Ada sebuah ayat di dalam Al Qur’an yang artinya, “Sesungguhnya Allah SwT akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang berilmu.” Dan, untuk menjadi orang berilmu seperti itu maka dia harus menjalani hidupnya dengan membuku. Membaca buku (pasif) kemudian mengkaji isinya (aktif) lalu menulis buku (proaktif).
Awalnya adalah membaca. Wahyu pertama yang diturunkan Allah SwT kepada Nabi Muhammad saw diawali dengan iqra’, membaca. Yang menarik, dalam ayat pertama itu disebutkan, membaca itu (perlu) diawali dengan menyebut atau menyandarkan diri dan menyadarkan diri dengan nama Allah yang Maha Menciptakan. Allah sebagai Al Khaliq. Termasuk menciptakan ilmu-ilmu itu sendiri. Dan ilmu-ilmu Allah SwT sangat luas dan dalam. Amat beragam. Untuk menggali dan menemukan ilmu-ilmu Allah diperlukan upaya membaca. Termasuk membaca buku.
Membaca bukan sembarang membaca. Bukan membaca secara teknis, yaitu sekadar melihat huruf, kata, kalimat, alinea dan isi halaman-halaman buku. Tetapi membaca dengan menyerap arti, pengertian, konteks, konstruksi makna, bahkan bangunan ilmu yang tersembunyi di dalamnya. Dengan banyak membaca buku, kita dapat menemukan relasi, korelasi, dan perlintasan ide, gagasan, pesan yang berada di dalam banyak buku itu. Dan ini membentuk konstruksi makna yang baru yang membuat pemahamannya akan ilmu yang tersembunyi di dalam banyak buku itu makin lengkap dan komprehensif.
Dan, di manakah fungsi menyebut nama Tuhan yang Maha Menciptakan yang mengiringi kegiatan membaca (buku) ini? Fungsinya adalah sebagai pembuka kesadaran bahwa ilmu-ilmu itu berasal dari Allah, diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia. Ada pengalaman menarik dari seorang teman yang kemudian dikenal sebagai pembaca kitab-kitab kuna dengan huruf kuna dan bisa menggali lapis-lapis simbolik dari teks kuna tersebut. Padahal disiplin ilmu yang dia pelajari di perguruan tinggi adalah ilmu eksakta. Bagaimana mungkin dia bisa tercerahkan dan terbuka mata batinnya untuk memahami apa yang tersurat dan apa yang tersirat di balik teks-teks kuna tersebut?
“Setiap saya mempelajari buku atau kitab kuna, yang ditulis dengan huruf kuna sekalipun, saya selalu mengawali dengan membaca basmalah, dan menyebut serta menyertakan, dalam kesadaran saya, nama-nama Allah. Iqra’ bismi rabbika, begitu perintahNya. Dan saya, dengan menyebut nama-namaNya, saya minta dibukakan pintu ilmu yang tesembunyi di balik buku-buku yang tengah saya pelajari. Alhamdulillah dengan metode menyebut nama Allah dan dengan menyertakan kesadaran untuk senantiasa minta dibukakan pintu-pintu ilmu oleh Allah SwT, saya menjadi mudah mempelajarinya,” katanya.
Pengalaman dia mirip dengan pengalaman teman lain yang ketika membaca apa saja, lebih-lebih Al-Qur’an dan buku agama, selalu mengawalinya dengan membaca asma Allah dan menyertakan kesadaran, dengan nama-nama itu, permohonan dibukakan pintu ilmu serta pintu kemuliaan. Ia mengalami sendiri bagaimana dengan ilmu yang didapatkan dari membaca itu ada korelasinya dengan anugerah kemuliaan hidup yang dia dapatkan. “Bukankah dalam rangkaian ayat-ayat pada wahyu pertama juga disebutkan, bacalah dengan kesadaran bahwa Tuhanmu Maha Mulia, yang mengajarkan ilmu dengan perantaraan qalam (menjadi teks tertulis, buku), yang mengajar manusia apa-apa yang sebelumya tidak diketahui,“ katanya.
Lebih menarik lagi, setelah mendapatkan pengetahuan dan ilmu lewat buku yang dibaca, maka muncul peluang untuk membagi pengetahuan dan ilmunya dengan menulis buku baru. Jadi, buku-buku yang dibaca justru bisa melahirkan buku baru. Peradaban pun bergerak. Toko buku dan perpustakaan (Taman Pustaka Muhammadiyah) menjadi bermakna, berperan dan berfungsi di tengah umat Islam yang berkemajuan. (Mustofa W. Hasyim)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM edisi 9 tahun 2018