Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Yogyakarta dan pers tidak terpisahkan. Kemajuan Yogyakarta salah satunya dipicu oleh kuatnya tradisi literasi di antara warganya sejak dahulu. Menurut catatan J.B. Sudarmanto (2011: 13), pada awal abad ke-20 terdapat sekitar 50 surat kabar di Yogyakarta, suatu jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kota menengah di Hindia Belanda. Orientasinya beragam, mulai dari yang mengulas soal kebudayaan Jawa, perdagangan, emansipasi masyarakat bumiputera hingga keagamaan. Intelektualitas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan salah satunya dibentuk oleh lembaga pers di Yogyakarta; saat kecil, ia merupakan anggota perpustakaan Kedaulatan Rakyat (koran tertua di Yogyakarta, terbit sejak 1945), ke mana ia pergi setiap minggu guna meminjam buku.
Di antara berbagai surat kabar dan majalah yang eksis di Yogyakarta, ada majalah Suara Muhammadiyah atau SM. Walaupun pada pokoknya majalah ini merupakan saluran publikasi Muhammadiyah, nyatanya dalam seratus tahun terakhir SM tidak hanya memajukan organisasi induknya, tapi juga kota kelahiran Muhammadiyah dan SM: Yogyakarta.
Bagaimana caranya? Pertama, sejak awal kelahirannya, SM memperlihatkan karakter keyogyakartaan yang amat kental. Kantor SM berada di Yogyakarta. Alhasil, Yogyakarta sebagai sebuah lanskap geografis terpatri kuat di benak para pembaca SM di luar Yogyakarta. Edisi-edisi awal SM memakai bahasa dan aksara Jawa. Berita-berita tentang Yogyakarta senantiasa hadir di SM sejak berdekade-dekade silam.
Kedua, SM turut menggairahkan perekonomian Yogyakarta. Salah satunya lewat advertensinya yang mengiklankan berbagai jasa dan produk asli Yogyakarta. Sebuah edisi tahun 1915, umpamanya, mengiklankan Kaoemansche Kleermakerij, toko pakaian di Kauman yang dipromosikan sebagai “pembikin pakaian njang ternama bagoes, harga dengen paling pantas.” Di edisiedisi selanjutnya, ruang iklan SM dipenuhi rupa-rupa advertensi, mulai dari batik khas Yogyakarta, buku, lemari besi, sepatu, perkakas rumah tangga, hingga berbagai sekolah dan universitas di Yogyakarta.
Iklan semacam ini menghidupkan perekonomian kota serta membangun imej Yogyakarta sebagai kota yang menyediakan barang konsumsi maupun jasa yang modern di zamannya. Bagi para pembaca SM di luar Yogyakarta, iklan ini adalah jalan masuk untuk mendapatkan berbagai barang bermutu yang diproduksi di Yogyakarta. Iklan-iklan ini turut membentuk persepsi publik bahwa Yogyakarta adalah kota perdagangan dan jasa dengan pilihan produk modern yang luas dengan mutu yang tinggi.
Ketiga, SM secara konstan mengampanyekan Yogyakarta sebagai salah satu kota pergerakan penting di Indonesia. Reportase SM di era 1920an banyak mengulas soal gerakan sosial, keagamaan, dan kultural yang eksis di Yogyakarta. Selain Muhammadiyah, SM juga tak lupa menyebut aktivitas organisasi pergerakan lainnya di Yogyakarta, misalnya Centraal Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Wanita Oetomo serta Centraal Tiong Hoa. Laporan semacam ini memberi kesadaran kepada pembaca SM baik di Yogyakarta maupun di berbagai wilayah Hindia Belanda bahwa masyarakat Yogyakarta sangat giat untuk memajukan dirinya lewat berbagai organisasi sosial-kemasyarakatan, sebuah citra yang masih kuat bertahan sampai kini.
Itu baru di tahun 1920an. Di era selanjutnya, citra Yogyakarta sebagai kota pergerakan tetap dirawat SM. Laporan-laporan SM di medio 1960an, umpamanya, mengulas berbagai organisasi masyarakat dan kemahasiswaan yang memperjuangkan ide anti-komunisme. Dan, patut pula disebut berbagai berita yang SM publikasikan tentang aktivitas pro-demokrasi di Yogyakarta pada tahun 1998.
Keempat, SM kerap memberikan perhatian pada persoalan lokal di Yogyakarta. Ini membuat Yogyakarta menjadi atensi nasional lantaran pembaca SM ada di seantero Indonesia. Pada edisi Juni 1972, SM dalam dua halaman memberitakan apel memperingati setahun dihidupkannya kembali “Pradjurit Kraton” di Alun-Alun Utara di bawah komandan (Manggala) BRM Herdjuno Darpito, putra Sultan Hamengku Buwono IX. Ditambahan pula empat foto yang menggambarkan kegagahan prajurit keraton. Ini memberi ilustrasi tentang tradisi Yogyakarta yang unik pada para pembaca SM di luar Yogyakarta dan mendorong mereka untuk bervakansi ke Yogyakarta.
Saat gempa mengguncang Yogyakarta pada Mei 2006, kover depan SM edisi Juni 2006 adalah foto rumah yang rusak parah karena gempa dengan judul besar “Panggilan Kemanusiaan Pascagempa.” Redaksi SM menyatakan duka cita dan menyerukan agar bantuan segera disalurkan kepada para korban. Penggalangan bantuan dilakukan lagi oleh SM saat terjadi letusan Gunung Merapi pada Oktober 2010. Dus, di masa-masa krisis, SM berperan penting memobilisasi publik se-Indonesia untuk memberikan respon segera pada masyarakat Yogyakarta yang tengah menderita karena bencana alam.
Terakhir, persepsi Yogyakarta sebagai “Indonesia mini” turut dibentuk, dilestarikan, dan didiseminasikan oleh SM. “Indonesia mini” tidak hanya eksis di kampuskampus di Yogyakarta sebagaimana yang kita pahami selama ini, tapi juga di SM sendiri. Awak SM berasal dari berbagai daerah. Multikulturalisme ini adalah salah satu konsekuensi dari migrasi masuk ke Yogyakarta sejak era revolusi kemerdekaan serta keterbukaan masyarakat Yogyakarta dan penerimaan SM sendiri pada keragaman. Maka, selain dari Yogyakarta sendiri, kru SM ada yang berasal dari Aceh, Sumbar, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, hingga NTB. Buya Syafii Maarif, yang asal Minang, adalah salah satu kru terawet SM (aktif di SM sejak 1965).
Dapat dikatakan bahwa selama seabad terakhir, SM turut berkembang bersama Yogyakarta. SM mengomunikasikan Yogyakarta ke seluruh Indonesia dan dunia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang membaca SM, persepsi mereka tentang Yogyakarta selama berdekade-dekade salah satunya dibentuk oleh SM. Ada sangat banyak representasi Yogyakarta di SM, baik sebagai sebuah pusat budaya Jawa, kota pergerakan kebangsaan, kota revolusi, kota kelahiran Muhammadiyah, kota pariwisata maupun kota pelajar dengan fasilitas pendidikan yang berkualitas.
Para reporter SM berkeliling ke berbagai kampung, sekolah dan kampus di Yogyakarta guna mengumpulkan berita tentang berbagai peristiwa di kota ini. Via SM, banyak orang di luar Yogyakarta mengenal peta geografis dan peta sosial-budaya Yogyakarta. Lahirlah pemahaman dan apresiasi terhadap Yogyakarta. Dengan demikian, SM merupakan salah satu juru bicara tertua yang secara konstan mewartakan kota kelahirannya, Yogyakarta, ke seluruh Indonesia dan seantero buana dalam seratus tahun terakhir.
—
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 tahun 2018