Syahdan, tidak ada peradaban dan sejarah umat manusia yang kalis dari ilmu. Ilmu menjadi faktor determinan dan candra utama yang memetakan kehidupan, termasuk di dalamnya terjadi diferensiasi status dan stratifikasi kelas yang artifisial itu. Bertemali dengan hal ini cendekiawan asketik dan sejarawan prolifik Kuntowijoyo (Allahuyarham) membagi perkembangan kesadaran manusia itu ke dalam tiga fase: mitos, ideologi, dan ilmu. Kendati tahap pertama dan kedua masih dijumpai dalam realitas kehidupan masyarakat di pelbagai tempat, namun jenjang ketiga itulah—periode ilmu—yang menjadi titik temu dan simpul dialogis yang mendewasakan dan mematangkan kehidupan ke tangga yang lebih utama.
Begitulah ilmu sesungguhnya tidak berdiri sendiri, apalagi disebut netral dengan adagium “ilmu untuk ilmu” (science for science). Ada pertautan yang kuat antara ilmu dengan hal-hal yang bernama nilai, mutu, dan etika sebagai watak aksiologis ilmu—di samping ciri ontologis dan epistemologisnya. Pertalian ini juga sekaligus menyiratkan posisi ilmu dalam diri manusia sebagai individu dan fungsi ilmu dalam dinamika sosial umat manusia; serta ada keniscayaan etis bagi orang– orang yang berilmu dalam laku pribadi dan laku sosial.
Ilmu bukan sekedar sebutan tentang tahu dan pengetahun semata. Hakikatnya ilmu merujuk pada pemahaman dan perolehan informasi tentang sesuatu dari semula tertutup, tersamar, dan belum tergali kemudian menjadi terungkap, terindera, dan terartikulasikan kepada khalayak. Inilah antara lain yang kerap disebutkan dalam ungkapan “al-`ilm(u) huwa al-fahm(u) wa al-idrak(u).”
Tentang ilmu, Kitab Suci menginformasikannya dalam berbagai surat dan ratusan ayat. Hebatnya lagi, konsep dan kunci hidup manusia ini termaktub dalam Al-Qur’an secara utuh sebagai kata kerja, kata benda, dan juga penanda subjek. Hal ini menyiratkan dan sekaligus menandaskan betapa ilmu itu sangat penting bagi manusia dan menjadi komponen strategis untuk membangun tatanan kehidupan yang visioner dan beradab. Dus, sekali lagi, ilmu berada dalam centrum kehidupan manusia untuk menyejarah dan men-zaman.
Di antara topik perbincangan tentang ilmu adalah kaitannya dengan laku. Galibnya, orang memandang konsep laku dalam konteks kehidupan yang bertalian dengan sikap dan tindakan yang menjadi pandangan hidup untuk selalu berbuat berdasarkan ilmu atau pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, ilmu yang dimiliki harus bisa diamalkan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang lazim dikenal dengan sebutan `ilmu amaliy. Meskipun disadari bahwa secara garis besar ilmu ada juga yang bersifat nadhariy, yakni kategori ilmu yang berada di ranah teoritis untuk pengayaan dan pemuliaan ilmu yang juga menjadi bagian dari minat kemanusian para pemikir dan pembelajar.
Pertautan antara ilmu dan laku itu menandakan adanya semacam etika keilmuan atau adab berilmu yang mesti ditampilkan dalam perilaku dan kehidupan seharihari orang tersebut. Memang tidak mudah untuk laku semacam ini karena seringkali ditemukan kesenjangan dan ketidaksepadanan antara ilmu yang dimiiki dengan perilaku sehari-hari. Dengan kata lain, sering disebut ilmunya itu tidak kentara dalam laku atau belum menjadi bagian dari dan menyatu dalam lakunya. Aksioma ini sebetulnya derivasi dari keinsyafan mengenai keterbatasan ilmu manusia dan ketakterbatasan ilmu Sang Mahaberilmu.
Dalam kenyataannya sering dijumpai orang-orang yang lupa atau belum sadar dengan tali-temali ilmu dengan laku ini, sehingga terlihatlah sikap dan pandangan yang arogan dengan opininya atau gelar akademiknya, merasa paling pintar dan berilmu. Akibatnya, bukan saja kepongahan orang yang merasa berilmu dan pamer gelar yang ditonjolkan tapi juga lupa diri dengan relativitas ilmu manusia. Meremehkan orang lain dan minim apresiasi terhadap karya dan jasa orang lain juga menjadi karakter dari orang-orang yang tenggelam dalam lautan ilmunya sendiri itu hingga lupa daratan yang menjadi batas horizonnya. Karena itulah Al-Qur’an (12: 76) mengingatkan kita semua: wa fauqa kulli dzi `ilmin `alimun, di atas orang yang mempunyai ilmu ada Dzat nan Mahaberilmu. Demikianlah keniscayaan ilmu dan laku itu; ilmu amaliah dan amal ilmiah. (Asep P Bahtiar)
—
Tulisan ini telah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017