Oleh: Dr M G Bagus Kastolani, Psi
Sebagai seorang guru, saya berusaha hadir sebelum kelas dimulai bahkan sebelum mahasiswa datang. Saya pernah memberitahukan kepada para mahasiswa bahwa tadi pagi saya telah merekatkan uang Rp 100.000,- sebanyak 3 lembar di bawah 3 kursi mahasiswa. Sontak mereka langsung melihat dan merogoh ke bawah kursinya masing-masing. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang tergopoh-gopoh memeriksa kursi temannya. Tidak tertinggal kursi saya pun diperiksa oleh beberapa mahasiswa. Mereka sangat antusias mencari 3 lembar uang tersebut di kursi-kursi kelas hingga ada kursi yang dijungkirbalikkan untuk diperiksa.
Setelah sekian lama mereka mencari, hasilnya pun tetap nihil. Tidak ada uang yang saya sebutkan tadi. Dan memang saya tidak memasangnya, begitu pengumuman saya yang disambut dengan teriakan kekecewaan mahasiswa. Saya dan beberapa mahasiswa tersenyum melihat antusias mahasiswa lain mencari uang tersebut. Saya pun bertanya, kenapa mereka mau dan bahkan antusias memeriksa semua kursi di kelas? Dengan kompak mereka menjawab karena ada uang. Saya pun memahami mereka semua bergerak antusias karena adanya uang atau faktor eksternal.
Perilaku kita yang digerakkan oleh faktor eksternal inilah yang disebut sebagai external locus of control. Dan ketika saya mengevaluasi diri maka external locus of control inilah yang mendominasi untuk menggerakkan perilaku saya. Misalnya dalam memilih baju untuk ke kampus, saya cenderung mempertimbangkan pendapat orang lain atau pertimbangan penilaian orang lain terhadap pilihan baju saya. Lawannya adalah internal locus of control, yaitu perilaku kita digerakkan oleh keinginan kita sendiri. Dan bagi saya, sedikit perilaku saya yang digerakkan oleh faktor internal ini.
Kembali saya mengevaluasi perilaku mahasiswa yang sangat antusias bergerak untuk mendapatkan uang. Sejenak memang faktor eksternal akan sangat menyemangati kita dalam bertindak. Namun apabila uang sudah didapatkan maka berhenti pula pergerakan perilaku kita karena sudah cukup puas dengan tujuan eksternal tersebut. Atau bahkan kita putus asa ketika harapan eksternal berupa uang tadi tidak kita dapatkan. Diprediksikan di kemudian hari kita tidak akan mau mengulangi perilaku kita mencari uang karena itu hoax. Memang perilaku kita bisa konsisten terus bergerak jika memang ada faktor internal sebagai dorongan kita. Contoh lagi, kita bisa berhenti merokok totalitas jika ada dorongan internal. Namun jika karena dorongan eksternal maka diprediksikan kita akan kembali merokok. Bukankah kipas angin akan lebih bertahan berputar dengan kencang jika kita putar pada porosnya daripada di ujung kipasnya?
Huwallahu a’lam bi showab
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM edisi 8 tahun 2018