Dinamika Islam di Siam Selatan

Dinamika Islam di Siam Selatan

Penulis bersama rombongan berpose di depan kampus Prince of Songkhla University, Thailand. Sumber (Dok Alviana Nabilah)

Oleh: Pradana Boy ZTF

Di beberapa negara Asia Tenggara, Islam merupakan agama minoritas. Beberapa di antaranya adalah di negara-negara kawasan Sungai Mekong: Thailand, Laos, dan Kamboja. Sementara, Buddhisme adalah agama yang memiliki penganut paling banyak. Meskipun minoritas, penting untuk menengok dinamika Islam di sana, termasuk Thailand. Di Thailand, Islam berkembang di beberapa provinsi di kawasan selatan atau wilayah Pattani Raya, yang dahulu menjadi wilayah Kesultanan Fatoni Darussalam: Provinsi Satun, Narathiwat, dan Yala. Islam juga bisa ditemukan di Provinsi Songkla.

Menurut sebuah versi, total jumlah penduduk Muslim sekitar 5-6 persen dari seluruh penduduk Thailand. Dari jumlah ini, menurut Murray Hunter, 18 persen tinggal di wilayah selatan. Dan menurut sejumlah literatur, meskipun minoritas, pelanpelan keberadaan Muslim di Thailand mengalami peningkatan, baik dalam konteks integrasi sosial maupun peran politik dan ekonomi.

Pada masa-masa terdahulu, Muslim di Thailand lebih banyak dikenal dengan sebutan khaek (orang asing). Bahkan terdapat pula sebutan khaek berkulit hitam. Sebutan yang menunjukkan betapa keberadaan Muslim di Thailand sering dianggap sebagai sumber masalah. Belakangan, terdapat perkembangan cukup baik. Seperti dicatat Aphornsuvarn, sebutan khaek perlahan mulai berkurang. Kini, kaum terdidik sering menyebutnya Thai Islam atau Thai Muslim. Sementara secara politik dan ekonomi, makin banyak figur Muslim Thailand yang menduduki posisi strategis di tingkat negara. Surin Pitsuwan, misalnya, seorang Muslim yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal ASEAN.

Secara umum, Muslim di wilayah Thailand Selatan didominasi oleh komunitas Muslim Melayu. Melayu di sini tidak berarti Malaysia, tetapi lebih luas lagi: penduduk Muslim Thailand juga berasal dari Jawa dan Aceh. Oleh karenanya, meskipun bahasa yang digunakan adalah Melayu, tetapi agak berbeda dari bahasa Melayu pada umumnya. Bahasa ini kemudian dikenal dengan bahasa Melayu Pattani.

Selain Thailand Selatan, di Thailand Utara juga terdapat komunitas Muslim: Muslim Cina bersuku Hui. Sebenarnya di beberapa wilayah Thailand ada juga Muslim dari komunitas lain, seperti Muslim Cham dari Kamboja, Muslim Rohingya dari Myanmar, atau Muslim dari Asia Selatan, seperti Pakistan, Bangladesh, dan India.

Konsentrasi Islam di Selatan ini bisa dipahami, mengingat wilayah ini merupakan pusat kekuasaan Kesultanan Fatoni Darussalam atau Pattani. Kesultanan Pattani runtuh ketika diserang dan kemudian dikuasai Kerajaan Siam. Kerajaan Melayu di Thailand ini sempat dipimpin tiga dinasti: Dinasti Sri Wangsa, Dinasti Kelantan Pertama, dan Dinasti Kelantan Kedua.

Di Provinsi Songkla, salah satu kota yang komunitas Muslimnya cukup banyak adalah Hat Yai. Kota ini adalah salah satu yang sering dikunjungi orang asing. Berbatasan langsung dengan Malaysia Utara, Hat Yai adalah tempat di mana bisa ditemukan perpaduan unsur-unsur Islam dan Siam. Misalnya, di berbagai tempat, papan nama tertulis dalam tiga bahasa: Melayu (yang tertulis dalam huruf pegon), Thai, dan Inggris. Di kalangan Muslim Hat Yai, kesadaran identitas sebagai Muslim demikian tinggi.

Pada 2012 dan 2016, saya sempat tiga kali berkunjung ke Hat Yai, melalui jalur darat. Dari Singapura, ke Malaysia, dan mencapai Thailand Selatan. Saat itu, dari Penang, Malaysia, saya menumpang mobil menuju Hat Yai. Sopir sekaligus pemilik mobil itu adalah Muslim Thai. Dia mengenalkan diri sebagai Pak Haji. Sepanjang perjalanan, dia banyak bercerita tentang komunitas Muslim di Hat Yai. Begitu memasuki wilayah Hat Yai, ditunjukkan tempat-tempat dimana komunitas Muslim tinggal dan beraktivitas. Tampak jelas ada segregasi sosial. Kawasan-kawasan tertentu didominasi kelompok Muslim. Sementara kawasan lainnya didominasi orang Siam. Selalu saja Pak Haji menyebut “orang kita” dan “orang Siam” untuk membedakan komunitas Muslim dan komunitas Buddhis. Ketika menyebut Siam, ada nada sinisme. Kelihatan jelas bahwa Muslim Pattani belum bisa melupakan memori serangan Kerajaan Siam atas Kesultanan Pattani.

Di Hat Yai, terdapat satu masjid dan satu pusat komunitas Muslim. Masjidnya terletak di kawasan yang cukup ramai dan tidak terawat. Bercat hijau tua di beberapa bagiannya, dengan kombinasi warna abu-abu pada bagian-bagian lainnya, memberikan kesan masjid ini kurang perhatian. Tidak ada satu pun orang. Sepi jamaah.

Dominasi Islam di provinsi-provinsi selatan ini ditandai dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk pendidikan tinggi. Di Pattani, terdapat Universitas Prince Songkla (Prince Songkla University, PSU), cabang dari PSU di Hat Yai. Menariknya, PSU di Hat Yai menawarkan pula jurusan-jurusan studi Islam di program studinya. Selain itu, terdapat juga sebuah universitas Islam yang cukup besar: Yala Islamic University (kemudian berubah menjadi Fatoni University). Tidak dipungkiri, ini pasti karena jumlah Muslim yang sangat signifikan di provinsiprovinsi tersebut.

Menurut Sukree Langputeh, guru besar di Universitas Islam Yala, jumlah mahasiswa di universitasnya sekitar 4.000 orang. Jumlah itu masih ditambah dengan sekitar 200 mahasiswa asing dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Dapat dikatakan, Universitas Islam Yala merupakan universitas terpenting untuk peningkatan pemahaman Islam di Thailand.

Pradana Boy ZTF, PhD, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 tahun 2017

Exit mobile version