TASIKMALAYA, Suara Muihammadiyah – Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kota Tasikmalaya menggelar Seminar Perempuan dengan tema “Peran Perempuan dalam Membangun Karakter Generasi Milenial di Era Revolusi Industri 4.0”. Kegiatan yang berlokasi di Aula FIKes Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya tersebut dihadiri oleh 150 peserta se-Priangan Timur, Ahad (31/3).
Menurut Ketua PDNA Kota Tasikmalaya, Erni Kartini, AMKG, peserta yang hadir berasal dari PDNA Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran, dan Garut. Acara tersebut dihadiri pula oleh PWNA Jabar, PDM, PDA, dan AMM se-Kota Tasikmalaya. Selain itu, hadir pula ormas perempuan, seperti Fatayat NU, pemudi Persis, dan GOW. Asda 1 hadir mewakili Walikota Tasikmalaya.
Ubad Badrudin, M.PdI dalam sambutannya mewakili Ketua PDM Kota Tasikmalaya menyambut baik acara ini. “Perempuan sebagai madrasatul ula sangat penting. Di era 4.0 dengan berbagai hal yang menyertainya, tak boleh membuat perempuan melupakan peran utamanya itu. Karena, tegaknya suatu bangsa berada di tangan perempuan sebagai tiang agama,” paparnya.
Seminar tersebut dilaksanakan secara panel dengan tiga pembicara, yaitu Ketua Umum PPNA Diyah Puspitarini, MPd, Sekretaris PWNA Jawa Barat Ade Kartini, MpdI, dan Sunanih, Ketua PDA Kota Tasikmalaya MPd.
Diyah mengaku senang sekali melihat geliat nasyiah di Kota Tasikmalaya khususnya dan Priangan Timur pada umumnya. Ia memberikan beberapa pesan kepada para nasyiah. “Terus bergerak, atau mati. Saya yakin, Nasyiatul Aisyiyah akan menjadi gerakan yang hebat asal konsisten dan tujuannya jelas. 4.0 ini harus kita kawal terus, tak boleh lengah,” katanya.
Menurutnya zaman terus bergulir dengan segala perubahan yang menyertainya. Adalah sebuah keniscayaan bagi perempuan untuk senantiasa melek perubahan agar tak tergilas oleh perubahan itu sendiri.
Dalam paparannya sebagai pemateri kunci, Diyah menyampaikan tentang peran perempuan Muhammadiyah sejak pertama kali muncul. Para pendiri Aisyiyah telah dengan cerdas membaca perubahan, bahwa perempuan harus melek baca dan tulis.
“Nyai Walidah meminta kepada KH Ahmad Dahlan untuk membuat sebuah forum pengajian khusus perempuan, dimana di sana perempuan belajar pula baca tulis. Maka dibentuklah pengajian Sopo Tresno pada 1915, sebagai cikal bakal pendirian Aisyiyah yang akhirnya berdiri dua tahun kemudian, yaitu 1917.”
Pada Kongres Perempuan I dikenal sosok Siti Munjijah dan Siti Hajinah sebagai dua orang utusan Aisyiyah yang turut andil dalam sejarah pembentukan organisasi perempuan pertama di Indonesia. Kongres yang jatuh pada 22 Desember 1928 pada akhirnya dinobatkan sebagai Hari Ibu.
Setelah terbentuk Nasyiatul Aisyiyah sebagai organisasi Aisyiyah muda, maka kiprah perempuan Muhammadiyah semakin nyata terlihat.
“Pada masa kini, Nasyiatul Aisyiyah makin concern dalam meneguhkan gerakannya. Kami mengadakan Pashmina (Pelayanan Remaja Sehat Milik NA) sebagai gerakan dalam menjaga kesehatan fisik dan mental generasi muda yang kian apatis terhadap lingkungan dikarenakan sikap individual yang kian mencuat seiring terbaliknya kondisi semenjak adanya gadget, yaitu yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh. Kami juga mengawal masalah stunting (gizi buruk) agar menjadi masalah negara.”
“Di samping itu, kami telah mengembangkan NA hingga ke luar negeri. Insya Allah sebentar lagi akan ada PCNA Penang di Malaysia. Ini bukan PC Internasional. PCI adalah, jika yang menjadi anggotanya adalah orang Indonesia yang ada di luar negeri untuk atau bekerja. Jika anggotanya adalah warga setempat, maka disebut PC saja.”
Ade Kartini, MPdI, Sekretarus PWNA Jawa Barat juga menyebutkan, Nasyiah Jawa Barat telah mengusung beberapa program terkait perempuan yang harus melek perubahan. “Kami memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai sarana dakwah. Misalnya, kami membuat website pwnajabar.or.id yang murni dikelola oleh Nasyiah.”
Sebagai turunannya, setiap PDNA juga diharapkan memiliki website sendiri sebagai upaya menghidupkan literasi dan dakwah digital. (nu)