YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Masyarakat berkomitmen serta peduli dengan kelompok-kelompok marjinal di Indonesia salah satunya adalah tentang buruh. MPM pada awal dibentuknya merupakan transformasi dari Lembaga Buruh, Tani dan Nelayan.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MPM PP Muhammadiyah Dr M Nurul Yamin, MSi dalam Diskusi Publik Memperingati Hari Buruh Internasional “Keadilan Buruh di Tengah Euforia Politik Antara Utopia dan Realita” di Gedung Muhammadiyah, Yogyakarta, Jum’at (3/5).
Yamin menyampaikan bahwa isu buruh selalu menjadi isu politik karena memiliki jumlah yang sangat banyak. Sementara itu terdapat permasalahan substansial di perburuhan di Indonesia, bukan hanya persoalan menyangkut upah, tetapi juga relasi kuasa antara majikan dengan buruh, atau buruh dengan pengusaha.
“MPM Berharap agar Angkatan Muda, stakeholder, baik itu unsur pengusaha, pemerintah, untuk menjadikan keadilan buruh sebagai realita, bukan sebagai utopia, bukan mimpi-mimpi indah yang susah diwujudkan, tetapi bagaimana itu bisa direalisasikan di kehidupan buruh yang disejahterakan,” ungkap Yamin.
Oleh karena itu, tripatrit dalam hal ini adalah pemerintah, pengusaha, dan buruh dihadirkan dalam diskusi. yaitu Wakil Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Kirnadi, Aktivis Migrant Care yang juga mantan pekerja migran Indonesia, Siti Badriyah, dan Kasubdit Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kementrian Ketenagakerjaan, Yuli Adiratna.
“Bagi Muhammadiyah sendiri, melalui MPM komitmennya terhadap pemberdayaan buruh menjadi sebuah keniscayaan, yang memang menjadi tugas dakwahnya,” tutur Yamin. Agar keadilan benar-benar dapat dirasakan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan bagi buruh. Bukan hanya buruh di dalam negeri, tetapi juga buruh di luar negeri.
MPM PP Muhammadiyah, katanya, disamping melakukan pemberdayaan terutama di sektor buruh informal, juga mendampingi buruh yang jarang disinggung ke permukaan seperti buruh nelayan atau buruh di perusahaan kapal-kapal besar. “Bagaimana asuransi kesehatannya, keamanannya, kesehatannya, dan lain-lain,” imbuh Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut.
Terkait buruh internasional, lanjutnya, MPM bersinergi dengan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang ada di luar negeri dalam pemberdayaan dengan strategi tersendiri. Buruh migran, memiliki karakteristik temporer, tidak selamanya kerja di luar negeri, biasanya hanya tiga sampai empat tahun, setelah itu kembali ke tanah air.
MPM mempunyai best practice bagaimana buruh migran yang ada di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan memberdayakan keluarganya yang ada di kampung halaman. Sehingga uang yang ditransfer ke kampung halaman tidak untuk kebutuhan konsumtif, tetapi adalah untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya produktif, sehingga ketika kembali sudah ada lapangan pekerjaan di kampung halaman.
Selain itu, dengan buruh kerja yang ada di Taiwan, MPM bekerja sama dengan PCIM Taiwan. “Sekarang sedang dirintis juga dengan PCIM untuk buruh-buruh di Korea Selatan,” imbuh Yamin.
Persoalan buruh migran, masih menurut Yamin, itu sangat kompleks, bukan hanya relasi persoalan keamanan, persoalan advokasi, dan kebijakan tetapi juga persoalan sosialnya juga sangat kompleks.
“Oleh karena itu dalam pendampingan buruh migran, saya kira pemerintah perlu mengajak kekuatan civil society, karena juga civil society punya jaringan-jaringan di luar negeri untuk bersinergi dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada buruh migran yang ada di luar negeri,” pungkasnya. (Riz)