Memelihara Kesehatan di Rumah Sakit Pada Abad Pertengahan Islam
Oleh: Azhar Rasyid
Saat membicarakan relasi antara Islam dan ilmu kedokteran, memori kita biasanya langsung tertuju pada sosok ilmuwan di bidang kedokteran maupun dokter ternama dalam sejarah Islam. Dua nama yang kerap disebut ialah Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (936-1013 M) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Bedah dan Ibnu Sina (980-1037 M) yang dipandang sebagai peletak dasar ilmu kedokteran modern.
Abad pertengahan Islam (abad kedelapan hingga ketiga belas) memang menghasilkan banyak sarjana kedokteran. Para sarjana Muslim berpandangan bahwa merawat kesehatan bukan hanya persoalan fisik, melainkan juga perintah agama. Nabi Muhammad saw sendiri selama hidupnya sering berbicara tentang pentingnya kesehatan bagi seorang Muslim. Ajaran ini dipegang oleh para sarjana Muslim abad pertengahan yang kebetulan juga memiliki minat mempelajari berbagai literatur pengobatan dari masa sebelumnya dan peradaban lama, mulai dari Yunani, Persia hingga India.
Para penguasa lokal menyediakan fasilitas penunjang penelitian kesehatan, terutama sekali akses pada perpustakaan. Dengan kombinasi ini, para sarjana kedokteran Muslim ini pun mengembangkan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam mencegah penyakit dan menyembuhkan pasien. Cukup banyak buku kedokteran yang mereka tulis yang menjadi saksi kontribusi besar mereka pada ilmu kedokteran.
Akan tetapi, sebenarnya ada satu elemen penting lain yang tak kalah krusial perannya dalam pesatnya kemajuan ilmu kedokteran dan perawatan kesehatan di masa pertengahan Islam. Tapi ia jarang disebut orang. Yang dimaksud di sini ialah institusi bernama rumah sakit. Di zaman sekarang orang mungkin menerima begitu saja eksistensi rumah sakit sebagai suatu hal yang wajar di tengah masyarakat modern. Tapi tidak demikian di zaman dahulu, masa ketika perawatan kesehatan bagi si sakit umumnya hanya dilakukan di rumah atau di tempat praktisi kesehatan tradisional.
Dengan kata lain, rumah sakit adalah sebuah terobosan yang membawa persoalan perawatan kesehatan ke level yang lebih maju, saintifik, terorganisir dan masif. Rumah sakit melahirkan tradisi baru dalam cara bagaimana orang menjaga kondisi fisik dan mentalnya serta mencari penyembuhan untuk penyakitnya. Para pengamat sejarah Islam mengakui bahwa rumah sakit adalah salah satu institusi terpenting di abad pertengahan Islam dan salah satu bentuk pencapaian tertinggi dari peradaban Islam era itu.
Tampaknya terinsipirasi oleh akademi kesehatan serta rumah sakit pendidikan tertua di dunia, Akademi Gundishapur di Iran, Kalifah Dinasi Umayyah, Walid ibn Abdul Malik, menjadi sosok yang mendirikan rumah sakit tertua yang tercatat dalam sejarah Islam. Rumah sakit ini dibangun di Damaskus pada tahun 707 M.
Rumah sakit kian berkembang di Dunia Islam pada abad kesembilan hingga abad ketiga belas. Kala itu di Baghdad berdiri lima rumah sakit. Rumah sakit paling terkenal di kota ini ialah Rumah Sakit Al-‘Adudi, yang didirikan sekitar tahun 979 M dan mampu bertahan selama lebih dari dua ratus lima puluh tahun. Kota-kota lain menyusul Baghdad untuk mempunyai rumah sakitnya sendiri. Pada abad kedua belas di Damaskus didirikan Rumah Sakit Nuri.
Seabad kemudian, Kairo menjadi saksi lahirnya Rumah Sakit Mansuri di kota itu. Berdirinya beberapa rumah sakit dalam hitungan abad menunjukkan bahwa pendirian rumah sakit tidaklah mudah di masa itu, masa tatkala jumah dokter masih sedikit dan dukungan finansial masih sulit serta kesadaran masyarakat belum cukup tinggi untuk menyerahkan perawatan kesehatannya pada dokter di tempat publik.
Salahuddin Al Ayyubi, panglima perang Muslim di Perang Salib dan juga pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir sebenarnya bukan hanya penting dalam bidang militer dan politik, tapi juga sosial dan kesehatan. Pada tahun 1182 M ia mendirikan rumah sakit bernama Al-Bimaristan Al-Nasiri di Al-Qahira. Pelayanan kesehatan plus makan dan minum diberikan kepada mereka yang sakit. Usia rumah sakit ini mencapai tiga abad, tepatnya hingga ke awal kelima belas.
Mungkin sebuah rumah sakit lain di Mesir merupakan rumah sakit dari masa pertengahan Islam yang paling lama bertahan. Rumah sakit ini didirikan oleh seorang sultan Kesultanan Mamluk, Sultan Al Mansur Qalawun (1222- 1290), pada tahun 1284. Tenaga kesehatan di rumah sakit Qalawun mencakup dokter umum, dokter bedah, dokter mata, dan perawat. Urusan non-medis ditangani oleh administrator dan akuntan. Rumah sakit yang ditempatkan di dalam sebuah kompleks wakaf besar ini eksis hingga di penghujung abad kedelapan belas. Di abad selanjutnya rumah sakit ini mengalami renovasi, namun akhirnya tutup juga di awal abad kedua puluh. Umurnya, dengan demikian, mencapai lebih dari enam abad.
Pengelolaan rumah sakit sudah dilakukan secara profesional. Kepala rumah sakit adalah seorang administrator tulen yang bertugas menangani urusan organisasi. Di bawahnya ada dokter dengan spesialisasinya masingmasing. Sistem pengelolaan rumah sakit dibuat sedemikian rupa agar pelayanan kesehatan bisa maksimal. Ruangan di rumah sakit dibagi sesuai dengan penanganan yang dilakukan, misalnya ruang khusus bedah dan ruang bagi mereka yang berpenyakit mental. Perawatan untuk wanita dipisahkan dengan perawatan untuk pria.
Bahkan ada sejumlah rumah sakit yang menyediakan perpustakaan, yang buku-bukunya dipakai oleh para dokter sebagai referensi dalam bekerja. Apotek adalah bagian lain yang juga dipunyai sebagian rumah sakit ini. Rumah sakit juga berupaya menjangkau penduduk desa yang jauh dari rumah sakit. Caranya adalah dengan mengirim stafnya ke kawasan pedesaan.
Pemasukan dari properti wakaf adalah salah satu sumber dana pendirian dan pemeliharaan rumah sakit. Jumlahnya sangat besar. Ini tidaklah mengherankan, karena rumah sakit kala itu didirikan atas dasar penyediaan sarana perawatan kesehatan untuk publik dengan tanpa biaya. Di samping itu, dana ini juga dipakai untuk membiayai para staf yang mengelola rumah sakit. Oleh sebab itu, rumah sakit biasanya didirikan oleh pemerintah atau penguasa lokal. Namun ada juga individu yang mampu yang mendirikan rumah sakitnya sendiri.
Rumah sakit di era pertengahan Islam membuka dirinya kepada siapapun dari kelas sosial manapun bahkan juga kepada kalangan non-Muslim sehingga melahirkan kesadaran bahwa perlindungan kesehatan adalah hak semua orang. Di sisi lain, sebagaimana disebutkan Seyyed Hossein Nasr dalam studinya, Science and Civilization in Islam (2001), bila madrasah dan masjid adalah tempat untuk membahas ilmu kesehatan secara teoretis, maka rumah sakit adalah tempat di mana ilmu tersebut diimplementasikan. Artinya, madrasah atau sekolah dan rumah sakit adalah dua sisi yang tak terpisahkan yang membawa ilmu kedokteran Muslim mencapai puncaknya.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 tahun 2018
Baca juga
Rufaidah binti Sa’ad, Perempuan Perawat Pertama di Dunia Islam