Antara Khalifah dan Khilafah

Oleh: Muhammad Azhar

Tulisan ini berkaitan dengan wacana yang muncul beberapa tahun terakhir ini, terkait dengan jargon baru di sebagian kecil umat Islam yang mencoba menghidupkan kembali wacana khilafah bagi kemajuan peradaban Islam masa depan. Sepintas memang menarik, dari pemunculan isu khilafah tersebut, karena dapat menjadi saluran pembebasan umat Islam di tengah kesumpekan politis dan kesejahteraan yang mereka hadapi.

Isu khilafah ini dipelopori oleh gerakan pembebasan Islam (Hizbut Tahrir) global atau HTI di Indonesia. Pemunculan isu ini dalam rangka memberi semangat baru kepada umat Islam untuk membebaskan diri dari jeratan Kapitalisme global yang menggunakan jargon demokrasi dan HAM sebagai media penindasan umat Islam.

Sebagaimana telah penulis uraikan pada sesi ketiga dari tema besar demokrasi religius yang lalu. Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut tentang isu khilafah dimaksud.

Pertama, kalau diperhatikan secara normatif, al-Qur’an maupun hadits sebenarnya tidak secara eksplisit mendorong umat untuk membangun imperium khilafah. Dalam al-Qur’an sendiri lebih ditekankan pada konsep khalifah, bukan khilafah. Konsep khalifah lebih bersifat personal, sedangkan khilafah cenderung institusional-organisasional. Secara filosofis, al-Qur’an sangat menekankan peran aktif manusia sebagai khalifatullah fi al-ardl (agent of God) di muka bumi yang bertanggungjawab bagi kemakmuran peradaban dunia. Adapun tehnis operasional-organisasional-institusional diserahkan kepada ijtihad personal maupun kolektif umat Islam di masing-masing negeri. Jadi, konsep khilafah lebih sebagai produk ijtihad kemanusiaan yang historis, bukan keharusan normatif.

Kedua, secara historis, memang pernah muncul sejarah kekhalifahan dalam arena yang terbatas seperti era khulafaur-rasyidun maupun yang lebih luas pada era Abbasiyah, Fathimiyah hingga kekhalifahan Turki Usmani di Turki. Namun kini muncul pertanyaan, apakah konsep khilafah tersebut masih mungkin diterapkan pada era sekarang, dimana negeri-negeri muslim sedang bermetamorfosa dari sistem dinastik-tiranik-otoritarianisme menuju demokratisasi dan nation state, dimana konsep ummah bertransformasi menjadi citizenship?

Ketiga, dalam konteks poin kedua di atas, konsep khilafah dan upaya penerapannya terasa sangat utopis-romantis-historis yang samasekali amat berjarak dengan realitas empirik negeri muslim yang tengah menuju proses demokratisasi dimaksud. Keempat, sebenarnya dunia Islam telah memiliki beberapa badan Islam internasional semacam OIC (the Organization of Islamic Conference)/OKI yang beranggotakan lebih dari 50-an negara Muslim, juga ada Rabithah Alam Islami, Liga Arab, dll. Namun sampai hari ini, upaya menyatukan 50-an negeri muslim saja masih kedodoran, apalagi bila digabung dalam sistem khilafah yang lebih unifikatif, akan terasa semakin utopis. Meminjam teori M. Abed Al-Jabiry, pemikir asal Maroko, konsep khilafah itu lebih bersifat bayani (tekstual-normatif) ketimbang burhani (rasional-empiris).

Kelima, dari segi semangat persatuan dan kritik terhadap sistem Kapitalisme, pemunculan ide khilafah memang benar, namun yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana memformulasikan secara lebih realistis-empiris konsep khilafah tersebut,, baik pada level global maupaun local di masing-masing negara muslim. Yang perlu dicatat adalah bahwa syariat Islam ada yang bersifat universal, namun ada yang bersifat lokal, yang masing-masing negara Islam memiliki ciri khas nunasa fiqh, yang pasti saling berbeda di setiap negara sesuai tantangan masing-masing, jadi tidak bisa digeneralisasikan.

Maka, yang paling relevan dan realistis saat ini adalah bagaimana memoles realitas demokratisasi yang masih bernuansa liberal ke format yang lebih religius terutama dalam tataran substansi nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri. HTI misalnya, bisa belajar dari partai Islam semacam PKS atau PKB maupun PAN yang mau tidak mau harus beradaptasi dengan lokalitas keindonesiaan sambil terus berupaya meralisasikan nilai-nilai universalitas keislaman melalui media demokrasi yang ada saat ini. Demikian pula contoh ormas Islam tertua seperti Muhammadiyah setelah satu abad berdiri kini mau tidak mau harus lebih adaptatif lagi dengan kondisi keindonesiaan melalui konsep “Dakwah Kultural”, demikian pula NU dll.

Bahkan di negara Eropa kini muncul konsep Western Islam sebagaimana yang dilontarkan oleh Tariq Ramadan, cucu almarhum Hassan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir. Apa yang terjadi dengan Ikhwanul Muslimin dan Mursi di Mesir, bisa menjadi pelajaran bagi dunia Islam tentang pentingnya upaya adaptasi dengan situasi lokalitas masin-masing negeri Islam dalam melandingkan ajaran Islam sebagai rahmatan lil-alamien.

Keenam, bila konsep khilafah terus dipaksakan, maka akan terjadi benturan ideologis-politis bahkan structural-birokratis antara umat Islam dengan penganut non-muslim bahkan muslim sekuler sendiri, dan bila itu terjadi akan berdampak mundurnya kembali kisah sukses umat Islam di masing-masing negara yang telah dibina dan diraih selama ini.

Akhirnya, konsep khilafah seperti yang diperjuangkan HT/HTI saat ini masih terlalu utopis-romantis dan kurang adaptatif dengan perubahan. Semangat persatuannya bagus, tetapi harus menuju ke masa depan, bukan ke masa lalu yang romantic-historis. Bila ingin menghidupkan kembali kejayaan masa lalu tetap harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian, itulah hakikat perubahan. Jadi, penerapan konsep khilafah bukan soal benar atau salah, tetapi relevan atau tidak dengan kondisi negeri-negeri muslim terutama di Indonesia.

——————————-

Muhammad Azhar, Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Exit mobile version