Selama ini ketokohan Buya Hamka telah diterima oleh berbagai kalangan Islam di dunia. Berbagai gagasan dan karya besarnya telah melintasi batas geografis negara Indonesia. Dia diterima di hampir seluruh negara di Asean. Bahkan di negara yang secara resmi bermadzab Islam tertentu, karya Buya tetap dapat diterima.
Hamka adalah agamawan yang juga sastrawan. Sebuah perpaduan yang cukup aneh pada zaman itu. Tatkala banyak umat Islam yang masih mengharamkan penulisan sastra (roman maupun puisi) sebagai penyebar kebohongan. Hamka telah menulis puluhan roman yang digandrungi banyak khalayak.
Penggemar karya sastra Buya Hamka tidak hanya berasal dari kalangan Islam. Tetapi juga lintas agama, lintas ideologi, juga lintas suku bangsa. Salah satu dari ciri khas karya sastra Buya Hamka adalah menelanjangi berbagai pranata adat yang kaku yang katanya bersumber dari agama, namun sejatinya bertentangan dengan jiwa agama itu sendiri. Hal itu setidaknya dapat dibaca di buku Meratau ke Delli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, maupun Tenggelamnya kapal Van der Wijck, dan lainnya.
Di samping sebagai sastrawan, Buya Hamka juga dikenal sebagai agamawan yang tegas memegang prinsip yang tidak mengenal kata kompromi dalam menegakkan kebenaran. Ketua MUI pertama yang memilih mengundurkan diri daripada harus tunduk kepada kemauan penguasa. Pada titik inilah Buya Hamka kerap disalahpahamkan.
Bagi kalangan tertentu Buya Hamka dipersepsikan sebagai tokoh yang anti dan memusuhi agama lain. Kalau kita mau membaca teks utuh fatwa tersebut dalam konteks suasana sosial politik pada saat fatwa itu keluar, pasti tidak akan salah paham.
Kalangan yang mempersepsikan Buya Hamka sebagai tokoh yang keras, intoleran, dan bahkan memusuhi agama lain itu boleh jadi belum pernah membaca karya-karya Buya Hamka. Terutama tafsir Al-Azhar yang merupakan karya terbesar Buya Hamka. Dari karya-karya Buya Hamka yang ada, kita akan tahu bahwa Buya Hamka adalah sosok yang sangat terbuka, cerdas, rasional, mencintai agama, dan selalu mendudukan agama Islam sebagai jalan yang penuh rahmat bukan sarana untuk melaknat.
Sosok Buya Hamka yang seperti itu, tidak hanya terhenti di gagasan maupun di tulisan. Namun juga terejawantahkan dalam sikap politik kebangsaannya. Pada saat mayoritas orang memuja Bung Karno sebagai manusia setengah dewa, Buya Hamka tidak larut dalam suasana penuh ikut euphoria tersebut. Demikian juga ketika Bung Karno tersuruk dan dikutuk sebagai manusia setengah iblis oleh para anak bangsa yang dulu sebagian memujanya, Buya Hamka juga tidak ikut. Bahkan, Buya Hamka menjadi imam shalat jenazah Bung Karno, meski pada masa Bung Karno berkuasa, Buya Hamka dikirim ke penjara tanpa melalui pengadilan.
Lebih dari itu semua, meski tahu dirinya sebagai tokoh besar yang diikuti banyak orang, Buya Hamka tetap mencintai Muhammadiyah dan selalu meletakkan kepentingan Muhammadiyah di atas seluruh kepentingan pribadinya sendiri. (mjr)
___
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Utama Majalah Suara Muhammadiyah edisi 17 tahun 2018