Di bagian akhir penafsiran ayat 69 dari Qur’an Surat Al-Maidah [5] dalam Tafsir Al-Azhar juz 6, Buya Hamka menyatakan, “Inilah salah satu ayat yang mengandung toleransi besar dalam Islam. Terdapatlah di sini bahwa Islam membuka dada yang lapang bagi sekalian orang yang ingin mendekati Tuhan dengan penuh iman dan amal shalih.”
Menurut Hamka, iman kepada Allah dan Hari Akhir serta amal shalih merupakan kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang dinyatakan oleh ayat tersebut sebagai orang yang tiada ketakutan dan berduka cita. Dengan keimanan yang terpatri di dalam dada, seseorang akan diliputi sukacita batin yang menyamudera. Dia tidak takut dan gelisah, tidak iri dan dengki, tidak dendam dan benci, tidak amarah dan sombong tersebab semua yang terjadi.
Di lembaran selanjutnya, Hamka katakan, manusia diberi dua potensi; yaitu akal pikiran dan amal atau praktik. Daya akal berguna untuk merenungkan kebenaran dan daya amal berfungsi untuk bersungguh-sungguh menjalankan kebenaran yang diketahui. Puncak dari pengenalan pikiran adalah mengenal wujud zat yang paling mulia. Allah. Tuhan yang menghidupkan, mematikan, dan membangkitkan kembali di hari akhir. Adapun puncak dari amal adalah berupa memperbesar rasa penghambaan kepada yang disembah dan memperbanyak perbuatan yang memberi manfaat kepada sesama makhluk-Nya.
Tafsiran di atas menunjukkan kealiman seorang Hamka. Sosok multitalenta yang mengembara secara otodidak. Hamka ingin menjelaskan bahwa dalam kehidupan di dunia, manusia harus memiliki tujuan, yaitu keridhaan Allah. Jalan menuju pada-Nya telah direntangkan dengan daya akal dan daya amal. Dengan berpikir, manusia akan mengenal makna kehidupan; silih berganti hidup dan mati merupakan ujian keimanan dari Allah. Sepanjang usia hidup yang diberikan, manusia dituntut mengabdikan diri sebagai hamba yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada sesama. Sebagai wakil Allah di muka bumi, manusia harus mengelola kehidupan dan menebar kebajikan.
“Kalau pemeluk sekalian agama telah bertindak zahir dan batin di dalam kehidupan menurut syarat-syarat itu, tidaklah akan ada silang-sengketa di dunia ini tersebab agama. Tidak akan ada fanatik buta, sikap benci, dan dendam kepada pemeluk agama yang lain. Nabi Muhammad sendiri meninggalkan contoh teladan yang baik dalam pergaulan antara agama. Beliau bertetangga dengan orang Yahudi, lalu beramal shalih terhadap mereka,” ulas Hamka di juz 1 Tafsir Al-Azhar, ketika menguraikan makna ayat 62 dari surat Al-Baqarah yang bertalian erat dengan Al-Maidah ayat 69.
Penjelasan Hamka berikutnya masih cukup menarik. Rasa cemas kadang ditimbulkan oleh sikap fanatik buta, yang kadang karena terlalu fanatik, maka imannya bertukar sambut dengan cemburu; orang yang tidak seagama dengan kita adalah musuh kita. Lalu melahirkan sikap agresif, menghina, menyebar propaganda, dan bahkan menyerang mereka yang sebenarnya sudah memiliki agama. Kondisi iman yang terluka ini dikhawatirkan Hamka sebagai biang keladi kerusakan. Menurutnya, semua kita hendaknya senantiasa menggunakan otak dingin untuk mencari hakikat iman dan kebenaran.
Hamka menyatakan bahwa semua perlu terus mencari kebenaran dan kepercayaan, tidak berhenti hanya karena agama turunan. Ungkapan Hamka, “Ciri yang khas dari titik kebenaran itu ialah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang Satu; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam! Maka dengan demikian, orang yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya.” Upaya untuk terus mencari kebenaran Islam dipandang penting, bahkan di halaman 213 juz 1 Al-Azhar, dinyatakannya bahwa, Palestina dan Baitul Maqdis tidak akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi, “sebelum orang Arab khususnya dan orang-orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam.”
Iman pada Hari Akhir membawa manusia pada sikap untuk tidak semena-mena menjalani kehidupan dunia. Dia tidak akan menzalimi orang lain. Tidak akan berbuat jahat. Sebab, ada kehidupan setelah mati yang memberi balasan atas apa yang dilakukan. Dalam kehidupan tersebut, semua amal perbuatan manusia akan dimintai pertanggung jawaban. Dengan adanya hari akhir, moralitas akan terjaga. Tanpa ‘pengadilan’ di hari itu, manusia bisa sekehendaknya menuruti nafsu dan memangsa sesama. Iman kepada Allah dan Hari Akhir harus dibuktikan dengan amal shalih. “Bukan amal merusak,” tuturnya di halaman 206 tafsir Al-Azhar juz 1.
Pandangan itu telah membawa Hamka pada sikap keagamaan yang anggun dan elegan. Senantiasa menebar rahmat bagi sesama dan semesta. Selama menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama atas permintaan Prof Mukti Ali, Hamka bukan sosok yang gemar menghakimi dan mengumbar fatwa. Menurutnya, apabila manusia tidak mau beriman dan beramal shalih, maka itu merupakan sikap pribadi yang nantinya akan berperkara dengan Sang Pencipta.
Hamka menyatakan bahwa pengadilan masuk surga dan neraka merupakan hak Allah semata. “Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid, lalu digalilah lobang (Ukhdud) dan diunggunkan api di dalamnya dan dibakar orang-orang ingkar itu, sampai 20.000 orang banyaknya.”
Tafsir Al-Azhar yang ditulis di penjara itu memberi gambaran karakter seorang Hamka. Tafsir dengan nuansa sosial-kemasyarakatan itu lahir dari sosok terbuka yang sangat mengakrabi semua musim kehidupan. Masa mudanya dikenal nakal tetapi rakus membaca. Ayahnya, Haji Rasul mendidiknya dengan keras. Hamka ditempa beragam pengalaman. Horison pertemuan dengan banyak orang dan membaca banyak karya ikut merajut tenun kepribadiannya. Tak pelak, Hamka dikenal sebagai agamawan, sastrawan, negarawan, sejarawan, hingga wartawan. Berpadu sebagai orator ulung dan penulis prolifik. Cakrawala pengetahuannya yang luas membuat tafsir Al-Azhar bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Hamka merupakan sosok independen, bersahaja, dan menaruh hormat pada yang berbeda. Saat sambutan pelantikan Ketua MUI, Hamka berujar, “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun.” Jiwa luhur merdeka yang dipadu dengan integritas, menjadikan Hamka sebagai sosok yang disegani dan tidak mudah dibujuk rayu. Sebagai ketua MUI, Hamka tak mau digaji. Namun, Hamka selalu punya sikap santun dan hormat pada penguasa. Keteladanan ini dibawa serta hingga akhir usia.
Hamka adalah sosok berjiwa besar. Perih cacian, kebencian, fitnah, bahkan penjara pernah ia rasakan. Anaknya, Irfan Hamka mengenang kisah perseteruan Hamka dengan tiga tokoh penting: Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, dan Mohammad Yamin. Ketiga sosok ini pada akhirnya meminta maaf, dan Hamka sama sekali tidak memendam bara. Soekarno meminta Hamka mengimami shalat jenazahnya, Pramoedya memohon anak dan menantunya untuk belajar Islam pada Hamka. Yamin menghendaki Hamka mendampingi saat-saat menjelang ajal hingga mengantar ke liang lahat. (ribas)
___
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Utama Majalah Suara Muhammadiyah edisi 17 tahun 2018