KUALA LUMPUR, Suara Muhammadiyah – Islamic Renaissance Front bekerja sama dengan Suara Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), dan Academic Staff Association International Islamic University of Malaysia menggelar “Seminar Pemikiran Buya Hamka” di Ibnu Taymiyyah Conference Room, Kulliyyah of Economics and Management Sciences International Islamic University of Malaysia, Sabtu (13/4).
Dalam acara ini, beberapa ulama dari lingkaran Muhammadiyah menyampaikan materi perihal Buya Hamka, di antaranya adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Yunahar Ilyas, Direktur Islamic Renaissance Front, sebuah organisasi Islam Malaysia Dr Ahmad Farouk Musa, mantan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000–2005 Prof Dr M Amin Abdullah , dan mubaligh Muhammadiyah sekaligus putra Buya Hamka Drs Afif Hamka.
Dalam kesempatan ini, diluncurkan juga buku Ensiklopedia Buya Hamka yang disusun oleh tim penulis Pusat Studi Buya Hamka dan diterbitkan atas kerja sama Pusat Studi Buya Hamka dan Suara Muhammadiyah.
Acara dibuka oleh sambutan dari Dekan Kulliyyah of Economics and Management Sciences International Islamic University of Malaysia (IIUM) Prof Hassanuddeen Abdul Aziz. Menurutnya Hamka masih amat sangat relevan diperbincangkan sekarang, dan isu Kaum Muda dan Kaum Tua masih terus ada di Dunia Melayu hingga sekarang, termasuk juga ektremisme Islam dan Islamofobia. Pemikiran Hamka punya andil besar dalam menyatukan umat umat manusia, bukan hanya Muslim saja, melainkan juga non-Muslim melalui karya-karyanya, termasuk yang kemudian diadaptasi menjadi berbagai produk populer.
Dalam sesi pertama, Prof Yunahar Ilyas kembali menegaskan bahwa Buya Hamka adalah sosok ulama otodidak. Masa kecil Hamka sempat diwarnai oleh situasi yang cukup sulit akibat poligami yang diamalkan oleh ayahnya, dan tak jarang ia membangkang dalam urusan sekolah. Akibat masa kecilnya yang cukup sulit, ia pun menjadi ulama yang tegas menolak poligami, meski tidak melarangnya, demikian tandas Yunahar. Ia sempat “melarikan diri” ke Jawa, hingga akhirnya berkenalan dengan Muhammadiyah dan bergiat di sana yang kala itu menghadapi tantangan dari misi dan zending serta dominasi abangan.
Setelah kembali dari merantau di Medan dan Mekkah, ia kembali ke kampung halaman, dan kala itu ilmunya pun sudah diakui oleh ayahnya, Haji Rasul, seorang ulama Kaum Muda yang paling berpengaruh. Lanjutnya, tak hanya sebagai ulama, Hamka juga memiliki perhatian besar pada dan menghasilkan banyak karya bertema sejarah, sastra, tasawuf, dan filsafat. Sebagai pribadi yang amat menghargai perempuan, Yunahar menjelaskan bahwa, perihal dalam kepemimpinan keluarga, Hamka menganggap bahwa laki-laki memang ditakdirkan menjadi pemimpin yang pondasinya adalah musyawarah. Pun demikian, kepemimpiman itu tentu saja harus diikuti dengan kecakapan, sebab tanpa kecakapan itu, status kepemimpinan tentu dapat digugat.
Masih di sesi pertama, giliran Dr Farouk Musa mengemukakan pandangannya bahwa situasi yang terjadi di zaman Buya Hamka, yakni di masa pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda kini masih hidup di Malaysia. Penolakan Pangeran Johor terhadap pendirian universitas Muhammadiyah di Malaysia sebetulnya adalah penjelmaan dari pertentangan konservativisme Islam terhadap progresivisme Islam Muhammadiyah, persyarikatan yang lagi-lagi oleh Johor disebut sebagai Wahhabi.
Menurut Farouk, kisah demikian memiliki sejarah yang cukup panjang, lantaran pada medio abad XX Mufti Johor pernah menuduh Muhammadiyah—yang disamakannya dengan Kaum Muda—telah merusak kaidah Islam, menyebabkan murtadnya 10 juta Muslim Indonesia, membuat 30 juta orang Indoensia menjadi komunis, menerima fatwa Ahmadiyah Qadiyan, dan serbarupa kengerian akidah lainnya. Tuduhan demikian kemudian, tuturnya, dengan elegan dibalas oleh Buya Hamka melalui buku Teguran Suci & Jujur Terhadap Mufti Johor. Bagi Dr Farouk, hal seperti itu sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan, karena masing-masing beramal sesuai dengan apa yang mereka yakini asalkan bebas dari syirik, dan pada akhirnya amal itu akan dipertanggungjawabkan langsung kepada Allah, bukan kepada otoritas beragama, termasuk mufti ataupun sultan.
Dalam sesi kedua, Prof Amin Abdullah menyampaikan bahwa sebetulnya Hamka menulis karya-karyanya saat situasi politik sedang sulit, kehidupan sosial masih diselimuti oleh feudalisme, dan kehidupan Islam masih terjebak dalam tradisionalisme. Tentu saja karyanya tetap relevan untuk dibaca dan dikaji karena pemikiran Buya Hamka, yang tertuang dalam karya-karyanya, menghembuskan nafas toleransi, moderasi, inklusivitas, dan positive thinking dalam menghadapi situasi dewasa ini yang tak jarang diwarnai oleh irasionalitas dan perselisihan sektarian. Menurut Amin Abdullah, hal itu dipengaruhi oleh luasnya bacaan dan wawasan Buya Hamka, kayanya pengalaman, serta panjangnya perjalanannya, sehingga ia menjadi insan yang kosmopolitan dan tidak mudah menyudutkan atau mengkafir-kafirkan pihak lain dan berbeda atau berseberangan dengannya.
Tak habis di situ, lanjutnya sembari menegaskan komentar Yunahar Ilyas, Buya Hamka merupakan ulama yang sebetulnya melampaui zamannya, karenanya ia pantas disebut sebagai Male feminist yang par excellence. Selain itu, ajaran tasawuf dan filsafat Hamka—yang dipandang Amin Abdullah sebagai higher level of thinking—sebetulnya amat aplikatif bagi masyarakat modern, sebab di era disruptif dan penuh irasionalitas ini, keperluan khalayak untuk membersihkan jiwa dan hati tentu semakin tinggi.
“Wa’ang mau ke mana? Mau bertemu kekasih ya? Bertemu kekasih tentu kondisinya harus prima” demikian yang diingatkan Hamka kepada putranya, Afif Hamka, seorang mubaligh sekaligus putra kesembilan Buya Hamka. Hamka tak pernah alpa mengingatkannya bahwa Allah adalah sang Maha Kekasih, sehingga dalam berhubungan dengan-Nya, orang harus prima dan tulus-ikhlas iman, niat, dan penampilan. Itulah mengapa Hamka senantiasa ikhlas berjuang demi umat, sehingga menginspirasi berdirinya berbagai sekolah dan aktivisme Islam.
Menceritakan pengalamannya, meski ia kondang dikenal sebagai ulama Muhammadiyah, Buya Hamka selalu menghargai pendapat dan permintaan jamaahnya, termasuk dalam perkara jumlah rakaat shalat tarawih. Buya Hamka bukan hanya ayah, melainkan juga guru, pendidik, imam, teman bergaul dan berdiskusi, kenangnya. Begitu tulusnya Hamka, meski sempat bersahabat erat dengan Sukarno hingga akhirnya dipenjara atas fitnah makar yang berimbas pada sulitnya kehidupan keluarganya, Hamka tetap ikhlas untuk memenuhi wasiat Sukarno dengan mengimami shalat jenazahnya, lanjutnya. Kenyataan itu, menurutnya, merupakan bukti bahwa Hamka benar-benar menghayati tasawuf dan mengamalkannya dalam kehidupannya. (Dit)