Sepeda kusam tua itu bertengger di sisi kiri panggung. Mungkin ada yang mengira, sepeda itu diperuntukkan untuk hadiah doorprize, layaknya di perhelatan rakyat. Pada bagian latar panggung, tertulis: pengajian isra’ mi’raj dan temu kangen Buya Ahmad Syafii Maarif dengan warga Muhammadiyah Baturetno, Wonogiri. Lengkap dengan foto Buya Syafii dan ustaz muda Tugiran Anafi yang didaulat memberi pengajian. Di depannya, dua kursi diarahkan menghadap ke muka khalayak yang memadati jejeran kursi di depan gedung SD Muhammadiyah Inovatif.
Sepeda yang telah dimakan usia itu bukan untuk doorprize. Benda ini menyimpan makna dan nilai sejarah, layaknya prasasti di museum. Sepeda ontel ini adalah peninggalan Buya Syafii Maarif setengah abad yang lalu. Tanpa sepengetahuan si empunya, sepeda ini disimpan oleh keluarga almarhum Pak Makrum. Takdir hidup pernah membawa Buya Syafii muda ke tempat ini, kisaran tahun 1958-1965. Manusia hidup dalam lingkaran takdir yang penuh misteri, kata Buya Syafii. Ada perihal yang bisa dikendalikan dan sepenuhnya dapat direngkuh. Sisi lain, ada banyak hal yang berada di luar lingkaran kendali kita. Tugas manusia adalah melaksanakan apa yang menjadi perannya, dan Tuhan menjalankan apa yang menjadi peran-Nya.
Eksistensi manusia berkelindan dengan kepastian akan datangnya kematian. Menurut filsuf Martin Heidegger, kematian bukanlah keberhentian untuk menjadi, namun merupakan sebuah cara untuk berada. Manusia (dasein) ada sebagai sesuatu yang pasti mati. Manusia ada, menuju pada kematian, sebagai fakta keterbatasannya. Berbeda dengan keberadaan benda-benda, manusia memiliki kemampuan untuk merefleksikan hidupnya sebelum datang kematian. Pertanyaan, “Apa yang perlu dia lakukan sebelum kematian terjadi?” menjadi pijakan awal dari upaya penemuan makna hidup.
Pemaknaan terhadap hidup inilah yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Orang-orang besar hidup dengan makna yang penuh seluruh. Hal itu yang saya lihat dari sosok Buya Syafii Maarif. Datang dari pelosok kampung di Sumatera Barat, lalu takdir membawanya ke Yogyakarta, ke Lombok Timur, Surakarta-Baturetno, Chicago, Kanada, Malaysia, dan seterusnya. Akumulasi pengalaman, pengetahuan, dan pertemanan, telah ikut membentuk kepribadiannya seperti yang dikenal hari ini. Baginya, hidup harus dijalani dengan optimisme dan penuh kegembiraan.
Hidup ibarat pengembaraan suci. Ketika menjejakkan kaki di bumi, maka saatnya mempersiapkan misi untuk kembali. Idealnya, destinasi manusia menuju kepulangan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, berguru pada segenap pengalaman dan semua musim kehidupan. Menjalani hidup harus dengan sepenuh jiwa. Buya Syafii Maarif, sering mengulang larik puisi Chairil Anwar dalam sajak “Diponegoro” tahun 1943: Sekali berarti |Sudah itu mati…. Sungguhpun dalam ajal baru tercapai | Jika hidup harus merasai.
Pesan ini diulang kembali dalam acara temu kangen dengan warga Muhammadiyah Baturetno, Wonogiri, pada Rabu, 3 April 2019. “Jangan asal hidup dan mampir di dunia. Harus berbuat sesuatu yang berarti!” Kalimat ini mengiringi apresiasi Buya Syafii pada dedikasi sahabatnya, Murdijo, di usia 83 tahun. Murdijo bertekad menghabiskan jatah umurnya di Baturetno, melakukan sesuatu yang bermakna. Murdijo merupakan karib Buya Syafii di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ketika masa pengabdian, Murdijo dibenum sebagai anak panah Muhammadiyah di Donggala dan Buya Syafii dikirim ke Lombok.
Sepulang pengabdian dari Lombok, Buya Syafii muda (23 tahun) mengembara ke Surakarta, mendaftar di Universitas Cokroaminoto. Menjalani peran sebagai mahasiswa yang harus membiayai kehidupannya sendiri. Musibah dan kehilangan orang terdekatnya datang bertubi. Sementara, kampungnya di Sumpur Kudus sedang dilanda hiruk pikuk pergolakan. Satu-satunya cara bertahan adalah dengan bekerja. Buya Syafii merasakan pekerjaan sebagai buruh, pelayan toko kain, kasir, dan guru. Cuplikan kisah ini diceritakan dalam perjalanan kami dari Yogyakarta ke Baturetno untuk menghadiri acara temu kangen ini.
Hampir setahun menjadi pekerja di toko kain bersama temannya dari Minang, alm Hawari. Sampai suatu hari, Buya Syafii ditemui oleh Mardijo, diajak ke Baturetno, kawasan dengan hamparan sawah dan pengunungan karst yang memanjakan mata. Di Baturetno, Buya Syafii mencoba peruntungan para leluhur Tanah Minang sebagai saudagar, berdagang kambing dan ayam kecil-kecilan, namun usaha ini justru merugi. Buya Syafii kemudian bekerja di warung tokoh Muhammadiyah Baturetno, Pak Markum, sembari mengajar di beberapa sekolah.
Buya Syafii mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. “Sekiranya punya ijazah negeri, mungkin saya akan menjadi guru tetap di sana,” kenangnya. Pada saat itu, Buya diminta menjadi guru di beberapa institusi pendidikan: Sekolah Teknik Pertama Negeri (STPN) maupun di sekolah Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kepala sekolah STPN, Pak Sujadi begitu mengangumi Buya Syafii yang dianggap sangat kompeten dalam Bahasa Inggris. Dengan bekal ini, sangat besar kemungkinan Buya akan menjadi pegawai negeri, berkeluarga, dan garis takdir tidak seperti hari ini.
Kekaguman Pak Sujadi bermula dari sebuah peristiwa sandiwara, membuat kami tergelak di sepanjang menyusuri hamparan indah di kiri-kanan jalan. Ketika itu, pemerintah sedang menggencarkan program indoktrinasi “Manifesto Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Ekonomi Terpimpin.” Sosialisasi slogan politik Presiden Soekarno ini suatu ketika dihadiri oleh Buya Syafii Maarif. Pembicara utama dalam hajatan tersebut adalah Pak Purwanto, dari Kantor Penerangan Kabupaten Wonogiri, yang tampil memukau dengan gaya pidato Soekarno.
Tiba di sesi tanya jawab, Buya Syafii muda mengacungkan tangan. Ingin bertanya dan membuktikan dirinya bukan sosok yang terlalu kampungan. Terselip dalam pernyataan Buya, antara lain sebuah istilah berbahasa Inggris, yang dikutip dari tulisan Abdullah Sjahrir di majalah Pandji Masyarakat. Ketika itu, Abdullah Sjahrir, Sidi Gazalba, Buya Hamka termasuk penulis idola Buya Syafii. Tulisan mereka kerap menyisipkan istilah yang memukau kalangan awam dengan akses bacaan yang terbatas. Dalam kesempatan itu, Buya Syafii menggunakan istilah sakti: scientific consideration. Pak Sujadi yang mendengar istilah gagah keluar dari seorang Buya Syafii pun terpesona, mengira Buya sangat menguasai Bahasa Inggris. Lantas, menawarinya menjadi guru tidak tetap.
Kami pun berimajinasi. Seandainya Buya Syafii menjadi guru tetap di sana, kemungkinan hanya menjadi tokoh lokal yang tidak kita kenal seperti hari ini. Mas Agus, mas Isngadi, mas Erik, dan saya yang berada di mobil, cukup leluasa mencandai masa silam Buya. Andai Buya Syafii jadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Wonogiri, suatu ketika seperti saat ini, kami mungkin sedang mendampingi Pak Muchlas Abror (sekretaris PP Muhammadiyah 1995-2000). Kemungkinan lainnya, suatu saat Buya Syafii datang ke kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta mengundang Pak Muchlas ke acara di Baturetno, dan karena PP Muhammadiyah sedang banyak agenda, ketua PDM pulang kembali dengan tangan hampa.
Buya Syafii ikut menikmati pengandaian yang tak ada ujungnya itu. Pernah Buya Syafii muda mengaku kagum dengan almarhum Cak Nur dan Amien Rais yang telah lebih dulu menjadi tokoh dan primadona para mahasiswa. Berselang tahun, takdir membawa Buya Syafii pada posisi itu. Rajutan proses panjang yang dilaluinya ini, membuat sosok Buya tetap rendah hati ketika di kemudian hari menjadi tokoh. Sehari-hari, di Suara Muhammadiyah, kami merasa akrab dengan dua sesepuh yang selalu rendah hati: Buya Syafii dan Pak Muchlas. Di usia senja, keduanya senantiasa memberi teladan dan kepercayaan pada generasi muda.
Sosok Buya Syafii, Muchlas Abror, Mardijo ini menganut prinsip yang sama. Mereka konsisten untuk terus bergerak mencari makna hidup, berbuat sesuatu pada kemanusiaan, dengan cara masing-masing. Salah satunya melalui Muhammadiyah, yang telah ikut membentuk mereka. Dalam bahasa Buya Syafii, “Mengurus Muhammadiyah itu melelahkan. Namun kalau niat ikhlas, itu akan membahagiakan. Niat mengabdi kepada Allah melalui Muhammadiyah. Membangun pusat-pusat kemanusiaan, harus dengan niat yang tulus.”
Dalam acara di Baturetno kali ini, beberapa murid Buya Syafii ikut hadir, antara lain Marhaban dan Tohari. Setelah puluhan tahun tidak bertemu, pertemuan ini terjadi dalam suasana haru. Para murid ini mungkin tidak pernah menyangka bahwa guru Bahasa Inggris mereka dulu di sekolah, kini telah menjadi guru bangsa. Inilah garis nasib. Banyak sahabat dan murid Buya lainnya di Baturetno yang telah lebih dulu berpulang ke sisi-Nya. (ribas)
Baca juga:
Kesederhanaan Buya Syafii; Makan di Angkringan, Naik Kereta, hingga Bersepeda