Oleh: Benni Setiawan
“Apakah shalat tarawihnya mau ditambah sampai 20 rakaat,” tanya Pak AR saat memimpin shalat Tarawih di Palembang, Sumatera Selatan. Tanpa dikomando, jamaah langsung menjawab, “Cukup delapan rakaat saja.” Padahal mereka sudah terbiasa shalat 20 rakaat plus tiga shalat witir. Saat itu, Pak AR membaca surat-surat pilihan yang cukup panjang, sehingga delapan rakaat serasa 20 rakaat.
Inilah “kehebatan” komunikasi Pak AR Fachruddin. Pak AR mampu memahami bahasa kaum dengan jernih. Ia dengan tangkas mengelola potensi dan harapan kaum menjadi sebuah tindakan yang memberi solusi. Kemampuan komunikasi itu tentu perlu dilatih. Pak AR melatihnya dengan belajar, belajar, dan belajar.
Membaca
Pak AR adalah sang pembelajar. Ia hanya lulusan setara Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun ilmunya linuwih—meminjam bahasa Jawa. Keunggulan dan kedalaman ilmu Pak AR beliau dapatkan dari membaca. Buku yang dibaca Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama ini multidisiplin. Pak AR tidak hanya membaca buku-buku agama, kitab kuning, tafsir, dan seterusnya. Namun, beliau juga membaca buku sosial politik, budaya, dan ekonomi.
Uniknya, setiap buku yang beliau beli selalu ada catatan kecil di halaman depan. Beliau membubuhkan catatan peristiwa yang menggiringi buku itu terbeli. Bahkan, beliau mencatat dari mana asal uang untuk membeli buku tersebut di pojok kanan atas. Tak lupa, Pak AR juga membubuhkan tanggal, bulan, dan tahun dalam setiap buku yang ia beli. Jika buku itu pemberian dari jamaah dan atau warga Muhammadiyah, ia pun mencatat nama sang pemberi.
Beliau pun memberi catatan dari setiap halaman yang penting. Catatan reflektif itu tidak hanya mengomentari isi buku atau gagasan penulis. Namun, Pak AR juga memberi catatan kritis terkait apa yang ditulis dan dihubungkan dengan bukubuku lain yang pernah beliau baca. Ketidaksetujuan dan kesetujuan beliau terhadap sebuah gagasan dicatat dengan rapi di samping paragraf. Maka tak jarang jika hampir semua buku Pak AR “kotor.” Artinya, Pak AR benar-benar mengkhatamkan buku yang ia baca. Pak AR pun mencoba memberi narasi terhadap setiap paragraf yang tertuang di dalam buku.
Saat seseorang yang sangat dihormati Presiden Soeharto pada masanya itu harus terhenti sebelum rampung membaca, ia membubuhkan catatan di halaman akhir dengan memberi tanggal dan paraf. Beliau kemudian menuliskan alasan mengapa berhenti membaca.
Catatan Pinggir
Catatan pinggir Pak AR itu menunjukkan betapa beliau adalah kutu buku. Beliau tidak sekadar meremah setiap gagasan dari penulis, namun memberikan sikap terhadap apa yang ia baca. Misalnya, buku HM Rasyidi, Islam dan Komunisme. Pak AR memberi catatan kritis terhadap ayat-ayat yang dikutip oleh Rasyidi. Beliau pun memberi komentar bahwa ada beberapa ayat yang tidak pas jika digunakan dalam menganggit sebuah gagasan hubungan antara Islam dan komunisme. Demikian pula dengan buku Api Islam, karya Sidi Gazalba, tak luput dari catatan kritis dan reflektif dari Pak AR.
Apa yang dilakukan oleh Pak AR ini seakan mirip dengan cara membaca ala Mircia Eliade (1921-1986), filosof berkebangsaan Rumania. Ia membaca buku sembari memberi catatan-catatan reflektif di dalam buku. Maka, saat rumahnya terbakar dan semua bukunya hangus, ia sangat sedih. Kesedihan Eliade bukan saja pada buku yang terbakar, namun pada catatan-catatan kecil di dalam buku yang ia tulis dengan hati dan pemikiran kritis terhadap catatan orang lain.
Kepekaan
Kembali pada kisah Pak AR, ketekunan beliau dalam membaca menjadikannya sosok yang sangat disegani. Setiap tutur katanya seperti “mantra” yang mampu menyihir, melunakkan hati seseorang. Bahkan, Presiden Soeharto, yang bagi sebagian orang sangat keras, luluh dengan tutur kata Pak AR.
Pak AR mampu menjadi pemimpin yang terus menginspirasi. Guyonan beliau sangat filosofis. Misalnya, catatan beliau terkait kedatangan Paus. Pak AR menulis, “Sugeng Rawuh, Sugeng Kondhur” (Selamat Datang, Selamat Pulang). Catatan itu sangat khas. Pasalnya, Pak AR mampu menangkap keresahan warga Kauman Yogyakarta yang kala itu menolak kedatangan Paus. Bagi orang Kauman itu apa yang diutarakan Pak AR adalah kedatangan Paus ya biasa saja, silahkan datang, dan silahkan pulang. Namun, Pak AR mendapat pujian karena beliau sangat bijaksana dalam memandang kehadiran seorang tamu.
Kepekaan Pak AR ini tentu tak lepas dari apa yang ia baca. Bacaan sangat memengaruhi pribadi seseorang. Buku yang dibaca akan memantulkan cara pandang dan sikap diri seseorang.
Kebiasaan membaca dan berpikir kritis ini perlu ditiru oleh kader. Kader tanpa membaca akan sulit membaca peta zaman yang terus bergerak cepat. Membaca banyak buku tanpa membatasi buku ini dan itu akan mengkayakan ragam dan cara berpikir seorang kader.
Gerakan literasi kader perlu disemai dengan spirit berpikir kritis ala Pak AR. Seorang kader tidak perlu harus latah dengan apa yang ia baca. Namun, perlu “menyesuaikan” dan memberi warna corak dalam setiap refleksi diri. Saat kader mampu seperti itu, maka, keberagamaan akan sehat.
Pak AR telah mengajarkan dengan keteladanan kepada kader Persyarikatan Muhammadiyah untuk menjadi kutu buku. Membaca buku tidak sekadar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mampu menangkap keinginan dan harapan umat.
Benni Setiawan, Anggota Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah
—
Tulisan ini telah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017