Oleh : Baharuddin Rohim
“ Jadilah Guru Sekaligus Jadilah Murid “ Api pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan
Spirit Founding Father muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan dalam respon realitas sosial dapat tergambarkan ketika K.H. Ahmad Dahlan dalam memahami sesuatu hal beliau selalu mempunyai dasar pemikiran diantaranya : mengapa perintah (nash) diturunkan?, apa relevansi nash dengan realitas sosial?, langkah apa yang harus dilakukan dalam memenuhi sebuah perintah?, (K.H. Ahmad Dahlan dalam pemikiran dan kepemimpinnnya) dan seterusnya, pertanyaan yang demikian menjadi dasar berfikir K. H. Ahmad Dahlan sehingga menjadikan landasan teologis. Al Maun merupakan salah satu landasan teologis bagaimana Muhammadiyah dalam merespon realitas sosial namun muncul pertanyaan di era modern ini apakah muahammadiyah secara umum dan kader muhammadiyah secara khusus di abad ke-2 apakah mampu mengetahui landasan secara teologis apa yang melatar belakangi tindakan atau gerakan harus dilakukan?
Fakta menunjukkan dengan segala kekurangan dan kelebihannya Muhammadiyah abad ke-2 telah menunjukkan prestasinya dalam segala bidang, hal itu tidak lepas dari pada kiprah setiap individu (kader) yang ada didalamnya melalui majelis-majelisnya sampai pada setiap organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang senantiasa selalu merespon persoalan sosial secara tersistem akhirnya menjadikan gerakan Muhammadiyah selalu masif dari ranting hingga pusat. Kaderisasi merupakan bagian inti dari pada pergerakan Muhammadiyah maka akan dikenal dengan kaderisasi secara kultural maupun struktural atau bahasa pak AR Fakhruddin mengenalkan istilah kader kintilan (orang yang senantiasa ngintil “ngikut” kemana mubaligh pergi) varian kader juga menjadi varian persoalan maka disinilah pentingnya system perkaderan yang terukur dan sistemik.
Kader Struktural
Syarat mendirikan Muhammadiyah salah satunya disebutkan harus ada di dalamnya kegiatan pengajian rutin sebagai prasarana keilmuan tajdid Muhammadiyah secara terstruktur, maka secara universal Muhammadiyah dari ranah ranting, cabang, daerah, wilayah dan pusat memiliki pola kaderisasi yang terstruktur, di dalam ortom Muhammadiyah juga dikenal istilah yang sama, maka Muhammadiyah dan segala yang ada padanya mempunyai sistem perkaderan yang baku guna mewujudkan kualitas yang sama antar kader dari berbagai latar belakang sosial (social), budaya (culture), politik (politic), ekonomi (economic) maka diharapkan dengan adanya kaderisasi secara formal (struktural) mampu menjadikan kader mempunyai kaliber yang sama dengan kader lainnya.
Taruna Melati I sampai Taruna Melati Utama (Ikatan Pelajar Muhammadiyah), Darul Arqam Dasar sampai Darul Arqam Purna (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Baitul Arqam (Pemuda Muhammadiyah), Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiatul Aisyiyah) adalah bukti dimana ortom Muhammadiyah mempunyai pola kaderisasi yang terstruktur dengan jelas dari indeks pencapaian sampai indikator keberhasilan, namun jauh dari pada itu perlu adanya refleksi apakah system perkaderan yang ada pada ortom sudah berkiblat kepada sistem perkaderan Muhammadiyah? Karena tidak jarang didalam tubuh ortom banyak hal yang tidak sesuai dengan Muhammadiyah dan hal ini jika ada pembiaran maka tinggal tunggu waktu kader – kader Muhammadiyah akan selalu bergesekan antar kader Muhammadiyah itu sendiri dan pemicu tebesar ialah ketidakfahaman ideologi Muhammadiyah pada setiap ortom Muhammadiyah.
Kader Kultural
Dakwah kultural ialah cara Muhammadiyah dalam menarik simpatik khalayak ramai, tidak menggunakan simbol Muhammadiyah maka di lapangan kita akan menemukan banyaknya pondok pesantren, sekolah, dan sejenisnya yang kesemua itu berafiliasi dengan Muhammadiyah dengan kata lain ini adalah cara Muhammadiyah dalam proses kaderisasi kultural, secara lebih khusus di Muhammadiyah kita akan mengenal GJDJ (gerakan jama’ah dakwah jama’ah) konsep ini pun sama diharapkan kulturasi yang dibangun oleh Muhammadiyah mampu menjawab persoalan ummat yang semakin kompleks dengan memandang semua manusia itu sama (Kuntowijoyo).
Realitas sistem perkaderan ortom Muhammadiyah masuk untuk dijadikan bahan refleksi, ambil salah satu contoh ketika di usia pelajar ia hanya ikut Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan ketika dia di mahasiswa ia mengikuti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah mungkin secara bersamaan mereka juga mengikuti Pemuda Muhammadiyah, namun kultur di IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah akan menemukan titik perbedaan maka dengan hal ini apakah disamakan ketika kader di IMM harus menawali kembali sistem perkaderan di Pemuda Muhammadiyah padahal yang di Pemuda Muhammadiyah tidak jaminan lebih matang konsep ideologinya. Hal ini menujukkan betapa pentingnya memahami kader kultural Muhammadiyah. Menjadi PR MPK bagaimana proses kaderisasi yang setara dengan sistem perkaderan Muhammadiyah meski diterapkan di ortom-ortom Muhammaidyah.
Kembali pada induk sistem perkaderan Muhammadiyah adalah inti dari permasalahan bahkan MPK akan mampu memberi arahan dan batasan dimana pola kaderisasi yang sesaui dan dimana pola kaderisasi yang tidak tepat oleh ortom Muhammadiyah. Sehingga meski beda gaya kaderisasi tapi akan tetap sama esensi dan nilai yang di perjuangkan di dalam proses kaderisasi di setiap ortom Muhammadiyah, jika hal ini tidak dilakukan maka yang ada hanyanlah pengakuan dia setiap ortom mereka yang paling benar dengan menyalahkan ortom lainnya, namun jika hal ini dilakukan maka setiap ortom akan mengenal istilah kader kultural dan menjadi prioritas dalam perkaderan formal.
Kader Ikatan
Kaderisasi struktural ataupun kaderisasi kultural tidak akan menjadi sesuatu yang penting jika mereka tidak mampu menjadi kader ikatan dengan kata lain kader ikatan ialah kader cendekiawan (intelektualitas) kader yang mampu mengintegrasikan idealis dengan sebuah realitas akhirnya mampu mendudukkan perkata keilmuan di setiap tingkatannya. Didalam ilmu sosial profetik kita akan dikenalkan bagaimana pentingnya Humanisasi, Liberasi, Transendensi (Kuntowijoyo) yang akan dicapai ketika ketiga hal ini menjadi landasan berpijak setiap intelektual profetik melangkah.
Pertama, Humanisasi adalah upaya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia, dengan melawan 3 hal yaitu dehumanisasi, agresivitas (kriminalitas), loneliness (privatisasi) point humanisasi adalah point awal dimana kader ikatan harus mampu memandang semua golongan tanpa terkecuali sbeagai manusia yang setara, meminjam istilah Tan Malaka kader ikatan harus mampu meniadakan kelas sehingga tidak ada perbedaan kelas antara manusia satu dengan manusia lainnya. Maka kader ikatan harus mampu memandang segala kepentingan ikatan dengan kaca mata persamaan manusia di antara manusia lainnya.
Kedua, Liberasi mempunyai makna membebaskan, yang bersignifikansi sosial dengan tujuan membebaskan manusia dari kekejaman pemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas, dan hegemoni kesadaran palsu. Kader ikatan adalah kader liberasi yang mampu membebaskan berfikir para kader lainnya sehingga dikandung maksud kader ikatan mampu masuk di tataran universal permaslahan yang kian kompleks.
Ketiga, Transendensi mempunyai makna teologis, yakni ketuhanan, maksdunya bermakna beriman kepada Allah SWT. Transendensi bertujuan menambahkan dimensi transedental dengan cara membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Singkatnya menghendakti manusia untuk mengakui otoritas mutlak Allah SWT. Trasendesi ini merupakan kemampuan yang amat dibutuhkan oleh kader ikatan dimana ia harus mampu menempatkan sisi teologis sbegai dasar akan berpijak sehingga kebijakan dalam bertindak serta respon sosial akan menjadi tepat guna dan tepat sasaran, upaya transendensi merupakan kerja berat parakader ikatan dimana ia harus mampu mengintegrasikan kekuatan nalar aqliyah kepada nalar naqliyah dengan memahami keduanya sebagai jalan pemebebasan kader ikatan.
Baharuddin Rohim, PK IMM Rasyid Ridho STAIMS