Oleh: Dr H Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Kata hisab (Arab: al-hisāb) secara etimologi bermakna menghitung. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisān al-‘Arab, hisab bermakna beberapa makna yaitu (‘adda), kalkulasi (ahshā) dan mengukur (qaddara). Kata ini dan yang seakar dengannya sangat banyak tertera di dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Beberapa makna itu di antaranya perhitungan (hisab), hari kemudian, batas, dan tanggung jawab, dan lain-lain. Menurut Fuad Abdul Baqi dalam “alMu’jam al-Mufahras li Alfāzh Al-Qur’ān Al-Karīm” disebutkan bahwa kata hisāb tertera di dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali. Hisab yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah metode perhitungan gerak faktual bulan dan matahari untuk menentukan tanggal satu bulan kamariah.
Kerja hisab dalam penentuan awal bulan adalah menghitung posisi (gerak) bulan dan matahari dalam gerak hakikinya, antara lain menghitung terbit dan tenggelam, menghitung terjadinya konjungsi, menghitung posisi bulan (apakah sudah berada di atas ufuk atau belum), menghitung sudut elongasi, menghitung fraksi cahaya bulan, dan lainlain. Perhitungan ini biasanya tertuang dalam rumus-rumus astronomis-matematis yang sudah disederhanakan oleh para ahli dan tertera dalam buku-buku astronomi modern, bahkan saat ini telah diformula dalam bentuk sofware.
Hisab sendiri cenderung bersifat rasional (ta’aqquly) karena terkadang hasilnya tidak dapat dibuktikan secara zahir. Isyarat hisab antara lain terakomodir dalam Qs AlBaqarah [02] ayat 189 dan Qs Yunus [10] ayat 05. Pada dua ayat ini dijelaskan mengenai adanya fase-fase bulan serta perubahannya yang terlihat dari bumi. Perubahan bentuk semu bulan itu dijadikan dasar penentuan waktu oleh umat Islam yang diterjemahkan dalam hari, tanggal, bulan, dan tahun.
Perubahan posisi bulan yang teratur dan konstan itu dapat dihitung (hisab). Sementara itu, Qs Yasin [36] ayat 39 menyebutkan bahwa satu siklus peredaran bulan dihabiskan melalui manzilah-manzilah yang dimulai dari keadaan ‘urjūn al-qadīm hingga kembali kepada ‘urjūn al-qadīm berikutnya. Manzilah-manzilah (konstelasi) ini tidak lain adalah posisi bulan pada saat-saat tertentu terhadap matahari dan bumi. Perubahan posisi bulan terhadap bumi dan matahari inilah yang menyebabkan adanya perubahan bentuk semu bulan, di mana perubahan bentuk semu bulan itu dapat diperhitungkan dan dijadikan dasar penentuan waktu bagi manusia.
Secara astronomis, ‘urjūn al-qadīm adalah terjadinya konjungsi, yaitu ketika bulan dan matahari berada pada garis bujur yang sama sebagai tanda telah sempurnanya peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam faktanya, konjungsi atau proses ‘urjūn al-qadīm hingga ‘urjūn al-qadīm ini dapat diperhitungkan (hisab) secara teliti. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa penetapan awal bulan secara hisab harus dipastikan konjungsi sudah terjadi, di samping menempatkan matahari pada posisi terbenam sebagai patokan pergantian hari serta posisi bulan sudah berada di atas ufuk.
Gerak faktual bulan dan matahari bersifat eksak
Allah menciptakan benda-benda angkasa sangat teratur, dan benda-benda angkasa ini bersifat eksak (Qs Yunus [10]: 5 dan Qs Al-Isra’ [17]: 12). Melalui observasi dan penelaahan ilmiah manusia mampu mengamati fenomena bulan dan matahari, dan akhirnya sampai pada kesimpulan ‘pasti’. Ilmu yang berperan adalah astronomi yang dalam perjalanannya terus berkembang.
Frasa “faqdurū lahu” bermakna “fahsibū lahu”
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Ibn Umar terdapat frasa “faqdurū lahu” (maka kadarkanlah). Dari beberapa penafsiran yang ada, salah satunya adalah “fahsibū lahu” (maka lakukanlah perhitungan). Penafsiran seperti ini antara lain dipegangi oleh Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhr (w. 78/697), Ibn Suraij (w. 306/918), dan Ibn Qutaibah (w. 276/889). Hadits riwayat Ibn Umar ini senafas dengan pertanyaan para sahabat tentang berapa lama Dajjal hidup di permukaan bumi ini. Nabi saw menjawab 40 hari, dimana satu hari seperti satu tahun, hari selanjutnya seperti satu bulan, hari selanjutnya lagi seperti satu minggu, dan hari-hari lainnya seperti hari biasa. Lantas para sahabat menanyakan apabila satu hari seperti satu tahun, bolehkah mengerjakan shalat hanya satu hari saja? Nabi saw menjawab, tidak! Tapi lakukanlah pengkadaran (uqdurū lahu qadrahu). “Uqdurū lahu” (takdirkanlah) dalam Hadits ini dapat difahami sebagai penggunaan hisab. Penafsiran ini didukung lagi dengan semangat ayat-ayat dalam Qs Yunus [10]: 5, Qs Yasin [40]: 39-40, dan Qs Ar-Rahman [55]: 5.
Ru’yah (melihat) dapat bermakna melihat dengan ilmu (ru’yah bi al-ilm)
Betapapun kata “ra’a” atau “ru’yah” dalam Hadits-Hadits Nabi saw terkait rukyat bermakna melihat dengan mata (ru’yah bi al-‘ain). Namun pengertian “ru’yah” itu sendiri secara bahasa dapat pula bermakna melihat secara ilmiah (ilmu). Dalam “Mu’jam Maqāyīs al-Lughah” disebutkan, “ru’yah” adalah melihat dengan mata atau dengan pengetahuan (ilmu).
Kemampuan hisab di zaman Nabi Saw masih terbatas
Hadits yang menerangkan keummīan Nabi Saw dan bangsa Arab sejatinya memberi pengertian bahwa bilangan bulan itu adakalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari. Informasi Nabi Saw bahwa ‘kita’ tidak menghitung dan tidak menulis dipahami sekedar memberi gambaran umum kondisi bangsa Arab atau umat ketika itu. Al-Baladzirī (w. 279/892) dalam “Futūh al-Buldān” menyatakan, ketika Islam datang, di kalangan suku Quraisy hanya ada 17 orang yang bisa menulis. Menurut Ibrahim Anis, jika suku Quraisy yang sedemikian maju dalam kegiatan bisnis dan mempunyai kekuasaan tinggi di kalangan bangsa Arab demikian keadaannya, sudah tentu yang lainnya tidak lebih baik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bangsa Arab ketika itu tidak mengetahui secara ilmiah dan eksak peredaran faktual bulan dan matahari serta bendabenda langit lainnya.
Sifat ‘ummi’ saat ini telah tiada
Sifat ummī (tidak mampu mengitung dan menulis) yang melekat pada Nabi Saw dan bangsa Arab, dalam konteks hari ini sesungguhnya telah tiada, dalam arti umat Islam telah mahir dalam baca tulis dan perhitungan. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa rukyat bukan kriteria mutlak untuk memastikan masuknya sebuah awal bulan. Dalam kaidah usul disebutkan “al-hukm yadūru ma’a ‘illatihi wujūdan wa ‘adaman” (hukum itu berlaku bersama sebabnya, baik dalam keadaan ada atau tidak ada). Bahkan, Hadits “ummī” difahami sebagai isyarat kuat bahwa penentuan awal bulan adalah dengan hisab. Namun karena hal ini tidak mungkin diterapkan di masa Nabi Saw, maka dilakukanlah untuk sementara sarana rukyat. Karena itulah dalam Hadits ini Nabi Saw mengaitkannya dengan menulis dan menghitung. Jika menulis dan menghitung dilarang, niscaya Nabi Saw mengungkapkan rukyat saja tanpa mengaitkan dengan baca tulis dan hitung.
Rukyat hanya sarana, bukan tata cara mutlak
Mengenai hal ini memang terjadi perbedaan pendapat. Rukyat bukan merupakan bagian dari ibadah puasa, rukyat hanya bagian dari cara teknis untuk menentukan masuknya awal bulan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan “al-wasā’il lahā ahkām al-maqāshid”. Jika ditemukan cara yang lebih baik, maka cara itulah yang digunakan. Semangat Hadits adalah masuknya awal bulan, bukan terlihat atau melihat bulan.
Hisab bersifat pasti (qath’iy dan yaqīn)
Sisi kepastian (qath’ī, yaqīn) yang dimaksud adalah bahwa fenomena alam seperti terbit dan tebenam benda-benda langit dibuktikan secara empirik dan terbukti benar. Hisab memang pernah tidak qath’ī (keakuratannya belum presisi), ini berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Di zaman silam, hisab banyak digunakan pada hal-hal yang bersifat mitos dan mistis, utamanya terkait dengan praktik peramalan (nujum, astrologi). Namun hari ini antara astrologi dan astronomi telah terbedakan secara jelas dan tegas, di samping tingkat akurasinya telah teruji. Abdul Karim Ali dalam karyanya “alMuhadzdzab fī ‘Ilm Ushūl al-Fiqh al-Muqāran” secara tegas menyebutkan bahwa ilmu-ilmu eksperimental (at-tajrībiyyāt) sebagai sesuatu yang mengindikasikan yakin (pasti).
Hisab dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah”
“Al-mashlahah” jamaknya “al-mashālih”, sinonim dari kata “manfa’ah” (manfaat) dan lawan kata dari “mafsadah” (kerusakan). Dalam kajian usul fikih, “mashlahah almursalah” adalah kebaikan (manfaat) yang tidak ditemukan petunjuk tentangnya apakah syarak mengindahkannya atau mengabaikannya. Di sini, menggunakan hisab dalam menetapkan masuknya awal bulan dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah” karena signifikansi manfaat yang didapat. Sisi mashlahah hisab antara lain: mudah, ringkas, praktis, akurat, dan hemat.
Hisab dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah”
“Al-mashlahah” jamaknya “al-mashālih”, sinonim dari kata “manfa’ah” (manfaat) dan lawan kata dari “mafsadah” (kerusakan). Dalam kajian usul fikih, “mashlahah almursalah” adalah kebaikan (manfaat) yang tidak ditemukan petunjuk tentangnya apakah syarak mengindahkannya atau mengabaikannya. Di sini, menggunakan hisab dalam menetapkan masuknya awal bulan dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah” karena signifikansi manfaat yang didapat. Sisi mashlahah hisab antara lain: mudah, ringkas, praktis, akurat, dan hemat.
—
Dr H Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara