Menyatukan Penghasilan Suami Istri

Uang Elektronik

Dok Ilustrasi

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr wb.

Majelis Tarjih Muhammadiyah yang saya hormati, saya ingin menanyakan tentang hal sebagai berikut: Saya adalah seorang yang sudah berkeluarga, saya bekerja dan istripun juga bekerja sebagai pegawai. Sejak awal pernikahan, kami berkomitmen bahwa penghasilan saya maupun istri dicampur dan dikelola bersama untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan setiap pengeluaran harus disepakati bersama. Dengan kondisi demikian maka dalam keluarga saya tidak ada istilah suami memberikan penghasilan kepada istri untuk dikelola istri. Bolehkah suami dalam menafkahi keluarga dengan model seperti itu? Selain itu penghasilan istri menjadi diatur juga oleh suami (karena komitmen mengelola bersama). Bolehkah yang demikian itu secara hukum agama? Atas jawabannya kami ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr wb.

Azwar Anas azwar**@yahoo(dot)com

(disidangkan pada Jum’at, 20 Muharram 1438 H / 21 Oktober 2016 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Pada dasarnya yang wajib menafkahi istri adalah suami. Ketentuan hukum wajib ini diterangkan dalam:

  1. Firman Allah:

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut” (Qs Al-Baqarah [2]: 233).

  1. Hadits:

“Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah, menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah; dan hak kalian atasnya adalah agar mereka tidak memasukkan seseorang yang kalian benci ke atas kasur kalian. Jika mereka melakukan perbuatan itu maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Dan hak mereka atas kalian adalah nafkah mereka dan pakaian mereka, secara patut” [HR Muslim].

Menilik pertanyaan yang saudara ajukan, maka saudara telah memenuhi kewajiban untuk memberi nafkah. “Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah, menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah; dan hak kalian atasnya adalah agar mereka tidak memasukkan seseorang yang kalian benci ke atas kasur kalian. Jika mereka melakukan perbuatan itu maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Dan hak mereka atas kalian adalah nafkah mereka dan pakaian mereka, secara patut” [HR Muslim]. Menilik pertanyaan yang saudara ajukan, maka saudara telah memenuhi kewajiban untuk memberi nafkah.

“Dari ‘Aisyah ra (diriwayatkan) ia berkata: … Rasulullah saw bersabda: Bagaimana jadinya suatu kaum, mereka membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabullah. Apapun bentuknya syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah maka syarat itu batal sekalipun seratus kali persyaratan.” [HR. AlBukhari].

Sementara itu, menurut aturan perundangan yang berlaku di Indonesia, terkait dengan harta benda dalam perkawinan telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

  1. Pasal 35:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

(2) Harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

  1. Pasal 36:

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

  1. Pasal 37:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing

Berdasarkan Undang-undang tersebut, dapat diketahui bahwa jenis-jenis harta kekayaan dalam perkawinan adalah sebagai berikut:

  1. Harta Bawaan. Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami atau istri sebelum terjadinya perkawinan. Menurut UU Perkawinan, harta bawaan tersebut berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri. Masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bawaannya tersebut.
  2. Harta Bersama. Harta bersama berarti harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik oleh suami maupun istri. Harta bersama misalnya gaji masing-masing suami dan istri, atau pendapatan mereka dari usaha-usaha tertentu.
  3. Harta Perolehan. Harta perolehan adalah harta yang diperoleh suami atau istri selama masa perkawinan yang berupa hadiah atau hibah atau warisan. Seperti halnya harta bawaan, masing-masing suami dan istri juga memiliki kekuasaan pribadi atas harta perolehan tersebut. Masing-masing suami dan istri memiliki hak sepenuhnya terhadap harta yang diperolehnya dari hadiah, warisan, maupun hibah.

Meski demikian, UU No. 1/1974 juga memberikan kesempatan kepada suami istri untuk menentukan lain atau pengecualian dalam mengelola harta perkawinan. Pengecualian keadaan ini dapat diadakan oleh suami istri dengan persetujuan masing-masing melalui Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan tidak dimuat dalam UU No. 1/ 1974 secara terperinci, namun diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai berikut:

  1. Pasal 47:

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masingmasing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

  1. Pasal 48:

(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

  1. Pasal 49:

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

  1. Pasal 50:

(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan

(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.

(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga

  1. Pasal 51: Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Terlepas dari itu, yang paling penting dalam Perjanjian Perkawinan adalah keikhlasan dari kedua belah pihak tanpa ada unsur keterpaksaan, sebagaimana firman Allah,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Qs An-Nisa’ [4]: 29)

Tentang kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri dan anak disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (4), (5),(6) dan (7) sebagai berikut:

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak.

(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Didasarkan pada pasal 80 ayat (6) KHI, maka istri dapat membebaskan suami untuk memberikan nafkah kepada dirinya baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Untuk yang membebaskan sebagian ini dapat diartikan istri rela atau ikhlas untuk menanggung sebagian nafkahnya. Atau dengan kata lain nafkah untuk keluarga ditanggung bersama antara suami dan istri yang berasal dari penghasilan masing-masing.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam KHI, komitmen bersama yang saudara lakukan dalam mengelola penghasilan bersama tetap dapat dikatakan suami telah memberikan nafkah kepada istri. Ringkas kata yang saudara lakukan untuk menggabungkan penghasilan antara suami dan istri dapat dibenarkan.

Di samping istri dan suami mempunyai kewajiban dan hak masingmasing, juga keduanya harus memperhatikan hal-hal penting yang berkaitan erat dengan kewajiban bersama suami-istri dalam kehidupan rumah tangga, yaitu:

  1. Antara suami dan istri harus saling menghargai, menghormati, mempercayai dan berlaku jujur satu dengan yang lain.
  2. Antara suami-istri harus saling setia dan memegang teguh tujuan perkawinan.
  3. Suami dan istri harus berlaku sopan santun dan menghormati keluarga masing-masing.
  4. Suami dan istri harus menjaga kehormatan dirinya dan berlaku jujur terhadap dirinya dan pasangannya.
  5. Setiap persengketaan harus dihadapi dengan makruf dan harus bersedia menerima penyelesaian.
  6. Antara suami dan istri tidak mencari-cari kesalahan pasangannya dan harus berlapang dada dan pemaaf. (Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah)

Kesimpulannya, baik dari tinjauan Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun hukum yang berlaku di Indonesia, komitmen bersama yang saudara lakukan dalam mengelola penghasilan bersama tetap dapat dikatakan suami telah memberikan nafkah kepada istri dan boleh saja penghasilan istri dikelola oleh suami sepanjang atas kerelaan atau keikhlasan istri.

Namun perlu diketahui, seorang istri bisa bekerja di luar rumah untuk mengabdikan diri pada masyarakat atau untuk menerapkan ilmunya dengan syarat diizinkan oleh suaminya. Istri yang mencari atau membantu suami mencari nafkah bagi keluarganya adalah sedekah sebagaimana hadits Rasulullah berikut,

“Dari Zainab istri Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu. Zainab berkata: Mendengar sabda Rasulullah saw tersebut, lalu aku pulang menemui Abdullah -suamiku- seraya berkata kepadanya: Anda adalah seorang laki-laki yang miskin. Rasulullah saw memerintahkan kepada kami kaum wanita agar bersedekah. Cobalah datangi beliau dan tanyakan bolehkah jika aku bersedekah kepada keluarga? Jika tidak akan aku alihkan kepada yang lain.” Abdullah menjawab: Sebaiknya kamu sajalah yang mendatangi beliau. Maka pergilah aku, lalu di pintu rumah Rasulullah saw kudapati wanita Anshar yang bermaksud sama denganku. Sebagaimana biasa, orang-orang yang ingin bertemu Rasulullah saw selalu diliputi rasa gentar. Kebetulan Bilal keluar mendapatkan kami. Kata kami kepada Bilal: Tolonglah kamu sampaikan kepada Rasulullah saw, bahwa dua wanita sedang berdiri di pintu hendak bertanya, apakah dianggap cukup, jikalau kami berdua bersedekah kepada suami kami masing-masing dan kepada anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaan kami? Dan sekali-kali jangan engkau beritahukan siapa kami. Maka masuklah Bilal menanyakan kepada Rasulullah saw, tetapi beliau balik bertanya: Siapa kedua wanita itu? Bilal menjawab: Seorang wanita Anshar bersama dengan Zainab. Beliau bertanya: Zainab yang mana? Bilal menjawab: Zainab istri Abdullah. Rasulullah saw bersabda: Masing-masing mereka mendapat dua pahala. Yaitu pahala (menyambung) karib kerabat dan pahala karena sedekah.” [HR. Muslim]

Kebolehan istri membantu suami mencari nafkah tidak dapat menggugurkan kewajiban suami untuk mencari dan memberi nafkah bagi istrinya. Suami tidak boleh berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Sedangkan istri, tidak boleh semena-mena terhadap suami karena telah mencari nafkah bagi keluarga. Perlu diperhatikan, bahwa jika istri berperan mencari nafkah untuk keluarga, maka bukan berarti ia pun berhak memimpin rumah tangga dengan meninggalkan suaminya. Itulah yang disebut dengan “sedekah” dari istri bagi suami dan keluarganya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 tahun 2018

Exit mobile version