Menyikap Hoax (Isya’ah)

Menyikap Hoax (Isya'ah)

Ilustrasi kaca pembesar

Oleh : Mukhlis Rahmanto

Di era media online yang beritanya menjamur, masyarakat yang budaya literasinya rendah tampak gagap dan tergopoh-gopoh menghadapinya. Parahnya, saat ini berita hoax kian menyebar tanpa filter. Berita hoax adalah pemberitaan palsu yang ditujukan untuk menipu atau mengakali pembaca dan pendengarnya untuk mempercayai sesuatu. Fakta melimpahnya “lautan informasi” adalah siklus sejarah kehidupan yang terus berulang dan direkam Al-Qur’an dan Hadits. Satu contoh, klarifikasi (tabayyun) yang dilakukan oleh Sulaiman tentang berita yang dibawa ajudannya, burung Hud-hud, telah menyelamatkan negeri dan rakyat Saba’ dari serangan pasukannya (Qs Al-Naml: 22-27).

Banyak riwayat mengisahkan informasi yang salah dan tidak terlebih dulu dicek, di antaranya:

Dari Abu Zhabyan al-Janbi,  didatangkan kepada  Umar bin al-Khatab ra seorang wanita yang berbuat zina. Umar memutuskan dan memerintahkan orang-orang untuk merajamnya. Wanita itu lalu dibawa melewati [Ali bin Abu Thalib ra], ia bertanya, “Ada apa dengan wanita ini?” Orang-orang (tim eksekusi) menjawab, “Wanita ini telah berzina dan Umar memerintahkan untuk merajamnya” Ali lalu berpaling dari tim eksekusi dan menolak tindakan rajam tersebut. Tim eksekusi pun kembali, lalu Umar bertanya: “Kenapa kalian kembali?” Jawab mereka: “Ali tidak menyetujui tindakan rajam ini”. Umar berkata: “Tentu Ali mempunyai alasan tersendiri”. Umar lalu mengirim utusan pada Ali, dan Ali mendatangi Umar dengan muka agak marah, Umar berkata: “Kenapa engkau menolak tim eksekusi?” Jawab Ali: “Aku mendengar Nabi saw bersabda: “Pena pencatat dosa  diangkat dari tiga hal: orang tertidur hingga ia bangun; anak kecil hingga dewasa; orang gila hingga ia sadar-waras”. Umar menjawab: “Ya”. Ali berkata: “Wanita gila ini dari suku-kabilah Fulan. Mungkin saja perzinaan itu terjadi saat gilanya kambuh.” Jawab Umar , “Aku tidak tahu.” Ali menimpali, “Aku juga tidak tahu”. Umar lalu tidak jadi merajamnya.” (HR Ahmad)

Ada beberapa peristiwa di masa Nabi saw, berupa dampak negatif dari berita yang tidak ditabayyun. Pertama, sewaktu umat Islam hijrah pertama kali dan tiba di Habsyah-Ethiopia, beredar kabar hoax (isya’ah) dari seorang munafik, bahwa kaum kafir di Makkah kebanyakan masuk Islam. Rombongan umat Islam di Habsyah pun termakan berita itu, lalu memutuskan kembali ke Makkah, dengan harapan Makkah damai dan ramah untuk mereka. Setibanya di Makkah, berita tersebut tidaklah benar dan mereka malah disiksa kaum kafir. Kedua, di tengah perang Uhud, beredar desas-desus bahwa Nabi saw meninggal, lalu pecahlah pasukan Muslim. Ada yang pergi melarikan diri ke berbagai arah, kocar-kacir. Namun, sebagian yang tidak mempercayai berita itu, meneruskan niat perjuangan Nabi saw. Padahal yang meninggal adalah Mush’ab bin Umair ra.

Ketiga, peristiwa terbesar dan direspon Al-Qur’an, dalam hal ini adalah haditsul-ifki, yaitu kabar bohong yang menimpa istri Nabi saw, Aisyah ra. Ia dituduh melakukan tindakan yang tidak senonoh dikarenakan saat tertinggal dari rombongan perang yang kembali pulang ke Madinah. Ia pulang bersama sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’athal ra. Kisahnya, ketika dalam perjalanan pulang, rombongan berhenti di suatu tempat, di mana Aisyah sempat menjauh dari rombongan untuk buang hajat, dan melanjutkan perjalanan yang tanpa sadar telah meninggalkan Aisyah. Shafwan yang berjalan paling belakang dari rombongan menemukan Aisyah yang saat itu tertidur. Dia pun mengenali Aisyah yang nampak seperti bayangan hitam pada malam hari. Dia mendekati Aisyah dan kaget yang ada di depannya adalah istri Nabi saw. Dia berucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kalimat istirja’). Shafwan lalu meminta Aisyah menaiki kendaraannya tanpa ada sepatah kata pun keluar di antara keduanya. Setibanya di Madinah, menyebarlah fitnah bahwa istri Nabi telah melakukan perbuatan tidak senonoh. Nabi saw pun ikut termakan berita tersebut. Aisyah pun harus berpisah sebentar dengan Nabi dan tinggal di rumah orang tuanya. Kemudian turunlah  wahyu surat Al-Nur: 11 yang mengklarifikasi dan sebagai pembebasan untuk Aisyah dari fitnah tersebut.

Nabi saw dalam berbagai riwayat menekankan agar Muslim cerdas dalam menyikapi informasi. Beberapa tuntunan praktis (fikih informasi) yang dapat dilakukan dalam hal ini antara lain: a) Menggali dan meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana mencari, menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi yang baik dan benar sesuai nilai-ajaran Islam; b) Melakukan penilaian awal suatu informasi dan mengolahnya, apakah terindikasi berisi pesan kebaikan amar ma’ruf nahi munkar. Informasi tidak boleh berisikan gosip (ghibah), berita palsu (hoax), fitnah-tuduhan, ujaran kebencian, hingga mengumbar aurat (pornografi), dan hal lain yang dilarang Islam; c) Memiliki dan menyimpan hingga menyebar-sampaikan informasi yang baik sesuai dengan nilai-ajaran Islam.

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Jauhilah prasangka, karena berprasangka adalah pembicaraan paling dusta. Janganlah saling mencari kesalahan, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi dan saling membenci. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhari)

Abu Abdillah yaitu Hudzaifah bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “Apa yang pernah kau dengar dari Rasulullah tentang “katanya”?” Ibnu Mas’ud berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sejelekjelek kendaraan yang ditunggangi seseorang adalah “katanya, katanya (ini, itu). (HR Abu Dawud)

Nabi saw bersabda, “Kebohongan terberat ialah apabila seseorang mengaku kedua matanya melihat sesuatu di dalam tidur, padahal ia tidak melihatnya,” (HR. Al-Bukhari).

Mukhlis Rahmanto, Dosen Ekonomi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Tulisan ini telah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2017

Exit mobile version