Empat puluh tahun lebih berteman karib, Hamka mengukir banyak kenangan tentang sosok Prof Dr Mr Kasman Singodimedjo SH. Dalam buku Hidup itu Berjuang, 75 tahun Kasman Singodimedjo (1982), Hamka tak dapat melupakan momen Kongres Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta. Hamka mewakili konsul daerah Muhammadiyah Sumatera Timur dan Kasman sebagai utusan Muhammadiyah Betawi. Mereka diinapkan di gedung Kweek-School Muhammadiyah, tidur bersama di lantai tanpa ada yang diistimewakan.
Setelah lelah bersidang hingga larut malam, mereka beristirahat ala kadarnya, layaknya di atas dek kapal. Tak sengaja ada kaki yang sampai menindih dada orang di sebelahnya. “Berat saudara, berat saudara,” keluh Wakil Majlis Pemuda Muhammadiyah Purwokerto. Namanya Sudirman, yang lima tahun berikutnya dikenal sebagai Panglima Besar TNI. Adapun pemilik kaki, tak lain adalah Kasman Singodimedjo. “Keistimewaan kita di zaman penjajahan dengan zaman kemerdekaan ini, ialah persaudaraan mendalam di antara kita,” tutur Hamka.
Kongres yang berlangsung di awal Januari 1941 itu terjadi tak lama setelah Kasman keluar dari tahanan Belanda. Tercatat setidaknya empat kali Kasman pernah keluar masuk penjara. Kali pertama, pada 1940 setelah berpidato di sebuah forum Muhammadiyah Bogor, Jawa Barat. Kalimat “Untuk Indonesia Merdeka!” yang terucap dalam pidato Kasman, membuat berang polisi rahasia Belanda dan dijebloskan ke bui. Kasman pun menjadi pembicaraan.
Dua kali Kasman dituduh melakukan usaha makar untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Kasman dianggap mengadakan rapat gelap, bersama koleganya dari Masyumi, termasuk Hamka, M Isa Anshary, hingga Ghazali Syahlan. Pada 1948, Kasman menyadari adanya dua bahaya besar yang mengancam Indonesia, bahaya komunis dan kolonialis. Di saat pemerintah gencar menghadapi PKI, Belanda juga melancarkan agresi militernya. Beruntung, pemerintah tidak sampai lumpuh dikarenakan adanya PDRI.
Kasman sendiri akhirnya ikut bergerilya memberi penerangan dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Kasman menempuh 1000 kilometer dalam wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Saya keliling kemana-mana dengan jalan kaki, ada kalanya dibantu dengan naik kuda oleh orang-orang, dan ada kalanya dibantu naik sepeda. Dengan begitu, saya menghindari incaran orang-orang komunis dan kejaran Belanda,” kisahnya. Di kesempatan lain juga kerap melompat-lompat gerbong kereta api.
Perkara yang juga mengantarkan Kasman ke penjara adalah tuduhan keterlibatannya dalam PRRI, yang dipimpin oleh sejawatnya, semisal Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap. Padahal pada Ahad, 31 Agustus 1958, Kasman berpidato di gedung bioskop Magelang tentang wejangan Ronggowarsito. Tidak mungkin pidato itu mengobarkan semangat penggerak PRRI di hutan Sumatra Barat. Persidangan Kasman di Pengadilan Magelang mendapat antusiasme luar biasa dari publik. Para ahli hukum, advokat, dan mahasiswa hukum ikut berkumpul guna membela Kasman. Menurut catatan tim penulis Hidup itu Berjuang, Kasman sendiri ikut menuliskan pidato pembelaan setebal 100 halaman folio, yang dibacakan selama dua hari berturut-turut.
Susah dan sulit telah berkawan dekat dengan Kasman semenjak kecil, dan ikut membentuk karakter dari sosok yang dilahirkan pada 25 Februari 1904 di desa Clapar (Kalirejo), Kecamatan Begelen, Purworejo itu. Ayahnya seorang modin atau lebai kampung, bernama Singodimedjo, yang kelak dilekatkan pada namanya. Ibunya Kartini, perempuan sederhana yang pernah meragukan Kasman ketika meminta izin sekolah di MULO Magelang. Saat itu tercetus ucapan ibunya, “Sekolah, sekolah. Buat apa sekolah. Aku tidak sekolah juga bisa mencari makan.”
Perkataan ibunya itu sama sekali tidak mengurangi rasa hormat Kasman. Katanya, “Walaupun ibu yang saya cintai itu buta huruf, namun saya sangat salut kepada beliau, karena ibulah yang selalu aktif mencari nafkah untuk rumah tangga. Tanggung jawab ibu terhadap rumah tangga memang besar sekali. Oleh karena inilah saya tidak sampai hati menambah beban beliau lagi dengan beaya-beaya sekolah.” Kasman pun bersekolah dengan biaya dari bekerja apa saja untuk keluarga orang yang menanggung keperluan hidupnya. Dalam kondisi kekurangan, anak desa ini berhasil sekolah di HIS Kwitang dan HIS Kutoarjo, MULO Magelang, STOVIA Batavia, dan Sekolah Tinggi Hukum (RHS).
Pada usia 18 tahun ketika sekolah di MULO, Kasman mulai belajar Islam pada tokoh Muhammadiyah dari Yogyakarta, semisal KH Ahmad Dahlan dan KH Abdul Aziz. Kasman sangat hobi membaca dan bercita-cita masuk sekolah dokter, STOVIA. Seorang guru Belanda bernama Jonkman banyak menyuplai bacaan. Ketika bersekolah di STOVIA, Kasman berteman akrab dengan Mohammad Roem. Keduanya menginisiasi Jong Islamieten Bond (JIB). Sejak di JIB, Kasman juga menjalin relasi dengan tokoh dan ulama. Termasuk dengan Syech Ahmad Syurkati, yang sering menjulukinya al-asad (singa).
Para siswa STOVIA mendapat beasiswa 50 gulden setiap bulannya. Kasman lebih banyak menabung dan hasilnya sebagian digunakan untuk menyekolahkan adik-adik perempuannya. Mohammad Roem menuturkan, “Untuk lebih menghemat, Kasman mengajak saya makan di luar, yaitu di Gang Kenari, di tempat orang Muhammadiyah, namanya Mohammad Tohir. Di tempat ini kami setiap bulan hanya membayar 15 rupiah seorang.” Tentang Kasman yang sangat peduli pada sesama juga diakui oleh Mohammad Natsir. Tulis Natsir dalam Hidup itu Berjuang, “Kasman meletakkan titik berat segala sesuatu kepada unsur manusiawi,” dan “Seringkali Kasman lupa akan waktu untuk kepentingan dirinya sendiri.”
Belum selesai dari pendidikan dokternya, Kasman yang sangat aktif di organisasi JIB akhirnya dikeluarkan dan diputuskan beasiswanya. Kasman dianggap berbahaya bagi Pemerintah Hindia Belanda. Cita-cita menjadi dokter pun kandas. Kasman akhirnya masuk ke Sekolah Tinggi Hukum dan meraih gelar Meester in de Rechten (Mr).
JIB menjadi wadah penting yang mengkader para calon pemimpin. Nasionalismenya tidak diragukan, terlebih setelah didirikan sayap kepanduan. Tahun 1930-an, jumlah anggota JIB sudah mencapai 4.000 orang, yang melampaui batas kesukuan. Kasman dan beberapa tokoh JIB juga menemui jodoh dari JIBDA (sayap JIB puteri), semisal Kasman dan Soepinah Isti Kasiati, Mohammad Roem dan Markisah Dahlia, hingga Mohammad Natsir dan Nur Nahar.
Kasman adalah negawaran yang teguh pendirian. Tidak goyah, meskipun di bawah tekanan dan paksaan. Dalam siksaan penjara sekalipun, Kasman tegas menyatakan yang benar adalah benar dan salah adalah salah. Kondisi ketika itu memang gawat. Para hakim dihujani kawat dari berbagai pihak supaya menghukum Kasman seberat-beratnya, terutama dari PKI dan organisasi lainnya. Bahkan ada kawat dari seorang yang mengaku sebagai wakil ketua HMI.
Hamka menceritakan kondisi di penjara bertepatan dengan bulan puasa, ada yang disetrum listrik, tidak dibolehkan tidur, hingga dilucuti pakaiannya. Setelah 10 hari didesak pertanyaan jebakan untuk mengakui kesalahan terus-menerus siang dan malam, Hamka akhirnya goyah. Dirinya sebagai penulis roman-roman terkenal akhirnya memanfaatkan bakatnya untuk mengarang semacam roman pengakuan. Barulah setelah itu Hamka diperkenankan tidur setelah 10 hari diinterogasi. Hamka berpikir, pengakuan itu juga demi kebaikan, toh ada 34 orang lainnya yang dituduhkan. Jika ke-34 orang mengaku dengan pengakuan berbeda, otomatis pemeriksa akan berpikir ulang tentang kebenaran tuduhan.
Kepribadian Kasman yang sederhana dan tahan banting ikut dibawanya dalam memimpin. Baik di pemerintahan, di organisasi, maupun di partai politik. Ketika menjadi Komandan PETA Jakarta, Kasman pernah berpidato, “Di dalam PETA, gemblengan jiwa lebih penting, mereka dilatih tahan menghadapi kehidupan yang sukar. Gemblengan semangat dan latihan bathin ini lebih penting dari pada latihan badan. Dasar latihan bathin itu ialah Agama Islam, yaitu agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia.”
Kasman yang memperoleh gelar Doktor HC dari UM Jakarta pada 1977 adalah seorang profesional yang kerap diamanahi jabatan rintisan. Mulai JIB, Natipij (kepanduan JIB), Daidancho PETA, menteri kehakiman, hingga ketua KNIP. Ketika menjadi Jaksa Agung pun, meskipun bukan yang pertama, tapi Kasmanlah yang pertama memfungsikan Jaksa Agung lebih dari sekadar jabatan administratif, efektif, serta menyusun landasan dan sistem operasionalnya. (ribas)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Sajian Utama” Majalah Suara Muhammadiyah edisi Nomor 1 tahun 2019