Kiai Haji Ahmad Dahlan setiap subuh memberikan pengajaran pada murid-muridnya. Pada satu periode pengajarannya, berkali-kali KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat Al-Ma’un, hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah. Dengan kondisi seperti itu, ternyata mengusik hati salah seorang muridnya.
“Kiai, mengapa pelajarannya tidak ditambah-tambah?” tanya Soedja.
“Apa kamu sudah mengerti betul?” tanya beliau.
“Kita sudah hafal semua, Kiai.” Jawab Soedja.
“Kalau sudah hafal, apa sudah kamu kerjakan?” tanya beliau lagi.
“Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Maun sudah berulangkali kami baca sebagai rangkaian surat Fatihah, disaat kami shalat?” jawab Soedja’.
“Bukan itu yang saya maksudkan, Diamalkan artinya, dipraktekkan, dikerjakan. Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu mulai hari ini, saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mandikan dengan sabun yang baik, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup. Dan saudara-saudara silahkan melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi,” ujar Kiai Dahlan.
Berbagai versi tentang cerita ini telah menyebar, intinya Al-Qur’an itu setelah dibaca dan dipelajari harus diamalkan. Maka penafsiran model Kiai Dahlan, penulis sebut dengan tafsir amali. Mungkin ada yang menyebut tafsir sosial atau yang lain, tetapi ternyata metode serupa juga digunakan untuk ayat yang lain.
Dalam hal metode ini, Kiai Dahlan pernah menerangkan bagaimana cara mempelajari Al-Qur’an, yaitu ambillah satu, dua atau tiga ayat, dibaca dengan tartil dan tadabbur (dipikirkan). Pertama, bagaimana artinya? Kedua, bagaimanakah tafsir keterangannya? Ketiga, bagaimana maksudnya? Keempat, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan itu? Kelima, apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankannya.
Oleh karena itu sudah menjadi watak Kiai ketika mengajarkan sesuatu , terutama Al Qur’an, tidak hanya berhenti pada tataran ilmu saja tetapi harus mencapai tataran amal. Karenanya, ia tak segan mengajarkan suatu ayat sampai berbulan-bulan meski sebetulnya hanya cukup beberapa hari selesai sebelum ayat tersebut diamalkan.
Baginya Islam memang harus diamalkan dan tidak hanya dimengerti saja. Dalam hal amalan agama ini Kiai Dahlan berkata: “Aku mengerti barang yang haq dan barang bathil seperti aku mengerti agama Nasrani/Kristen dan belajar agama Nasrani dan mengerti agama Nasrani. Tetapi apabila aku tidak mengerjakan agama Nasrani aku bukan orang Nasrani. Demikian juga umpamanya aku mengerti cara-cara mencuri, menipu, menindas tetapi aku tidak menjalankan mencuri, menipu atau menindas maka aku bukan pencuri, penipu dan penindas. Demikian juga aku mengenal agama Islam, mengerti amal shalih, tetapi aku tidak mengerjakan agama Islam dan amal shalih itu, aku tetap bukan orang Islam dan tetap bukan orang shalih”.
Inilah sebetulnya tafsir awal yang dilakukan Muhammadiyah oleh pendirinya yang mampu menghasilkan amal usaha yang kini masih terjaga. Tetapi sayang, metode tafsirnya sudah hampir terlupakan. (Abu Aya)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2018