Wejangan Nabi dalam Berkomunikasi

Big Data

COVER SM No 02, 2018

Oleh: Mukhlis Rahmanto

Dari Abi Tsa’labah Al-Khusyani ra berkata: bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara kalian, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku kelak pada hari kiamat adalah al-tsartsarun (orang yang suka mengkritik tanpa melalui pertimbangan bijak dan fakta) dan al-mutasyaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafaihiqun” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah! Kami tahu (mereka) ats-tsartsarun dan almutasyaddiqun, namun siapa mereka al-mutafaihiqun?” Rasulullah saw bersabda: ”Mereka adalah orang-orang yang sombong” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Hadits ini diriwayatkan oleh AtTirmidzi (2025) dalam Sunan-nya, dimana ia menilainya dengan hasan gharib dan Ahmad (17278) dalam Al-Musnad, dengan mempunyai penguat dari jalur sanad lain seperti dari Al-Thabrani dalam Al-Ausath (4442) dan Al-Shaghir (605) serta AlBaihaqi dalam Al-Syu’ab (7983) dari Ya’kub bin Abi Ibad Al-Qalzumi yang dinilai “tidak mengapa meriwayatkan darinya” oleh kritikus Ibnu Abi Hatim.

Komunikasi adalah bagian penting dari hubungan sesama manusia, dimulai dari seseorang (komunikator) yang mempunyai gagasan dalam pikirannya untuk disampaikan kepada pihak lain melalui pesan dalam bentuk kata-kata (verbal) atau dengan bahasa tubuh (non verbal). Ketika pihak lain (komunikan) merespon gagasan tersebut, terjadilah komunikasi dua arah, yaitu dengan adanya bentuk timbal balik antara kedua pihak.

Dalam pandangan Islam, hubungan sesama manusia (mu’amalat) diarahkan pada terwujudnya kemashlahatan dalam berbagai bidang kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari proses komunikasi yang baik. Artinya, tujuan, bentuk serta pola komunikasi yang baik tidak diperkenankan mengarah kepada kemudaratan, yaitu kondisi merusak, merugikan, menyakiti komunikan, yaitu mereka komunikan yang diajak berbicara. Maka perlu dipertimbangkan terlebih dulu, dengan siapa kita akan berbicara, latar belakang dan alam pikiran mereka, serta hak-hak dan kewajiban terkait yang telah ditentukan oleh agama dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat. Mengesampingkan beberapa hal tersebut, menjadikan komunikasi yang awalnya bertujuan pada kemashlahatan, berubah menuju kekacauan yang membuahkan berbagai konflik horizontal maupun vertikal. Karena ditengarai dewasa ini kebanyakan pola komunikasi masyarakat mengarah pada komunikasi satu arah di mana mengedepankan ‘keakuan’ komunikator. Tidak jarang kita temui di media sosial, interaksi yang terjadi antara warga dunia maya kebanyakan didasarkan pada komunikasi searah.

Hadits di atas menjadi bukti perihal komunikasi ini, dimana Nabi sangat menekankan untuk dilandasi dengan akhlak-etika yang di dalamnya kita dapati tuntunan adab berkomunikasi yang baik. Latar Hadits tersebut jika dilihat dari perspektif komunikasi masuk ke dalam komunikasi multi arah dimana antara komunikator dan komunikan bertemu untuk bergantian dan dialogis, salaing menyampaikan pesan-informasi dalam sebuah kelompok di suatu tempat, yaitu majelis pertemuan. Memang menjadi kebiasaan Nabi memberikan pengajaran keagamaan maupun bermusyawarah urusan-urusan duniawi dalam sebuah majelis yang beliau laksanakan di Masjid Nabawi setelah shalat lima waktu dituntunkan.

Dalam riwayat-riwayat yang lain, dapat disimpulkan Nabi berkomunikasi dengan sahabatnya begitu cair dan sangat dialogis. Sebagai referensi pengetahuan keagamaan dimana lisan dan pikiran Nabi tidak dapat dipisahkan dari bimbingan Tuhan, idealnya Nabi-lah otoritas tunggal dengan mengutamakan pola komunikasi satu arah. Namun beliau tidak menggunakan otoritas tersebut dengan malah mendahulukan keluhkesah para sahabatnya atau malah mengambil usul-pendapat dari para sahabatnya. Misalnya, ketika Nabi memilih mendahulukan pendapat sahabat Salman Al-Farisi untuk membuat parit di sekitar Madinah dalam musyawarah bersama membicarakan strategi serta taktik seperti apa yang hendak diambil oleh kaum Muslimin saat itu.

Untuk itu Hadits di atas adalah pesan kenabian yang berisikan beberapa adab-adab berkomunikasi. Nabi mengingatkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah dilandasi dan dihiasi dengan akhlak-etika yang baik. Sehingga baik buruknya akhlak seseorang, dapat dinilai dari cerminan pola komunikasi yang dibangun dan dibiasakannya. Seseorang yang rendah hati, penyayang dan pengasih tidak dapat dilepaskan dari komunikasi yang baik dengan sesamanya.

Beberapa perilaku yang harus dihindari dalam berkomunikasi dalam hadits di atas antara lain: Pertama, Al-Tsartsarun, yaitu banyak berbicara tanpa dilandasi berbagai macam pertimbangan yang logis serta aturan syariat. Gemar menghunjamkan kritik kepada orang lain tanpa didasari argumen yang benar dan tepat serta ingin memfitnah dan menjatuhkan orang lain. Kritik yang baik adalah kritik yang membangun dan didasarkan pada semangat saling menasehati antara sesama Muslim dalam koridor keimanan dan ukhuwah Islamiyah sehingga terwujud kemashlahatan hidup di dunia dan akhirat. Kedua, al-mutasyaddiqun, yaitu berkomunikasi secara sembrono dengan mengesampingkan kaidah-kaidah komunikasi yang benar dan tepat atau berbicara tidak dengan ilmu, tetapi dengan syahwat yang akan menjadikan seseorang melampaui batas-batas kewajaran. Misalnya, bercanda-sebagai salah satu ekspresi komunikasi-tanpa mengenal batas-batas nilai-nilai yang disakralkan oleh sebagian orang atau kelompok. Orang mudah menjadikan agama sebagai bahan canda-ketawa comedy, padahal itu adalah perkara yang sangat sensitif menyangkut keyakinan masing-masing orangpersonal. Sehingga dapat menyulut konflik yang kemudian dikatakan konflik agama. Padahal, konflik tersebut dimulai dari lisan seseorang yang tidak dapat dikendalikan oleh empunya. Al-mutasyaddiqun juga dapat dimaksudkan pada mereka yang tidak dapat mengatur bentuk hingga durasi bicara, sehingga kadang kita dapati seorang komunikator sangat panjang durasi bicaranya, namun tidak ada isi serta hikmah di dalamnya. Ketiga, al-mutafaihiqun, yaitu orang-orang yang sombong ketika berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa bentuk kesombongannya antara lain ketidakmampuan si komunikator menghargai pendapat orang lain yang memiliki argumen lebih kuat dengan tetap mempertahankan pendapatnya. Artinya, menolak kebenaran itu sendiri sebagaimana didefinisikan oleh para ulama ahli etika Islam, bahwa sombong adalah bathara al-haq wa ghamtu al-nas, menolak kebenaran dan merendahkan manusia komunikannya.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 tahun 2018

Exit mobile version