Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Di antara kita agaknya tidak ada yang tak kenal dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang akrab disapa Buya Hamka. Hamka, yang pada tahun 1956 mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al Azhar, merupakan seorang ulama kharismatik dan penulis prolifik. Sebagian besar umur Hamka diabdikan untuk Muhammadiyah, dari lokal hingga pusat. Hamka duduk di berbagai posisi, mulai dari pengurus Muhammadiyah Padang Panjang, mubalig Muhammadiyah di Makassar hingga anggota Pimpinan Pusat Pusat Muhammadiyah. Tak heran bila namanya dipakai sebagai nama kampus Muhammadiyah di Jakarta, UHAMKA. Selain di Indonesia, nama Hamka juga tenar sampai ke negeri jiran.
Buya Hamka adalah penulis otodidak yang rajin dengan narasi yang artistik. Sekitar 100 buku dan sedemikian banyak artikel lahir dari tangannya, mencakup tema agama, tasawuf, sejarah hingga roman anak muda. Sebagian di antaranya bahkan masih dicetak ulang hingga sekarang. Di dalam memori banyak orang Indonesia masih terkenang karya-karya Hamka seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Sejarah Umat Islam dan Muhammadiyah di Minangkabau.
Tapi, Buya Hamka tidak menulis dengan pikiran yang kosong. Khazanah wawasannya luas, dan ini ditopang oleh banyak dan beragamnya buku yang ia dalami sejak ia mulai pandai membaca. Dan, sementara publik sangat mengenal beragam tulisan Hamka, mungkin hanya sedikit yang tahu tentang buku-buku yang dibaca Hamka, yang menjadi sumber informasi pokoknya dan modal pentingnya dalam menghasilkan karya-karya besar. Kapan Buya Hamka mulai tertarik membaca buku? Buku apa saja yang ia baca dan kemudian berpengaruh dalam hidupnya? Bagaimana caranya menyerap informasi dari lembaranlembaran kertas di buku?
Buya Hamka tertarik dengan buku sejak masih kecil. Imajinasinya terhadap ide-ide yang ditransmisikan melalui buku telah lahir sejak ia, sebagai anak-anak, dibawa berkunjung ke toko buku di Padang Panjang. Buku-buku yang dipajang di sana memantik rasa ingin tahunya untuk membaca isinya. Kehausannya akan ilmu pengetahuan didapatnya di perpustakaan. Tatkala bersekolah di Sumatera Thawalib, Hamka, yang sebenarnya tidak terlalu suka dengan sekolah formal dan lebih berminat dengan petualangan, menghabiskan tempo untuk duduk di perpustakaan Zainaro yang dikelola Zainuddin Labai, seorang ulama modernis yang juga salah satu pendiri Thawalib. Di perpustakaan Zainaro atensi Hamka terserap pada buku sejarah serta buku cerita karangan sastrawan Minangkabau terbitan Balai Pustaka serta novel Cina dan Eropa yang dialihbahasakan ke Bahasa Melayu.
Buku-buku di perpustakaan Zainaro mengubah Hamka. Ini menjadi awal minatnya pada bidang sejarah dan sastra. Yang tak kalah penting, sebagaimana kata Hamka sendiri, “Lantaran membaca buku2 itu, terbukalah dalam khayalnya beberapa dunia yang belum dikenalnya.”
Sebagai anak Minang, Hamka juga “membaca” tradisi kampung halamannya sebagai bahan inspirasinya. Tradisi ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari peribahasa hingga hikayat lokal. Dalam tulisannya yang berjudul “Mengarang Roman”, yang dimuat di Pedoman Masjarakat tahun 1938 Hamka menyebut bahwa “bekal kita dalam mengarang adalah dari doea aliran, pertama aliran kesoesastraan dari desa kita sendiri dari Manindjau,” dan kedua, didikan ayah yang “menoeroet didikan soerau.”
Menjadi wartawan Pedoman Masjarakat (Medan) sejak pertengahan 1930an membuat Hamka tidak hanya harus menulis banyak, tapi juga membaca banyak. Apalagi kolom-kolom Pedoman Masjarakat diisi oleh tulisan para nasionalis yang sudah dikenal di seantero Hindia Belanda, seperti Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta. Alhasil, Hamka harus memastikan tulisan yang dibuatnya dilandasi oleh pengetahuan yang luas dan dalam.
Dengan kemampuan Bahasa Arabnya yang baik, Hamka mempunyai banyak buku berbahasa Arab. Ia juga membaca karya penulis Barat, seperti dari Inggris dan Perancis. Namun, yang ia baca bukan versi aslinya, melainkan terjemahannya dalam Bahasa Arab. Penulis favorit Hamka adalah pengarang Mesir yang juga penyadur sastra Eropa, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi.
Di saat para intelektual Indonesia di era 1930an membaca buku ahli Orientalisme ternama, H.A.R. Gibb, Whither Islam, dalam Bahasa Inggris, Hamka justru membaca versi Arabnya, Wijhatul Islam. Adapun teks berbahasa Belanda tidak banyak dibaca Hamka lantaran kemampuan Bahasa Belandanya yang minim. Berbeda dari rekan intelektual sezamannya, Hamka memang tidak mendapat pendidikan Belanda.
Hamka tertarik dengan tasawuf sejak ia mendalami berbagai buku tasawuf dan filsafat. Dari pembacaannya itu, ditambah dengan pengetahuannya tentang Islam dan keinginannya untuk mencari tahu tentang kunci kebahagiaan hidup, pada tahun 1939 lahirlah buah penanya yang diberi judul Tasawuf Modern.
Di luar buku, yang membawa kedalaman pemikiran dan renungan, Hamka juga memberi perhatian pada kebaruan informasi, yang diperolehnya dari bahan bacaan mutakhir. Ini diwujudkannya dengan membaca berbagai surat kabar dan majalah, tidak hanya yang terbit di Hindia Belanda tapi juga di Asia Tenggara bahkan di Dunia Arab. Untuk memahami dinamika di Dunia Melayu, Hamka membaca Utusan Melayu, salah satu koran tertua di Singapura yang didirikan oleh Yusof Ishak, sosok yang pada tahun 1965 menjadi presiden Singapura. Guna memahami konstelasi politik di Dunia Arab dan Afrika Utara, Hamka membaca media-media Mesir seperti Al-Fath, Al-Siyasah, dan AlRisalah. Dari publikasi berbahasa Arab ini Hamka memperoleh banyak bahan berita terbaru yang dipakainya untuk menulis. Tak hanya itu, narasi tentang perjuangan Palestina dalam menghadapi pendudukan Israel yang diperolehnya dari media Arab ini juga melahirkan simpatinya pada nasib bangsa Palestina.
Bagaimana Buya Hamka membaca buku-bukunya? Sebagaimana diungkap biografer Hamka, James Rush (2017), ada setidaknya tiga teknik yang dipakai Hamka. Pertama, secara konstan membaca beberapa jam dalam sehari. Kedua, mencari waktu yang tenang untuk membaca dan merenung. Tengah malam adalah salah satu waktu yang kerap dipakai Hamka untuk memahami buku di hadapannya. Buku-buku juga terhampar di hadapan Hamka kala ia tengah berada di depan mesin ketik sehingga ia bisa membaca sembari menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Ketiga, membaca tidak ada artinya apabila tidak memikirkan apa yang dibaca, dan pemikiran itu kemudian mesti dituangkan dalam bentuk tulisan. Maka, tak heran bila Hamka membaca sembari ditemani oleh apapun yang bisa dipakai untuk mencatat, bisa kertas biasa, tapi pernah pula kertas bungkus rokok. Catatan ini harus disimpan agar tidak hilang tatkala diperlukan.
Dengan cara-cara tersebut, yang kemudian menjadi rutinitas sehariharinya, tak heran bila Buya Hamka senantiasa punya stok bahan luar biasa yang bisa diolah untuk menjadi artikel, buku, novel, ataupun sebagai materi untuk ceramah.
___
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2018