YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo menanggapi tentang upaya pemerintah Tiongkok memberantas radikalisme, terorisme dan separatisme melalui sekolah pendidikan vokasi. Hanya saja dalam upaya tersebut masih terdapat pembatasan beribadah kepada para pesertanya karena dianggap menggunakan fasilitas negara.
“Saya kira pemerintah Tiongkok memiliki upaya mengatasi persoalan di dalam negerinya. Mereka kemudian melihat separatis itu sebagai terorisme, mereka juga menggunakan pola mencegahnya melalui upaya-upaya mendidik masyarakatnya yang terpapar paham radikal itu ke vokasi,” ungkap Trisno ketika dihubungi Suara Muhammadiyah, Sabtu (9/3).
Oleh karena itu, menurutnya kriteria terpapar tersebut harus jelas. Sebagaimana yang telah didiskusikan delegasi atas undangan Tiongkok, yaitu Majelis Ulama Indosia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. “Tim kami, delegasi yang hadir, MUI, Muhammadiyah maupun NU itu belum dijelaskan kriteria terpapar,” katanya.
Trisno mengatakan bahwa konstitusi Tiongkok mengizinkan masyarakatnya bebas memilih dapat beragama maupun tidak beragama. Seharusnya mereka yang beragama itu diizinkan untuk melakukan aktivitas keagamaannya, setidak-tidaknya paling minimal ketika beribadah sehari-hari khususnya umat Muslim jika mereka harus masuk asrama atau mereka diminta harus dididik ulang di vokasi.
“Ibadahnya itu harus diberikan kelonggaran, jika tidak dibangunkan mushola di tempat pendidikan, boleh tidak ditaruh di luar, jika tidak bisa, boleh tidak mereka di kamar melakukan ibadah yang tidak terlalu dianggap mengganggu sistem pemerintah Tiongkok,” ungkap Trisno.
“Saya kira pemerintah Tiongkok akan mendapatkan penghargaan masyarakat atau dunia Islam yang kemudian bisa memberikan penghormatan dan penghargaan karena memberikan ruang, sebagaimana mereka sendiri menyatakan mereka diberikan kebebasan untuk beribadah,” ungkapnya lagi.
Yang lainnya, masih kata Trisno, pemerintah Tiongkok dapat memberikan penataan-penataan yang lebih baik juga terkait ibadah Haji. “Agar kita dapat melihat Muslim Uighur diberikan kesempatan beribadah dengan baik. Kalau melihat statistiknya mungkin perlu diberikan (kepada) mereka ruang yang lebih besar lagi beribadah haji,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut.
“Karena haji dari Xinjiang ini statistiknya sedikit. Kan mereka mayoritas, separuhnya umat Muslim Tiongkok ini dari Uighur. Seharusnya jika kriteria jumlah penduduk, mereka terbanyak,” pungkasnya. (Riz)