Almarhum Kuntowijoyo pernah mengajukan sebuah otokritik, bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan. Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan (2010), memberikan syarahan. Ada banyak kebudayaan yang sebenarnya diinisiasi oleh Muhammadiyah. Semisal pengajian di tempat umum, ceramah ketika shalat tarawih, pengumpulan zakat secara terorganisir, makan sahur di akhir dan segera berbuka di awal waktu, shalat ied di lapangan, penerjemahan kitab suci dan khotbah dengan bahasa lokal. Termasuk pengorganisasin takjil untuk berbuka puasa bersama dan kultum jelang berbuka, sebagaimana dikatakan Muchlas Abror. Perubahan yang dilakukan Muhammadiyah itu begitu terasa sebelum tahun 1980-an.
Pada mulanya, tradisi tersebut menjadi bahan olokan di tengah lingkungan pengamalan agama yang komunal, mistis, dan penuh klenik, kala itu. Namun kemudian diikuti dan menjadi perilaku umum. Ketegaran dan kebijaksanaan para pendahulu Muhammadiyah patut diteladani. Begitulah spirit Muhammadiyah, lebih mementingkan dimensi etik ajaran Islam yang membawa spirit pembebasan dan pencerahan, dengan jalan dakwahnya yang lentur dan berakhlak karimah. Dikenal dengan prinsip, “teguh dalam prinsip, luwes dalam cara.”
‘Luwes dalam cara’ tentu bukan berarti serba boleh. Pada dasarnya, kata peneliti budaya Jawa Prof Mifedwil Jandra, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar perlu menghidupkan tradisi-tradisi yang baik berbasis nilai dan norma. “Agama itu adalah untuk mencerahkan kehidupan manusia, tidak menghapuskan sama sekali tradisi, tetapi tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan agama, perlu diubah,” tuturnya.
Tradisi bisa menjadi sarana dakwah. Sebagai jalan untuk menggarami kehidupan manusia dengan nilai-nilai iman, Islam, dan taqwa, demi kebaikan yang serba utama dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendekatan budaya dalam berdakwah tidak boleh diabaikan. Azyumardi Azra sering menyebut karakter Islam di Indonesia sebagai flowery Islam atau islam yang berbunga-bunga, perpaduan antara kegiatan keagamaan dan sosial.
Sebagai contoh. Tradisi berbagi takjil dan berbuka bersama di masjid (terutama dalam tradisi di Yogyakarta) pada mulanya dimaksudkan sebagai strategi dakwah. Guna menarik minat jamaah untuk datang ke masjid dan mengisi Ramadhan dengan ibadah dan kegiatan positif. Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, misalnya, menyediakan 1200-1400 porsi takjil setiap harinya (data tahun 2017). Pada Kamis sore, takjilnya berupa gulai kambing.
Ada dua versi berbeda tentang asal muasal tradisi takjil gulai kambing ini. Pertama, bermula dari banyaknya warga yang mengadakan aqiqah putra-putrinya, yang dagingnya dibagikan untuk santapan berbuka puasa jamaah masjid. Pengurus masjid mengalokasikan hari Kamis sebagai waktu khusus bagi yang melakukan aqiqah, akhirnya berkembang menjadi sebuah tradisi baru. Kedua, tradisi takjil ini dimulai sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan KH Ahmad Dahlan yang kerap berbagi makanan kepada kaum dhuafa.
Kedua versi tersebut menjelaskan bahwa praktik berbagi takjil, mengambil inspirasi dari hadis tentang aqiqah (juga hadis keutamaan berbagi makanan berbuka) dan ayat tentang menyantuni dhuafa (QS. Al-Ma’un) yang lekat dengan ajaran Kiai Dahlan. Tentang penggunaan nama takjil sendiri, dapat ditelusuri berasal dari teks hadis tentang perintah Nabi untuk menyegerakan berbuka, berasal dari akar kata ‘ajila yang bermakna al-isra’, artinya bersegera dan bergegas. KBBI mengelompokkan kata takjil sebagai kata kerja dan kata benda, yaitu; (1) mempercepat (dalam berbuka puasa) dan (2) makanan untuk berbuka puasa.
Tradisi berbagi takjil terus diwariskan turun temurun dan membuktikan bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan yang anti tradisi dan budaya. Tajdid Muhammadiyah menempatkan jalan purifikasi dalam ranah ibadah mahdhah dan akidah, sementara dalam urusan selain itu disebut sebagai wilayah muamalah duniawiyah. Dalam urusan duniawi, bukanlah tugas diutusnya seorang nabi, sehingga dibutuhkan kreatifitas dan dinamisasi terus-menerus sesuai dengan ruang dan waktu yang bergerak maju.
Pemurnian Islam Muhammadiyah, menurut Kuntowijoyo, merupakan pencarian referensi sistem kepercayaan dan ritual Islam pada fakta historis kenabian Muhammadiyah saw. Inspirasi dari teks mewujud dalam ragam living Qur’an dan Hadis. Yaitu suatu perilaku yang hidup dalam suatu komunitas, didasarkan pada teks al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian mengalami proses transmisi dan transformasi. Dua alur pemahaman terhadap teks tersebut telah melahirkan beragam tradisi, yang tidak persis sama dengan di masa Nabi. Transmisi berarti pengalihan pengetahuan dan praktek dari generasi ke generasi, sedangkan transformasi adalah perubahan bentuk pengetahuan dan praktek sesuai kondisi masing-masing generasi. Hal itu diungkap Ahmad Rafiq, dosen studi AlQur’an UIN Sunan Kalijaga.
Dalam kultur Jawa, beragam tradisi, baik yang bisa ditelusuri memiliki landasan teks maupun murni kreatifitas leluhur, bisa diinterpretasi sesuai ajaran Islam. Di sinilah peran Muhammadiyah. Budayawan Ahmad Charris Zubair memberi permisalan tentang padusan jelang Ramadhan. Dalam tradisi padusan, orang beramai-ramai mandi di telaga, dalam rangka membersihkan diri. Islam menganjurkan untuk senantiasa mensucikan diri lahir dan batin. Thaharah untuk kebersihan jasmani dan tobat untuk kesucian batin, bersih dari dosa dan noda yang mengotori. Demikian halnya dengan tradisi nyekar dan nyadran, untuk senantiasa mengingat kematian. Muhammadiyah harus memberi makna pada tradisi, sehingga tradisi tidak lagi dianggap mistis. Jalan kebudayaan ini mendukung misi pendidikan Muhammadiyah untuk mencerdaskan umat supaya arif dan rasional.
“Tradisi-tradisi untuk menghidupkan suasana Ramadhan perlu dihidupkan. Muhammadiyah itu kan gerakan jamaah. Artinya, secara kolektif, manusia diajak bersama-sama menghidupkan tempat ibadah, menghidupkan gerakan pengajian, menghidupkan gerakan amal,” ulas Jandra. Muhammadiyah bisa memulai dengan pengorganisasian kegiatan Ramadhan secara rapi dan menarik minat para jamaah, berlanjut dengan penyadaran untuk memiliki kepekaan sosial. Menjadi pribadi yang saleh di hadapan Tuhan yang berbanding lurus dengan perilaku baik dan prestasi dalam kehidupan.
Dalam pandangan Charris Zubair, ibadah seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai amalan individual, tetapi juga sebagai ritual komunal. Memberi efek yang melampaui. “Puasa kan bukan hanya membangun ketahanan diri, namun juga solidaritas sosial,” ungkapnya. Ibadah puasa harus menghasilkan manusia yang ihsan, berempati, dan welas asih. Tidak sekadar menahan nafsu yang kering makna.
Ramadhan merupakan bulan literasi. Umat harus mengakrabi kitab suci dan menahan syahwat hewani, bahkan godaan televisi. Ramadhan di televisi kadang tidak sepenuhnya sesuai norma dan nilai. Muhammadiyah harus memperkuat tanwir, semisal tradisi pengajian Ramadhan. Tradisi-tradisi baru perlu terus diinisiasi, yang mewujud dalam serangkaian proses homonisasi dan humanisasi, pemanusiaan manusia dan peningkatan harkat dan martabatnya. (ribas)