Oleh: Haedar Nashir
Peristiwa ini terjadi pada waktu pembagian ghonimah, harta rampasan perang. Seseorang meminta kepada Nabi. Setelah diberi, dia masih meminta lagi. Dia merasa tidak puas, hingga ingin diberi lebih banyak. Pada kasus sejenis, Nabi sempat didorong-dorong oleh seseorang yang tidak puas ketika diberi sesuatu.
Berkaitan dengan sikap tak puas diri tersebut, Nabi kemudian bersabda, yang artinya, “Seandainya anak keturunan Adam diberi satu lembah penuh dengan emas niscaya dia masih akan menginginkan yang kedua. Jika diberi lembah emas yang kedua maka dia menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan pernah menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.” (HR Bukhari dari Ibn Zubair).
Nabi dalam hadis lain lebih keras bersabda, “Tidaklah dua ekor srigala yang lapar dikirimkan pada seekor kambing itu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agamanya.” (HR. Al-Tirmidzi dari Ka’ab ibn Malik al-Anshari). Dalam hadis tersebut Nabi menyebut penyakit “hirshu al-mal” (rakus harta) dan “hirshu al-syarif” (rakus kedudukan).
Sikap tidak pernah puas dan selalu ingin mendapat lebih seperti dikisahkan dalam dua hadis Nabi itu disebut rakus atau tamak. Dalam bahasa Jawa ada istilah yang lebih tepat, yaitu kemaruk. Orang kemaruk itu dilukiskan seperti mereka yang yang baru sembuh dari sakit, kemudian pekerjaannya hanya makan banyak sekali. Ketika sakit sedikit atau tidak selera makan, maka setelah sembuh makan melebihi takaran baik volume maupun frekuensinya.
Orang kemaruk harta sudah banyak contoh sehari-hari, seperti perangai Qarun. Harta itu bawaannya memang tidak pernah puas. Termasuk uang. Semua ingin memperoleh yang banyak, setelah didapat ingin bertambah lagi, sampai tidak pernah puas. Sedikit saja berkurang gelisah. Karena rebutan waris, sesama saudara kandung tidak jarang putus hubungan. Demi harta orang tega membunuh. Itulah watak harta sebagai hiasan dunia.
Kedudukan atau posisi politik juga sama dengan harta, memiliki sifat tidak pernah memuaskan diri. Dalam dunia politik bahkan ada virus bernama ambisi. Ambisi itu bahkan seakan ditumbuhkan agar terus menyala dalam diri seseorang yang ingin sukses dalam karir politik. Agar kedudukan tertinggilah yang harus diraih, bila perlu dengan segala cara. Itu namanya kemaruk politik.
Harta, politik, dan apapun dalam dunia itu memang perlu atau penting. Manusia memerlukan urusan dunia seperti itu. Seorang sufi ternama, Jalaluddin Rumi, bahkan berkata, yang artinya “Bila orang-orang shaleh apatis diri, jangan salahkan kalau orang zalim yang berkuasa”. Sebuah pernyataan yang terbilang ekstrem dari sosok sufi yang memganjurkan hidup zuhud.
Namun bukan berarti setiap muslim harus kemaruk alias tamak atau rakus. Makan dan minum pun dilarang berlebihan, itulah beda seorang muslim dengan yang sekuler. Sikap syukur dan qana’ah juga penting. Jangan karena azas manfaat harta dan kuasa, kemudian menjadi rakus atau tamak. Karena kemaruk maka segala cara dilakukan, lalu jiwa syukur dan qana’ah pun hilang.
Orang kemaruk tahta sama dengan penyakit tamak harta. Setelah tidak memiliki kedudukan politik, tidak pernah qana’ah dan bersyukur. Segala ukuran kesuksesan takarannya hanya keberhasilan dalam dunia politik, yang lain dianggap nihil atau tidak ngaruh.
Orang kemaruk politik juga biasanya memiliki penyakit post-power syndrome. Dirinya merasa seperti masih bertahta, selalu merasa paling hebat dan digdaya. Merasa paling tahu segalanya, yang lain dianggap bodoh. Mereka yang tidak berpolitik pun dan bergerak di bidang yang lain, dianggap seperti pandir. Hanya kedudukan politik yang hebat dan menentukan, yang lainnya minus.
Seperti pemyakit orang tamak, sombong, rakus, atau kemaruk pada umumnya, mereka memiliki watak yang sama sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi: bathara al-haq wa ghamtu al-nas, gemar menyalahkan dan merendahkan orang lain!