Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Warga Muhammadiyah tentu tidak ada yang tidak tahu dengan Muallimaat Yogyakarta. Bagaimana tidak, sekolah khusus untuk putri ini merupakan salah satu sekolah tertua di lingkungan Muhammadiyah, bahkan bila dibandingkan dengan mayoritas sekolah sederajat lainnya di Indonesia. Akar historisnya membentang sejak dari Al-Qismul Arqa yang didirikan KH Ahmad Dahlan tepat seabad silam (1918), yang kemudian beberapa kali bertransformasi hingga akhirnya menjadi Muallimaat pada tahun 1932. Sebagai sekolah kader putri Muhammadiyah, alumni sekolah ini sudah tersebar ke berbagai lapisan masyarakat. Kurikulum dan sistem pendidikannya pun sudah beradaptasi dengan perubahan zaman yang mutakhir.
Namun, agaknya tidak banyak orang tahu, bahkan mungkin juga warga Muhammadiyah sendiri, bahwa para pelajar putri di Muallimaat pernah menerbitkan satu majalah yang sangat khas baik dari segi komposisi redaksi maupun konten medianya. Muallimaat bukan hanya merupakan institusi pendidikan di mana para muridnya hanya fokus dengan kegiatan belajar-mengajar beragam mata pelajaran. Para muridnya juga telah berkontribusi untuk mendiseminasikan pengetahuan dan mencerahkan pemahaman beragama masyarakat bahkan di saat mereka masih berstatus pelajar. Dari tangan para pelajar putri di sekolah ini lahir sebuah majalah bernama Suluh Remadja, yang distribusinya tidak hanya di antara pelajar Muallimaat saja, juga tidak hanya di Yogyakarta saja, tapi bahkan ke berbagai tempat di Nusantara. Dan itu terjadi di pertengahan era 1950-an, saat sarana komunikasi dan transportasi belum semaju sekarang.
Hampir tidak ada studi serius tentang majalah Suluh Remadja ini. Dari berbagai kajian tentang sejarah Muhammadiyah, majalah ini luput dari penilikan. Hanya ada beberapa buku yang pernah menyebut tentang eksistensi Suluh Remadja, yakni karya Solichin Salam (1963 dan 1965) dan Maesaroh Hassan (1967). Tapi, itupun hanya sepintas lalu saja.
Di sejumlah perpustakaan di bawah Muhammadiyah tidak ditemukan edisi perdana Suluh Remadja. Tapi rekonstruksi sejarah tetap bisa dilakukan dari apa yang masih tersisa. Edisi pertama Suluh Remadja kemungkinan terbit pada sekitar April 1956. Edisi terakhir di tahun 1956 bernomor 9 dan terbit pada bulan Desember 1956 (Sapar 1376). Di halaman depan edisi 9 ini terpampang tulisan “Madjalah Suluh Remadja, Bulanan Peladjar Muallimaat.” Untuk gambar kover ditampilkan potret 12 pelajar yang diperkenalkan sebagai pengasuh majalah ini. Secara resmi, penerbitnya adalah “Persatuan Peladjar Muallimaat Jogjakarta.” Di dalam boks redaksi tercantum nama-nama yang berada di dapur Suluh Remadja: K.H. Dalhar Bkn. (Penasehat), Muhtaromah (Pemimpin Umum), Nasjiah Ningrum H.M. (Pemimpin Redaksi), Muslimah, Latifah, Habibah, Aisjah, dan Fatichah (Staf Redaksi), Kamaliah dan St. Zunnah (Sekretaris Redaksi), serta Mudrikah, Rifaah, Romlah, Sjamsijah, Ratna, Sialangi, J. Muntichanah dan Sri Sudarjati (Tata Usaha). Redaksi Suluh Remadja beralamat di Notoprajan 31 Yogyakarta.
Apa visi utama Suluh Remadja? Pimrednya menggarisbawahi bahwa majalah ini berkeinginan untuk “dapat menerangi segala sudut dan relung jg gelap, jg masih banjak terdapat dipersada kita ini.” Suluh Remadja memang menitikberatkan perhatiannya pada upaya memosisikan dirinya sebagai juru penerang masyarakat. Banyak kata-kata yang berasosiasi dengan penerangan yang bisa kita temukan di Suluh Remadja, mulai dari “pelita,” “dian,” “suluh,” “obor,” “misbah,” hingga “siradj”. Ini dikontraskan dengan kondisi Indonesia dan dunia yang diliputi “kegelapan” dan “kabut”.
Visi sebagai juru penerang atau suluh di tengah kegelapan diwujudkan dalam berbagai kolom dan artikel yang ada di halaman demi halaman Suluh Remadja. Kolom “Ruang Agama” mengulas berbagai aspek-aspek pokok dalam agama, umpamanya soal keesaan Allah dan perilaku musyrik. Artikel tentang sejarah menempati posisi krusial di Su luh Remadja. Redaksinya percayanya bahwa ada banyak hal yang bisa diteladani dari kejadian maupun para tokoh di zaman dulu. Peristiwa kelahiran Nabi Muhammad saw diinterpretasikan sebagai masa peralihan dari masa “budipekerti rendah” ke masa “budipekerti jang luhur lagi utama,” dari agama musyrik ke agama tauhid, dari masyarakat yang barbar ke masyarakat yang beradab. Perjuangan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan Cik Di Tiro dinarasikan tidak hanya sebagai perlawanan karena alasan sosial dan ekonomi semata tapi juga karena kuatnya iman Islam di dalam diri mereka, serta semangat mereka dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Ada banyak tokoh historis lainnya yang bertebaran di Suluh Remadja, mulai dari Khulafaur Rasyidin hingga H.O.S. Cokroaminoto.
Ada kolom khusus tentang dan untuk kaum perempuan. Salah satu tema yang diangkat adalah soal pertanyaan yang selalu hadir dari masa ke masa: apakah perempuan itu makhluk lemah? Jawaban diajukan oleh pengisi kolom “Ruang Wanita” yang memakai nama pena Pak Azet. Menurutnya, secara fisik wanita memang lebih lemah daripada laki-laki, tapi secara ruhaniah (psikis) “wanita adalah machluq jang kuat, jang tidak terkalahkan oleh laki-laki.”
Majalah Suluh Remadja tidak hanya mengisi memori pembacanya dengan pengetahuan tapi juga berupaya memperhalus rasa para pembacanya. Mediumnya adalah kolom sastra. Ada dua kolom yang disediakan, satu untuk puisi dan satu lagi untuk cerita pendek. Puisi-puisinya menjalin kata yang menggambarkan keindahan alam, bakti kepada orang tua dan seruan kepada pemuda dan pemudi untuk berjuang di jalan Allah.
Seruan untuk bersemangat, bersekolah tinggi, berpikiran maju dan berpartisipasi dalam masyarakat, yang ditujukan kepada pemuda dan pemudi muncul secara konstan di Suluh Remadja. Masa muda dan masa sekolah dipersepsikan sebagai masa persiapan sebelum terjun ke publik. Oleh sebab itu, masa muda mesti dijalani dengan mencari ilmu dan melakukan aktivitas bermanfaat lainnya. Pimred Suluh Remadja berpesan pada para pembacanya yang masih muda: “Kami serukan kepada Sdr2 disamping kita bertekun beladjar dalam sekolah, marilah kita belajar rela berkorban, berbakti, sadar kepada kewadjiban, karena Sdr2 tidak selamanja mendjadi peladjar.”
Meski Suluh Remadja diterbitkan oleh remaja dan berisi banyak informasi tentang dunia remaja, majalah ini juga memiliki suatu karakter yang membuatnya mirip dengan media komersial yang lebih besar: ruang untuk advertensi. Biaya iklan 1 halaman di kulit luar adalah Rp. 150 sementara di kulit dalam Rp. 100. Para pengiklan di Suluh Remadja beragam, mulai dari perusahaan batik Gatutkotjo dan Kuntji-Mas (alamat: Karangkajen 317) hingga pabrik limun Hercules (di Jl. Balapan 1 Yogyakarta).
Penerbitan Suluh Remadja memperlihatkan bagaimana Muallimaat mengubah cara orang di zamannya melihat pendidikan bagi kaum putri. Para pelajar putri tidak hanya dipersiapkan untuk tugas domestik (seperti nama sekolah Muallimaat antara 1924-1932: Kweekschool Istri) maupun tugas sosial-keumatan sebagai kader Persyarikatan. Mereka juga diarahkan sebagai anak muda yang berpengetahuan, partisipatif dengan gerakan modernisasi yang tengah melanda Indonesia di era pascakemedekaan, dan terutama sekali adaptif dengan teknologi komunikasi massa mutakhir. Mereka menyebarkan pengetahuan kepada publik sejak masih sekolah. Di Suluh Remadja pula para gadis ini belajar mengelola media cetak dengan menduduki berbagai posisi keredaksian. Para anggota dewan redaksinya mengumpulkan tulisan dan juga menyusun karangan sementara pihak tata usaha mengelola uang masuk dari pelanggan dan iklan. Kehadiran Suluh Remadja memperlihatkan bahwa tradisi jurnalistik serta channel of discourse (saluran diskursus) di Muhammadiyah tidak hanya diinisiasi oleh kalangan orang tua, tapi bahkan telah dimotori oleh para remaja, dan, yang perlu digarisbawahi di sini, mereka adalah remaja putri.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan.
___
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM edisi 8 tahun 2018