Oleh : Dr M G Bagus Kastolani
“Life is sum of choiches…” (Albert Camus). Ya, hidup adalah kumpulan pilihan. Manusia selalu dihadapkan pada pilihan dalam hidupnya. Namun karena manusia adalah makhluk yang merdeka dengan kehendaknya (free will), maka manusia bebas pula menentukan pilihan. Jika dihadapkan dengan pilihan: pilih gaji besar atau mempunyai waktu bersama keluarga? Kita sebagai manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dengan segala konsekuensi logisnya. Jika kita memilih gaji yang besar dengan segala rutinitas kerja, maka belum tentu kita mempunyai waktu untuk kebersamaan dengan keluarga. Sebaliknya, jika kita memilih family time, maka jangan berharap mendapat penghasilan yang besar karena waktu kita untuk mencari penghasilan berkurang.
Jika saya dihadapkan pada kedua pilihan tersebut, maka saya akan memilih keduanya: gaji besar dan punya family time. Mungkinkah? Memang terkesan serakah. Namun, sekali lagi, kita sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan berkehendak juga bebas menciptakan sendiri pilihan kita. Jika memang bisa keduanya sebagai pilihan, kenapa tidak? Pemikiran inilah yang mendasari adanya konsep Work-Life Balance (WLB) yang berkembang saat ini dalam dunia kerja, baik setting formal maupun informal. Konsep inilah yang ingin mengembalikan makna kerja adalah upaya peningkatan nilai ekonomis sebagai instrumen meningkatkan kesejahteraan materi dan psikologis (Weber, 1963). Pernyataan ini menunjukkan bahwa kerja tidak hanya untuk kepentingan kesejahteraan materi individu, namun seberapa berarti hasil kerja manusia dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Namun demikian, dewasa ini, banyak orang salah menafsirkan tentang kerja yang selalu diasosiasikan dengan materi. Semakin banyak anggota keluarga yang bekerja (suami-isteri) dan semakin lama bekerja maka semakin banyak materi (uang) yang didapatkan.
Fakta di kehidupan sehari-hari banyak angka kriminalitas pelajar, seperti tawuran dan narkoba, dengan alasan yang klise, yaitu kurang perhatian dari orang tua yang sibuk bekerja. Kondisi inilah yang disebut adanya gangguan dalam work life balance (WLB), yaitu gangguan keseimbangan antara kehidupan kerja, kehidupan keluarga, dan kehidupan sosial. Untuk mengakomodasi work (having) dengan life (loving), maka perlu diciptakan hal berikut: (1) keseimbangan waktu untuk bekerja, keluarga, dan personal; (2) keseimbangan keterlibatan peran psikologis dalam bekerja dan rumah tangga, (jika kita tidak bisa seimbang secara kuantitas waktu, ciptakan waktu yang berkualitas dengan keluarga); (3) keseimbangan kepuasan, yaitu kepuasan berperan dalam bekerja sama halnya kepuasan berperan dalam keluarga dan kehidupan sosial. Huwallahu a’lam bi shawab!
Dr M G Bagus Kastolani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi UNAIR Surabaya. Kader Muhammadiyah
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 tahun 2017