Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Pertanyaan soal apakah KH Ahmad Dahlan merupakan seorang penulis adalah sebuah pertanyaan klasik di tengah warga Muhammadiyah. Apakah Sang Kiai memang hanya merupakan seorang aktivis, dengan warisannya yang luar biasa itu (Persyarikatan Muhammadiyah)? Ataukah ia juga aktif menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan? Bila ia juga menulis, lalu manakah tulisan pertama yang ia hasilkan?
Di Majalah Suara Muhammadiyah (SM) beberapa waktu yang lalu sejarawan Muarif menulis artikel berjudul “Kiai Ahmad Dahlan Bukan Penulis Prolifik”. Isinya merupakan bantahan atas asumsi yang sudah lama dipegang publik dan para peneliti bahwa pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, adalah seorang pragmatis (man of action) dan bukan seorang penulis ulung dan produktif sebagaimana layaknya banyak pemikir dan aktivis Muslim terkemuka lainnya.
Muarif menyebut beberapa tulisan yang disusun KH Ahmad Dahlan. Pertama, Majalah SM edisi 2 tahun 1915 yang ditemukan oleh sejarawan Kuntowijoyo di sebuah perpustakaan di Leiden, Belanda. Di sana, seorang penulis yang memakai nama “HAD” menulis soal shalat, baik tata caranya maupun jenisnya. Kedua, sejumlah tulisan bersambung, juga oleh “HAD” di SM edisi 4, 6 dan 8, yang ditemukan di Bukittinggi pada tahun 2016.
Persoalannya, tulisan-tulisan tersebut ditulis oleh sosok yang menyebut dirinya “HAD” (jadi tidak secara tegas menyebut dirinya sebagai H Ahmad Dahlan). Ahmad Basuni berpendapat bahwa inisial ini mengacu kepada Haji Ahmad Dahlan sendiri. Walau pendapat Basuni tampaknya benar, masih ada sedikit keraguan tentang ini. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan: 1) mengapa sang penulis hanya menulis inisial namanya dan bukan nama lengkapnya? 2) benarkah artikel di SM edisi 2 tahun 1915 itu tulisan pertama Kiai Dahlan? 3) kalaupun untuk poin kedua jawabannya adalah “ya”, lalu tanggal dan bulan apa persisnya tulisan itu ia buat?
Menurut saya, ada sebuah tulisan lain yang dapat dikatakan sebagai tulisan pertama KH Ahmad Dahlan. Tulisan ini dibuat di Yogyakarta tanggal 1 April 1915. Kini tulisan ini, berikut vertaling-nya (terjemahan) dalam Bahasa Belanda, berada di Perpustakaan Nasional Belanda. Ini bukanlah sebuah artikel di majalah ataupun teks pidato, melainkan sebuah surat yang ditujukan kepada pemerintah kolonial. Dilihat dari akhir suratnya, penulisnya ada dua orang, yakni “Presiden Muhammadiyah” Hadji Achmad Dahlan dan “Sekretaris Pertama Muhammadiyah”, R. Ardiwinata. Jadi, berbeda dengan keraguan soal siapa sebenarnya pemakai inisial “HAD” di SM edisi 2 tahun 1915, di surat ini tidak ada keraguan sama sekali soal siapa penulisnya, yang dengan jelas bernama Hadji Achmad Dahlan (bersama sekeretarisnya).
Isinya sebagai berikut (ejaan dibiarkan seperti aslinya):
Djogjakarta, 1 April 1915
Dengan segala hormat, Dengan beberapa kaboengahan hati, atas namanja perhimpoenan “Moehammadijah”, hamba sekalian baroelah sekarang ini bisa melakoekan apa jang telah didawoehkan kepada hamba sekalian oleh Kangdjeng Toean dari chal inoeman keras.
Maka koetika tt. 23/24 boelan Maart 1915, perhimpoenan “Moehammadijah” mengadakan Algemeene vergadering, didatengi oleh lid-lidnja koerang lebih 350 orang dan diantaranja ada beberapa tamoe.
Sesoedahnja oleh hamba sekalian dibitjarakan dari chal djahatnja inoeman keras itoe, maka vergadering memoetoeskan, soepaja inoeman keras itoe dilarang terdjoeal atau orang Djawa dilarang tiada boleh meminoem dan membeli. Hal ini ternjata dari pertimbangannja lid-lid, seperti jang terseboet didalam soerat Notulen Algemeene vergadering tt. 23/24 Maart 1915.
Hamba sekalian, atas namanja perhimpoenan “Moehammadijah”, memohon dengan sanget-sanget, soepaja inoeman keras itoe dilarang terdjoeal kepada bangsa Djawa atau seboleh-boleh dikoerangkan. Akan mendjadikan sedikit pertimbangan, apakah tiada baik saandenja Kangdjeng Gouvernement mengadakan monopoli inoeman keras itoe, atoerannja seperti opium, tetapi jang diadakan pendjoealan (verkoopplaatsen) tjoema didalam kotta2 afdeeling sehadja dan di laen-laen tempat jang perloe, boeat sedijaan bangsa laen jang perloe pake. Meskipoen diadakan pendjoealan-pendjoealan Gouvernement, tetapi orang Djawa seboleh-boleh dilarang beli, katjoeali ada chal jang amat penting. Dengan memakai atoeran ini, barangkali sehadja orang Djawa dan djoega bangsa lain, ada koerang memakai inoeman keras itoe.
Maka tiada lain hamba sekalian, tjoema tersilah kepada Kangdjeng Toean, bolehnja bisa kedjalanan permohonannja perhimpoenan “Moehammadijah” itoe adanja.
Teriring dengan beberapa kahormatan atas namanja perhimpoenan “Moehammadijah”.
President,
(wg) HADJI ACHMAD DAHLAN.
1ste Secretaris,
(wg) R. ARDIWINATA
Tulisan di atas dibuat tanggal 1 April 1915, atau kurang dari tiga tahun setelah Muhammadiyah didirikan, dan di tahun yang sama tatkala majalah SM terbit untuk pertama kalinya. Fokus utama surat tersebut adalah permintaan dari Perhimpunan Muhammadiyah kepada Pemerintah Hindia Belanda agar dilakukan pelarangan, atau setidaknya pengurangan, penjualan alkohol kepada “bangsa Djawa” (atau dalam konteks yang lebih luas: kaum pribumi). Cara lainnya untuk menghindari konsumsi alkohol di antara kaum pribumi ialah dengan monopoli penjualan minuman keras (miras) oleh pemerintah serta pembatasan penjualan hanya kepada “bangsa laen”, yang mengacu pada bangsa Eropa dan Timur Asing yang sudah biasa mengonsumsi minuman keras.
Di dalam surat ini tampak keprihatinan mendalam dari Kiai Dahlan serta Perhimpunan Muhammadiyah akan dampak buruk minuman keras pada kaum pribumi.
Di sini memang tidak dijelaskan seperti apa dampak tersebut, namun kita bisa mencari tahu dari berbagai sumber lain. Secara global, gerakan menentang alkoholisme telah mulai muncul di berbagai wilayah di Eropa dan Amerika. Di awal abad ke-20, kecanduan pada alkohol (yang banyak berujung pada kematian) menjadi penyakit masyarakat yang memprihatinkan di dua benua itu. Alhasil, lahirlah gerakan sosial untuk menentang konsumsi alkohol. Puncaknya, di Amerika Serikat pada tahun 1920 berlakulah Eigteenth Amendment to the United States Constitution yang menegaskan bahwa pembuatan, distribusi dan penjualan alkohol adalah tindakan ilegal.
Di Hindia Belanda sendiri, di akhir abad ke-19 ada dua jenis minuman keras yang beredar, yakni arak lokal dan alkohol impor. Pemerintah Hindia Belanda sejak 1873 sudah mengatur produksi dan penjualannya. Tapi upaya itu gagal dan perdagangan miras ilegal malah makin marak. Muncul kelompok konsumen baru miras ini, yakni para priyayi pribumi. Mereka minum miras, khususnya yang diimpor dari Eropa, bukan karena kebutuhan, melainkan demi menaikkan prestise mereka. Penyalahgunaan miras juga kian marak di Hindia Belanda, yang menyebabkan mundurnya kondisi fisik pemakainya.
Pemerintah Hindia Belanda mencari cara lain untuk menangani persoalan ini. Dalam konteks ini, Kiai Dahlan dan Perhimpunan Muhammadiyah turut ambil bagian dalam upaya memerangi alkoholisme dengan mengirimkan surat berisi nasihat sekaligus usulan kepada pemerintah kolonial. Saran Kiai Dahlan, sebagaimana bisa dibaca di atas, fokus pada pembatasan berdasarkan bangsa, pengetatan penjualan oleh pemerintah, serta menjauhkan distribusi miras dari desa di mana mayoritas penduduk Hindia tinggal.
Dari sini dapat diketahui bahwa tulisan pertama Kiai Dahlan yang sejauh ini kita ketahui bukanlah membicarakan tentang agama, melainkan tentang problem sosial, tepatnya sikap anti-alkoholisme Sang Kiai dan Perhimpunan Muhammadiyah. Tulisannya ini memperlihatkan kuatnya kesadaran Sang Kiai untuk membebaskan kaum pribumi dari alkoholisme. Dengan demikian, baginya kemajuan tidak hanya berarti individu bisa baca tulis di zaman ketika buta huruf meraja lela, melainkan juga bermakna terlepasnya orang dari jerat kebiasaan yang buruk, salah satunya dari mengonsumsi minuman keras.
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM edisi 13 tahun 2018 dengan judul asli “Tulisan Pertama Kyai Ahmad Dahlan: Penolakan Terhadap Alkohol Pada 1 April 1915”