Kelesuan Ghirah?

Kelesuan Ghirah?

Foto Milad 1 Abad Muhammadiyah

Oleh: Alamul Huda*

Suatu kali kami kedatangan jamaah di masjid. Dia minta dikirim khatib Muhammadiyah bergiliran. Pasalnya, tidak mudah cari mubaligh di tempatnya. Ada satu dua tapi sangat tidak cukup. Sampai pernah seorang remaja SMP menjadi khatib dadakan, karena tidak ada yang bisa. Sang tamu juga minta kalau ada hewan kurban dikirim ke daerahnya. Di kampungya sedikit sekali orang mampu berkurban. Padahal desa itu berada di wilayah Muhammadiyah yang kuat.

Dua permintaan itu kami sanggupi. Untuk hewan kurban alhamdulillah rutin. Tapi untuk khatib dan mubaligh rasanya tidak mudah, hanya sekali dua kali. Selebihnya tidak terpenuhi karena agak jauh. Kami hubungkan ke Cabang terdekat dan ke Pimpinan Muhammadiyah Daerah-nya. Tidak tahu apakah ditindaklanjuti atau tidak. Entah. Semoga tercukupi.

Lain kali kami memghadiri acara  Muhammadiyah. Satu dua utusan bercerita tanah wakaf di daerahnya tidak dapat dimanfaatkan. Sebagian mau ditarik lagi oleh wakif atau pemberi wakaf. Daerah tidak sanggup membangun. Hanya sekadar membangun masjid sederhana atau Taman Kanak-Kanak seadanya. Wakif  hanya ingin melihat tanah jariyahnya dimanfaatkan. Tidak peduli dibangun semampunya, yang penting ada tanda-tanda dan itikad membangun.

Tapi Pimpinan Daerah dan Cabang merasa tidak sanggup untuk membangun. Meskipun kalau mau iuran rasanya bisa. Kata pepatah sedikti-sedikit lama-lama menjadi bukit. Sebagian pengurus Daerah menyampaikan usulan agar  kesulitan  tersebut diusulkan saja ke Pusat. Tentu akan dicukupi dananya oleh Pusat. Urusan sepertinya amat gampang. Kenapa harus ke Pusat?

Apakah Wilayah dan Daerah tidak sanggup untuk mencukupi keperluan membangun hanya sebuah TK ABA atau masjid alakadarnya. Kalaulah betul mereka tak mampu, rasanya memprihatinkan. Bagaimana mungkin organisasi pergerakan Muhammadiyah yang besar mengalami kelesuan semangat membangun secara swadaya? Padahal dulu di masa sulit konon Muhammadiyah bisa maju dan menyebar ke seluruh tanah air. Apakah Cabang dan Daerah itu betul-betul tidak mampu. Atau kehilangan ghirah pergerakan. Ghirah menurut Buya Hamka ialah rasa cemburu yang melahirkan gerak untuk berbuat sesuatu. Wallahu ‘alam.

Sebenarnya daerah-daerah itu jika bangkit bersama mungkin sekali mampu. Syaratnya ada kemauan yang kuat. Coba kalau mereka mau iuran, lama kelamaan bangunan akan jadi. Bukankah dulu banyak sekolah dan amal usaha dibangun di daerah ternyata berhasil. Jika semangat membangun dan berkorban dari setiap anggota dan pimpinan tinggi, maka tidak ada yang tidak mungkin. Lihat masjid-masjid yang dibangun oleh pihak lian hanya melalui permintaan sumbangan di pinggir jalan, akhirnya berbuah masjid nan megah.

Warga dan pimpinan Muhammadiyah kehilangan semangat pergerakan? Saya meragukannya. Mungkin mereka malah kelebihan energi. Coba simak akhir-akhir ini, warga dan aktivis persyarikatan  bersemangat dalam urusan politik. Menghadiri acara yang terkait politik di tahun 2019 luar biasa. Mereka yang sudah usia lanjut saja masih ikut hadir dalam acara politik dan bersemangat memberi sokongan. Almarhum Kyai Dahlan sang pendiri Muhammadiyah  pun dibawa-serta namanya untuk dukung mendukung politik.

Politik tampak menggairahkan elite dan warga Muhammadiyah. Di daerah dan wilayah sangat antusias berpolitik. Tiada saat tanpa bicara politik. Sebagian mereka berangkat ke Jakarta untuk menghadiri acara penggalangan. Mungkin dengan dana sendiri atau organisasi. Kalau kedatangan tokoh-tokoh dari pusat, mereka selalu tanya soal politik. Bila  dibaca WA-Wa grup di lingkungan Muhammadiyah rancak sekali membahas politik. Malah sering saling bersitegang sesama kader. Di acara-acara resmi Muhammadiyah bergairah sekali kalau  berfoto  mengangkat jari tangan simbol mendukung pasangan calon idamannya, melebihi para aktivis parpol pendukung. Luar biasa!

Apakah kegiatan dakwah Muhammadiyah lebih begairah? Bagaimana dengan kabar dakwah Muhammadiyah di daerah-daerah pelosok dan lingkungan sosial baru meluas? Apakah majelis-majelis taklim di kota-kota dan pedesaan dibimbing oleh para mubaligh Muhammadiyah dan Aisyiyah? Apakah generasi milenial yang haus agama terayomi Muhammadiyah? Kegiatan-kegiatan pembinaan keislaman di berbagai lapisan masyarakat mnjadi kahan garap tabligh Muhammadiyah? Mudah-mudahan semuanya tergarap dan menjadi perhatian gerakan dakwah Muhammadiyah, bukan digarap pihak lain.

Konsep dakwah komunitas hasil Muktamar Makassar sangatlah bagus. Konsep-konsep keluaran Muhammadiyah semuanya cemerlang. Tapi apakah dilaksanakan di daerah-daerah? Para mubaligh Muhammadiyah perhatiannya ke mana, apakah betul-betul memikirkan dan mengusahakan dakwah ke masyarakat. Harapan umat tentu saja agar dakwah dan tabligh organisasi Islam ini semakin bergairah. Seperti kegairahan mendukung pasangan calon idola di tahun politik 2019.

Kalau mau menengok ke dalam dapur Muhammadiyah sendiri, semua patut waspada. Beberapa survei menunjukkan afiliasi umat terhadap Muhammadiyah dan NU cenderung menurun. Lahan dakwah di kantong-kantong sosial yang baru lebih banyak digarap gerakan Islam lain yang tampak lincah dan militan. Cabang dan Ranting di sejumlah daerah dan wilayah kabarnya kurang aktif. Tidak sedikit yang kembang-kempis. Amal usaha mulai tersalip oleh pihak lain. Adakah semua masalah persyarikatan tersebut dipikirkan oleh para kader dan pimpinan Muhammadiyah?

Mudah-mudahan gejala kelesuan ghirah gerakan itu hanya di daerah kami. Tidak meluas di wilayah lain. Kalaulah hal yang memprihatinkan itu menjadi pemandangan umum, tentu beratlah beban organisasi dakwah Islam ini. Ini menyangkut nasib persyarikatan yang terbilang serius. Para kader dan pimpinan Muhammadiyah dari pusat  sampai bawah harus memikirkan dengan sebaik-baiknya. Saat ini banyak organisasi lain makin maju. Ormas-ormas  pendatang baru sangatlah gesit. Usaha-usaha mereka di bidang dakwah, pendidikan, dan lainnya  juga berkualitas. Jadi, tantangan Muhammadiyah sangatlah berat!

*Aktivis Literasi Muhammadiyah

Exit mobile version