YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah diundang pemerintah Republik Rakyat Tiongkok untuk melihat kondisi Muslim Uighur di Urumqi, Ibu Kota Provinsi Xinjiang, Tiongkok. PP Muhammadiyah menjadi bagian dari delegasi yang diundang pemerintah RRT bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama.
Keadaan umat muslim Uighur menjadi sorotan masyarakat internasional hingga memancing berbagai aksi massa di tanah air. PP Muhammadiyah pun telah mengeluarkan Pernyataan Sikap terkait Kekerasan di Uighur, bahkan Duta Besar China untuk Indonesia mengadakan konferensi pers di Gedung PP Muhammadiyah terkait hal tersebut.
Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto mengungkapkan PP Muhammadiyah mengusulkan China membuka akses ke Uighur. “Disamping inikan juga usulan PP Muhammadiyah, jadi setelah kunjungan ke Tiongkok kemudian mereka datang ke kantor PP Muhammadiyah, untuk membuka akses, dan kita diundang untuk datang kesana dan menyaksikan langsung,” kata Agung di Grha Suara Muhammadiyah, Senin (4/3).
Selain Agung Danarto, Delegasi dari Muhammadiyah yaitu Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo, Lembaga Hubungan Luar Negeri Sudibyo Markus, Ketua Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah M Ziyad. Selain itu turut bertandang pula Syafiq A Mughni, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP).
Menurut Agung, Uighur merupakan etnis penghuni di Provinsi Xinjiang yang memang mayoritas muslim dengan penduduknya sekitar 16 juta jiwa. Tidak semua Uighur adalah muslim, di kota Hotan berpendudukya 2 juta, Uighur-nya 98%, muslimnya 72 %. Di kota Kashgar penduduknya 4,5 juta, Uighur-nya ada 97%, Muslimnya sekitar 52 %.
Agung menyampaikan kunjungan pada pertengahan Februari tersebut berlangsung selama sepekan. Xinjiang Terletak di ujung barat Tiongkok, sekitar 3.308 km dari Ibu Kota Beijing. Berbatasan dengan Mongolia, Rusia, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India. Para delegasi dipersilahkan mengunjungi camp yang oleh pemerintah Tiongkok disebut sekolah vokasi pembinaan untuk deradikalisasi.
“Kalo di camp-nya bagus, di camp-nya itu pertama mereka diberi keterampilan lifeskill, macam-macam di situ, ada perternakan, ada pertanian, ada perhotelan, ada restoran, ada masak–memasak, ada otomotif. Ada macam-macam, dilatih seperti itu. Bahkan musik, nyanyi dan lain sebagainya diajarkan di situ,” ungkap Agung.
Xinjiang, lanjutnya, kebetulan merupakan provinsi paling miskin di Tiongkok. Dengan adanya camp tersebut sekaligus sebagai upaya untuk menaikkan SDM dan daya saingnya. Delegasi mengunjugi dua camp dari tujuh camp yang ada. “Kira-kira ada 3 ribu orang setiap camp,” imbuhnya.
Menurutnya, dari segi tempat, camp, asrama, ruang kelas nyaman dan sangat layak sekali, tidak seperti penjara. Para peserta sekolah vokasi tinggal di camp dari Senin sampai Jum’at, Sabtu dan Ahad boleh pulang. Lamanya mengikuti sekolah vokasi ada yang 6 bulan, 1 tahun, dan ada yang satu 1 setengah tahun.
Agung mengatakan dalam konstitusi Tiongkok warga negara diberi kebebasan untuk beragama atau tidak beragama. “Mau beragama apa saja boleh, mau tidak beragama juga gak apa-apa, tapi fasilitas milik negara tidak boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan termasuk beribadah,” kata Agung.
Sementara itu, katanya, di Xinjiang konon terdapat 23.000 masjid. Delegasi sempat melaksanakan shalat Jum’at di Hotan, di satu masjid yang kira-kira jama’ahnya ada 500-an orang.
Delegasi juga bertemu dengan Asosiasi Muslim Tiongkok, baik ketika di Beijing, Urumqi, Hotan dan ke Kashgar. Mereka menyampaikan di Xinjiang ada 27.000 imam yang digaji negara dan bersertifikasi.
“Sebenarnya perhatian pemerintah itu sebenarnya ada, dan kalo kita lihat sikap terhadap muslim Uighur ini berbeda dengan Tiongkok Timur seperti Guangzhou, Shenzhen dan lainnya. Kelihatannya Tiongkok di bagian timur situ tidak ada masalah, mahasiswa-mahasiswa kita yang di sana mengatakan ‘kita shalat di kampus, kita shalat ashar di kampus tidak ada masalah,’” urai dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Selain itu, delegasi ditunjukkan ke museum deradikalisme yang menampilkan foto-foto peristiwa terorisme, radikalisme serta artefak-artefak seperti granat, senapan, termasuk tabung gas yang diledakkan untuk teror.
“Jadi sejak tahun 2000 sampai 2015 itu puluhan kali terjadi terorisme, entah itu meledakkan bom di bis, di pasar, di jalan dan lain sebagainya,” kata Agung, “Sehingga tampaknya Tiongkok itu memiliki trauma tersendiri terhadap terorisme dan separatis itu.”
Agung mengungkapkan radikalisme dan terorisme merugikan dakwah Islam secara keseluruhan, tak terkecuali di beberapa muslim minoritas yang menjadikannya berat dan susah. Sehingga pendekatan yang dilakukan pemerintah Tiongkok merupakan pendekatan keamanan. “Tiongkok ini kan ada dua daerah otonom yang bermasalah, Xinjiang dan Tibet,” tandasnya.(Ia/Riz)