Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim
Tak dipungkiri kenyataan bahwa eskalasi politik akhir-akhir ini menjelang Pilpres nampak semakin meninggi, apalagi jika patokannya kepada media sosial. Nampak dengan jelas pembelahan publik (netizen) telah terjadi dan semakin menajam.
Yang sangat memprihatinkan adalah ditariknya agama dan ormas sosial keagamaan oleh para tokohnya dalam pusaran pertentangan kepentingan dan kontestasi politik praktis ini. Dengan pemanfaatan isu agama dan kekuatan besar ormas keagamaan diharapkan tidak saja akan memperoleh lejitimasi keagamaan, akan tetapi juga dukungan elektoral yang signifikan. Puncak kepuasannya terletak kepada keberhasilannya mengalahkan rival politiknya dan pahala politik akan diterima.
Persoalannya adalah tidak ada jaminan sedikitpun bahwa kemenangan akan diperoleh meskipun survey diharapkan bisa membantu gambaran empirik. Yang terjadi kemudian ialah meningkatnya intensitas serangan melalui berbagai cara termasuk cara-cara yang bahkan melampaui batas kewajaran moral dan sosial.
Dalam situasi seperti ini isu atau dalil serta sentimen keagamaan terus dimainkan terutama oleh para aktor utama yang secara langsung memang berkepentingan untuk memperoleh pahala atau berkah politik. Narasi yang dibangun adalah perjuangan atau jihad melawan kebatilan yang memang harus dilakukan oleh setiap muslim/muslimah. Kontestasi politik Pilpres dimaknai sebagai jihad pembela kebenaran (al-Haq) melawan kebatilan (al-Bathil) dan karena itu harus menang.
Jika pembela kebatilan yang menang, maka sudah dipastikan ini karena telah melakukan kecurangan politik dan Islam serta umat Islam akan jadi korban; negara dan bangsa Indonesia pada akhirnya akan hancur atau bubar. Yang memprihatinkan justru para aktornya adalah kaum terpelajar, ilmuan, akademisi. Inilah yang juga menjadi keprihatinan mendalam Ketua Umum PP Muhammadiyah. Para ilmuan dan akademisi ini seharusnya memberikan pencerahan kepada masyarakat, bukan memprovokasi dan menyesatkan.
Pusat-pusat pendidikanpun seharusnya steril dari pemikiran agitatif dan tarik menarik kepentingan politik praktis meskipun nampaknya dibungkus dengan logika akademik dan argumen/sentimen keagamaan.
Agama, akhir akhir ini, diperkuat oleh kekuatan Kanan dijadikan sebagai sumber doktrin untuk mendelejitimasi pihak lawan dan semua kekuatan pendukungnya karena memang dipercaya sebagai sumber masalah dan kebatilan. Cara pandang perbenturan hitam putih seperti ini akan memberikan ruang yang jembar bagi berkembang dan menguatnya ekstrimisme berbungkus agama.
Jika kita berkaca kepada pengalaman sejarah, maka ekstrimisme berbungkus agama ini justru akan memperlemah dan memporak porandakan kohesivitas masyarakat dan bangsa. Contoh yang masih bisa disaksikan adalah Timur Tengah.
Nilai-nilai atau prinsip luhur yang sebetulnya tersedia begitu melimpah dalam al-Qur’an dan dalam kehidupan sehari-hari Muhammad Rasulullah tersisih karena praktek praktek politik pragmatis dan jangka pendek ini. Kesantunan, penerimaan dan penghormatan secara tulus terhadap perbedaan, menjaga martabat dan muruah sesama, toleransi, menjaga persaudaraan dan persatuan, tidak hoax dan tidak membuly, menghormati institusi pemerintah dan negara yang sah terpinggirkan.
Tak berlebihan untuk berpandangan bahwa ini turning points yang luar biasa bagaimana keluhuran ini tergantikan dengan ketidakwarasan. Nilai-nilai luhur Pancasila dan juga demokrasi juga menjadi korban dari ketidak warasan ini. Seperti yang penulis utarakan di atas, ini sangat berpengaruh terhadap pandangan, sikap dan pilihan politik publik.
Muhammadiyah Sebagai Aktor
Posisi dan peran Muhammadiyah sangatlah penting dan strategis. Sebagai oraganisasi civil society muslim yang tertua dan sangat berpengaruh, kontribusi terhadap bangsa dan negara tidaklah diragukan karena memang telah dirasakan oleh masyarakat secara luas. Inilah yang mendorong pemerintah melalui Presiden Jokowi beberapa kali menyatakan secara langsung penghargaan dan ucapan terima kasihnya kepada Muhammadiyah yang telah berkorban dan memberikan banyak tanpa pamrih untuk bangsa dan negara. Hingga saat ini Muhammadiyah akan terus berkiprah secara nyata.
Dalam konteks pandangan dan sikap Keislaman dan kebangsaan, Muhammadiyah sudah jelas. Ini tercermin dalam konsep Indonesia Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah yang secara terus menerus akan diwujudkan. Muhammadiyah akan tetap menjadi aktor utama dalam kehidupan berbangsa ini, yaitu aktor menggerakkan pencerahan (Tanwir).
Tanwir tidak sekedar sidang tertinggi di bawah Muktamar, akan tetapi menjadi gerakan nyata Muhammadiyah dari masa ke masa untuk menjaga, merawat dan memajukan bangsa Indonesia secara kongkrit melalui berbagai program keagamaan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, kemanusiaan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dan kesehatan. Gerakan pencerahan ini tak terkecuali diharapkan akan mampu meluruskan berbagai penyimpangan praktek atau perilaku politik masyarakat sebagaimana yang diurai di atas.
Muhammadiyah menyadarkan masyarakat agar kembali ke jalan tengah (Wasathy) atau moderat dan kembali menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi bangsa serta nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Sesuai juga dengan ajaran Islam, jihad yang harus dilakukan ialah menegakkan keluhuran termasuk dalam praktek politik supaya benar benar sehat.
Politik yang sehat adalah yang menghargai perbedaan, bersemangat memperkokoh persatuan dan memperjuangkan cita cita bangsa, menghindari antagonisme, membuang jauh jauh hoax bully dan pembunuhan karakter, menjaga agama dari tarik menarik politik, penegakan hukum secara adil dan pada akhirnya menegakkan kemaslahatan umum (Maslahah Ammah). Inilah gerakan Tanwir atau pencerahan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sehingga demokrasi Indonesia benar benar berjalan secara jenuin dengan menjadikan nilai dan prinsip luhur agama sebagai faktor penting. Wallahu a’lam bis showab.
Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan Asisten Staf Khusus Presiden RI