakar di negeri ini. Jangan terus berwacana dan sibuk dengan mengusung isu organisasi lain lebih maju, misi agama lain masif, dan kita merasa ketinggalan jika tidak diberangi dengan kesungguhan menjalankan usaha-usaha Muhammadiyah secara optimal. Kadang mau merumuskan satu konsep atau pemikiran saja tidak tertunaikan, sementara reaksi atas masalah yang terjadi sering begiturupa tinggi tanpa memberikan pemikiran alternatif dari Muhammadiyah. Lebih-lebih di tahun politik yang prosesnya memakan waktu tujuh bulan dan segala sesuatunya boleh jadi sampai satu tahun, manakala tidak proporsional dan menjaga keseimbangan kemungkinan yang dijadikan diskusi dan bahan perhatian hanyalah isu-isu politi belaka, yang tidak jarang sangat parsial dan tidak produktif serta sampai batas tertentu menguras emosi dan energi yang melelahkan.
Jika tidak puas dengan keadaan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan maka rumuskan pemikiran dan langkah-langkah alternatif dan strategis, sebagai ikhtiar alternatif penghadapan yang semestinya. Dalam bahasa Muhammadiyah kedepankan sikap dakwah “lil-muwajahah” (menghadapi) daripada “lil-mu’aradlah” (mereaksi), sehingga dihasilkan solusi. Solusi pun bukan yang bersifat instan apalagi sekadar dengan be-WA (WhatsApp) yang seringkali berupa pikiran pendek dan dangkal. Diskusikan dan berikan solusi alternatif jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang yang dapat mambawa Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa menuju arah yang diidealisasikan. Mengelola dan berkiprah memajukan Persyarikatan, umat Islam, dan bangsa memang berat dan tidak mudah, karenanya diperlukan pemikiran dan pengerahan kemampuan yang optimal, seksama, dan terus menerus dimusyawarahkan bersama untuk diperoleh langkah-langkah alternatif yang memajukan dan mencerahkan.
Jika memiliki pemikiran yang penting dan strategis baik tentang Muhammadiyah maupun tentang kehidupan umat Islam dan bangsa maka tawarkanlah dengan pikiran-pikiran alternatif untuk didialogkan, dibahas, dan dicarikan perumusan secara organisasi. Jika menyangkut umat Islam maupun bangsa dapat dikomunikasikan dan diwacanakan dengan golongan lain sehingga memberikan jalan strategis ke depan. Sikap mudah saling menyalahkan maupun memvonis sesama karna menempuh jalan berbeda tanpa menawarkan peta-jalan dan pemikiran yang luas maka yang terjadi stagnasi dan distorsi sesama umat. Rumuskanlah strategi perjuangan umat Islam di bidang politik, ekonomi, dan budaya yang dapat dijadikan agenda bersama!
Dalam bermuhammadiyah memang memerlukan pemikiran dan langkah sistematis dengan basis koridor prinsip, sistem, dan mekanisme organisasi yang menjadi rujukan bersama. Jika memiliki pemikiran alternatif terbuka untuk didialogkan sesuai dengan koridor di Persayarikatan. Bukan pikiran dan langkah individual, lebih-lebuh sekadar pikiran lepas. Bermuhammadiyah itu harus berpikir sekaligus bekerja dan berkorban secara kolektif dan tersistem. Karenanya para pimpinan di seluruh tingkatan pasca Tanwir Bengkulu 2019 kian dituntut tanggungjawabnya yang tinggi dalam memikirkan dan menjalankan amanat organisasi untuk membawa Muhammadiyah menjadi semakin berkemajuan.
Posisikan dan perankan diri para pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan sebagaimana menjadi pemimpin dari Organisasi Dakwah dan Organisasi Kemasyarakatan secara semestinya. Meski Indonesia sedang berada di tahun politik 2019 dan warga Muhammadiyah harus mengambil bagian dalam kehidupan politik kebangsaan, tetapi jangan melalaikan tugas dan tanggungjawab mengurus Muhammadiyah sesuai amanat Muktamar ke-47. Sungguh masih banyak usaha dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan maupun masalah dan pekerjaan rumah Muhammadiyah yang harus ditunaikan dan diurus secara optimal oleh seluruh pimpinan Persyarikatan di semua tingkatan dalam sisa waktu yang tidak terlalu lama ini. Dengan mengingat urusan dan agenda Muhammadiyah yang demikian banyak dan krusial yang menuntut pengerahan segenap kekuatan, maka rasanya waktu yang tersedia sangatlah tidak mencukupi untuk dimanfaatkan mengurus dan memajukan Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya mengoptimalkan komitmen dan tanggungjawab oleh seluruh pimpinan Muhammadiyah dalam membawa gerakan Islam ini benar-benar menjad unggul berkemajuan.
Para pimpinan Muhammadiyah dari Pusat sampai Ranting bersama segenap pengurus Organisasi Otonom, Majelis, Lembaga, dan Amal Usaha sungguh mulia ketika bersedia menjadi penerus perjuangan Kyai Haji Ahmad Danlan dalam berkhidmat mengurus Gerakan Islam ini. Tanggungjawab mengurus Muhammadiyah sama dengan mengikuti perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. dalam mendakwahkan Islam untuk membangun peradaban utama. Pesan Kyai Dahlan sangatlah tegas, “agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya.”. Pendiri Muhammadiyah itu bahkan menyampaikan wasiat ruhaniah (Mulkhan, 2004), “Aku berpesan hendaklah engkau sekalian bekerja dengan sungguh-sungguh, penuh kebijaksanaan, penuh kehati-hatian serta senantiasa waspada di dalam menggerakkan Muhammadiyah dan dalam mengerahkan tenaga umat. Janganlah engkau menganggap masalah ini sebagai persoalan kecil dan sepele, persoalan Muhammadiyah adalah masalah besar. Siapa saja yang mengindahkan pesanku adalah pertanda orang yang tetap mencintai aku dan Muhammadiyah”!