BANTUL, Suara Muhammadiyah – Program Politik Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar seminar KH Djarnawi Hadikusumo: Muhammadiyah, Islam dan Kebangsaan, di Kampus Terpadu UMY, Selasa (26/2).
Agenda tersebut merupakan bagian dari rangkaian seminar tentang berbagai tokoh persyarikatan yang akan digelar rutin setiap bulan. Untuk seminar pembuka mengupas tentang KH Djarnawi Hadikusumo.
“Djarnawi Hadikusumo dilahirkan pada hari Ahad, tanggal 4 Juli 1920 di kampung Kauman Yogyakarta, sebuah komunitas muslim yang menjadi terkenal karena Muhammadiyah lahir dan didirikan di tempat ini,” ungkap Rektor UMY Gunawan Budiyanto yang merupakan putra ke-9 Djarnawi di awal pemaparannya.
Hadir menjadi narasumber juga Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah Siti Chamamah Soeratno, dan Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqqodas.
Gunawan mengungkapkan bahwa ayahnya merupakan otodidak tulen. Kemampuan belajarnya secara otodidak membuat Djanawi menguasai lima bahasa Asing seperti Belanda, Arab, Inggris, Jepang bahkan Perancis.
Menurut Gunawan, Djarnawi merupakan sosok yang suka membaca, berdiskusi dan bermain musik. Lagu Sang Surya yang berlirik “Al Islam Agamaku, Muhammadiyah gerakanku” adalah karyanya.
Selama 51 tahun Djarnawi berkhidmat dan mengabdikan dirinya bagi persyarikatan. Mulai tahun 1942 sebagai Ketua Grup (Ranting) Muhammadiyah Merbau Sumatera Utara hingga wafatnya ketika menjadi Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tajdid dan Tablig pada 26 Oktober 1993.
Sementara itu Ahmad Syafii Maarif mengungkapkan bahwa Djarnawi merupakan gurunya di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. “Beliau mengajar Bahasa Inggris dan Didaktik waktu saya di kelas 5 Mu’allimin,” katanya.
Buya Syafii mengungkapkan beliau tokoh yang cerdas dan memiliki banyak bacaan. Perjalanan hidupnya sangat menarik, kata Buya yang mengungkapkan Djarnawi ketika dikirim sebagai anak panah Muhammadiyah ke Sumatera Utara.
Kemudian Buya Syafii berharap para generasi muda untuk meneliti tentang sosok salah satu pendiri Tapak Suci Putera Muhammadiyah tersebut. “Semua karya Pak Djarnawi baik sastra, agama, kemudian politik itu lengkap,” imbuhnya.
Siti Chamamah Soeratno mengapresiasi berbagai kiprah Djarnawi. Beliau aktif menulis berbagai pandangannya termasuk tentang perempuan salah satunya di Suara ‘Aisyiyah.
Sementara itu Busyro Muqoddas menyebut Djarnawi sebagai politisi berkarakter, bersahaja, merdeka berfikir, egaliter dan humoris. “Percikan kadar ke-Islaman yang integratif dengan kebangsaannya, banyak diwarnai oleh pemikiran, penghayatan dan loyalitas original Kemuhammadiyahannya,” kata mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
“Muhammadiyah yang bertradisi ‘memberi lebih terpuji dari pada menerima’ kental mewarnai sikap konsistensi dalam kehidupan dan amaliah ihsaniyah kebangsaan dan kepemimpinannya,” ungkapnya lagi.
Djarnawi tercatat pernah menjabat sebagai anggota MPR tahun 1967-1971 dan Ketua Umum Parmusi yang menjelma sebagai PPP. Di kemudian hari Parmusi dibajak oleh rezim pada waktu itu. “Pembajakan atas posisinya di Parmusi dinilai sebagai sikap politik rezim yang mengidap sindrom islamophobia terhadap ideologi politiknya,” ungkap Busyro. (Riz)
Baca juga