Oleh: Haedar Nashir
Allah bersama mereka yang berjamaah. Demikian sabda Nabi akhir zaman. Mereka yang berjamaah belajar hidup bersama orang lain, tidak menyendiri dan berbuat semaunya. Berjamaah dalam bersosial, di tempat kerja, berkeluarga, serta dalam mengemban misi dakwah dan berorganisasi.
Allah bahkan memerintahkan manusia berkolektif meski beragam suku dan golongan, sebagaimana firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujarat: 13).
Hidup bersama memerlukan jiwa berbagi. Jangan pernah merasa bisa hebat sendiri. Sehebat apapun seorang pendekar jika dia sendiri tidak akan mampu berhadapan dengan banyak pendekar. Manusia tidak akan digdaya jika dia menyendiri dan melepaskan ikatan dari khalayak. Kekuatan jamaah atau kolektif itu jauh lebih dahsyat dari segalanya.
Manusia diciptakan Allah untuk bersama. Manusia disebut makhluk sosial (homo sapiens, homo socius), yang selalu memerlukan orang lain. Dia tidak bisa hidup sendiri, jika dia hidup bersama binatang seperti kisah Tarzan bahkan dapat berperilaku seperti hewan. Kesebelasan sepakbola sulit menang jika main sendiri-sendiri, meski terdiri dari para pemain bintang.
Manusia yang merasa hebat dan kuat sendiri biasanya mengidap penyakit sosiopatik, berperkara secara sosial alias asosial. Hidupnya mengalami alienasi, terasing secara kolektif. Hidup di dunia seperti hanya untuk dirinya. Libido ego-nya, meminjam narasi Sigmund Freud, melebihi segalanya.
Secara nyata manusia memang sering mengidap penyakit egosentrik, mendewakan kekuatan dirinya. Ada semacam virus ananiyah-nafsiyah, diri sang hebat melebihi yang lain dan merasa tak memerlukan orang lain. Sifat congkak, sombong, angkuh, dan selalu ingin menonjol serta menang sendiri termasuk penyakit ananiyah-nafsiyah itu.
Ketika berjamaah atau berkolektif, maka tipe-tipe sosok egois sering mengalami benturan. Wataknya yang selalu ingin menonjol, berbuat sendiri, menang sendiri, dan sikap asosial lain menyebabkan gesekan dengan kepentingan kolektif atau orang banyak yang selalu menuntut sikap toleran dan berbagi.
Sang ego yang melampaui batas dapat membawa kejatuhan. Sebutlah kejatuhan Firaun, Hitler, Mussolini, dan para diktator dalam sejarah karena hanya menuruti dirinya dan melawan kehendak banyak orang. Namun virus ananiyah itu memang sering menyelinap dalam diri setiap orang, ada yang mampu mengendalikannya, lainnya malah memanjakannya.
Manusia memang memiliki sifat mencintai dirinya. Hasrat untuk populer, diakui, dan artikulasi diri memang manusiawi dan sah adanya sebagai bagian dari perjuangan hidup manusia dalam hukum mobilitas diri. Kesuksesan atau kegagalan tergantung pada perjuangan diri setiap manusia.
Kaum Darwinian menyebutnya sebagai the struggle of life, hasrat primitif atau alamiah manusia. Namun ketika melampaui batas dan menegasikan kehadiran dan kepentingan sesama, maka yang terjadi hukum Hobbesian homo homini lopus, satu sama lain saling memangsa. Lalu, terjadilah konflik, perang, dan chaos dalam kehidupan manusia.
Hidup manusia menjadi tidak sempurna manakala melepaskan diri dari ikatan kolektif dengan sesama. Di situlah pentingnya manusia berorganisasi, belajar hidup bersama orang lain. Berorganisasi bahkan menjadi bagian dari habitat manusia selaku makhluk sosial. Ikatan sosial itulah makna lain dari berjamaah. Mereka yang melepaskan diri dari ikatan jamaah, dalam kiasan sebuah hadis Nabi, laksana seekor domba yang dimakan hewan buas!
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 18 tahun 2016