Kegelisahan dan keprihatinan itu tampak demikian jelas dari raut wajah Pak Muchlas Abror sesaat setelah mengimami salat Zuhur di Gerha Suara Muhammadiyah di Jalan Kiai Haji Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sosok Muchlas Abror merupakan Sekretaris PP Muhammadiyah pada era kepemimpinan Amien Rais dan Syafii Maarif. Sebelumnya pernah menjadi ketua PWM Daerah Istimewa Yogyakarta dan Ketua Tapak Suci.
Dalam kultumnya, Pak Muchlas mengurai gejala ketidakjujuran bangsa, baik secara individu maupun kolektif, karena dihadapkan pada situasi percaturan politik nasional bernama Pemilu. Era 4.0 yang sedianya memungkinkan setiap pengguna media sosial dapat mengakses informasi secara mudah dan tanpa batas justru menjadi ladang pembibitan dan panen dosa.
Lidah, janji, dan nafsu adalah tiga dimensi yang dapat menjadi sebab dosa bagi seseorang dengan segala konteksnya. Apa hal yang paling tajam di dunia ini? Tanya Pak Muchlas pada jamaah. Jawabannya adalah lidah. Ucapan, ujaran kebencian, kalimat yang menyakitkan, dan kata-kata yang keras, pasti akan melukai hati. Hati yang luka oleh kata-kata, kata Pak Muchlas, adalah sangat sulit untuk diobati. Jagalah lidah kita masing-masing. Di dunia ini, lanjutnya, akeh wong kang ngomong waton ketimbang wong kang ngomong maton: Banyak orang yang asal berbicara dari pada orang yang bicara dengan dasar/alasan. Semestinya sebelum berucap didahului dengan berpikir.
Pak Muchlas melanjutkan, Ajining diri dumunung aneng lathi: Kepribadian yang murni ada dalam ucapan/kata. Orang yang tidak bisa menjaga lidahnya, dia pasti akan terjerumus pada kesombongan. Kesombongan itu adalah bentuk orang yang lupa akan hakikat dirinya. Allah Swt tidak menyukai orang yang sombong. Dalam Al-Quran, Lukman Hakim mendidik anaknya agar jangan berlaku sombong dan angkuh. Dalam sebuah kisah, ketika seseorang disuguhi makanan yang paling enak, di sana dihidangkan daging lidah. Ketika bertanya tentang makan yang paling tidak enak pun disediakan daging lidah. Maknanya, keselamatan dan kecelakaan manusia kini dan nanti adalah oleh karena sebab lidah.
Apa hal yang paling berat di dunia ini? Tanya Pak Muchlas untuk yang kedua kali. Jawabannya adalah janji. Menepati janji itu tidak ringan. Jika tidak mampu memikulnya, tidak perlu mengumbar janji. Jangan menganggap ingkar janji itu perkara enteng. Kita semua akan dimintai pertanggungjawaban. Mari menepati janji bila berjanji. Menepati janji itu adalah ciri orang yang bertakwa. Allah mecintai orang-orang yang bertakwa.
Apa hal yang paling besar di dunia ini? Tanya Pak Muchlas untuk yang terkahir kali. Jawabannya adalah Nafsu. Nafsu jika tidak dikendalikan akan menyesatkan. Nafsu itu senantiasa mengajak orang kepada keburukan kecuali yang mendapatkan pancaran rahmat dari Allah Swt. Gejala pascakebenaran di era serba teknologi informasi ini adalah berpangkal pada nafsu. Jika orang suka pada sesuatu, nafsu mengarahkannya agar ia selalu mengatakan sesuatu itu baik dengan tanpa ada kekurangannya walaupun setitik. Sebaliknya, jika orang tidak suka pada sesuatu, nafsu menggiringnya supaya ia selalu mengatakan bahwa sesuatu itu cacat tanpa kebaikan sedikitpun. Kejujuran dan ketulusan tergantikan posisinya oleh nafsu. Nafsu menjerumuskan orang dari kebenaran sehingga ia akan ringan memutarbalikkan kata-kata.
Pak Muchlas yang kini telah berusia 77 tahun tak pernah mengeluh lelah dan letih mengabdikan diri di Persyarikatan Muhammadiyah. Perangainya tenang, sejuk, sederhana, dan bersahaja namun tetap kritis dan jujur dalam membaca gejala kekinian. Kerisauannya diungkapkan dengan bahasa yang sopan-santun dan kata-kata pilihan agar tidak sampai melukai hati orang lain namun tetap mengena. Akhirnya, kepada Pak Muchlas, semoga sehat selalu dan selalu dalam lindungan Allah Swt. (Erik Tauvani)
Baca juga :
Kultum Buya Syafii Maarif: Tidak Boleh Menyerah pada Keadaan
Kultum Haedar Nashir: Upaya Muhammadiyah Internasionalisasi Islam Indonesia
Kultum Buya Syafii Maarif: Menjadi Pemenang dalam Perlombaan Peradaban