Konsep Ramadhan sebagai bulan penuh rahmat merupakan konsep yang sudah diterima oleh ummat Islam di seluruh dunia. Rahmat Allah yang tercurah pada saat bulan Ramadhan tidak hanya dinikmati oleh umat Islam, tapi seluruh alam ikut menikmati berkah kesucian bulan ini.
Ribuan tradisi dan festival keagamaan pada bulan Ramadhan terbentuk dan tersaji dengan beraneka wujud mengikuti adat kebiasaan masyarakat setempat. Untuk masyarakat Jawa misalnya, satu bulan sebelum kedatangan Ramadhan, ada tradisi bakti leluhur, bulan Syakban diberi nama bulan ruwah. Bulan para arwah. Aneka tradisi dan ritual “keagamaan semu” tersaji di sini dengan berbagai festival yang sudah sangat sulit dirujuk asal-usulnya. Tata cara adat berbagai agama melebur berwadah Islam.
Sedangkan sehari sebelum Ramadhan tiba, ada juga tradisi mandi bersama dengan aneka sebutan yang berbeda. Filosofi dari tradisi sebenarnya cukup mulia. Menyucikan raga dan mempersiapkan jiwa memasuki bulan riyadhah dan tarbiyah. Pada bulan Ramadhan juga masih ada tradisi adat yang beragam. Mulai tradisi megengan, maleman, selikuran, maupun pitulikuran. Sekali lagi, di sini tatacara adat menyatu dalam tradisi yang dianggap berjiwa Islam.
Ini semua menandakan masyarakat nusantara memang sangat menyukai “perayaan penyucian jiwa” yang bersifat individual. Semua perayaan yang digelar ditujukan agar para pelaku memperoleh berkah dan keberuntungan.
Semua tradisi itu telah berjalan ratusan tahun dan diwariskan ke beberapa generasi. Namun, sebenarnya pewarisan yang ada hanyalah pewarisan tradisi tanpa dibarengi pewarisan nilai. Aneka simbol penuh sandi yang disajikan hanya terhenti sebagai simbol tanpa makna. Isyarat petunjuk yang ada justeru dianggap sebagai kelengkapan ritual penyembahan Tuhan. Pada titik inilah sesungguhnya benih “penyimpangan” mulai bersemi.
Dalam kondisi seperti ini, Muhammadiyah datang menawarkan tradisi baru. Mengubah tradisi Ramadhan yang semula didominasi ritual pribadi menjadi ritual komunal. Menjelaskan jiwa agama yang semula tersamar menjadi kian benderang. Dalam istilah Kuntowijoyo, Muhammadiyah telah membadarkan semua misteri yang tersembunyi sehingga dapat dinilai bahkan diuji secara terbuka.
Bagi mayoritas orang Nusantara, puasa dianggap sebagai ritual penyiksaan diri. Jadi siapapun yang lebih menderita saat puasa maka dia lebih utama. Oleh karena itu, setengah abad yang lalu tradisi Muhammadiyah mengakhirkan sahur dan mensegerakan berbuka itu banyak ditertawakan orang.
Saat itu orang Muhammadiyah dianggap sebagai para priyayi yang kurang kuat berprihatin, sehingga baru bisa puasa syariat. Puasa minimalis. Namun, lambat laun semua umat Islam akhirnya sadar bahwa puasa “minimalis” itu adalah puasa yang sesuai tuntunan Kanjeng Nabi Muhammad.
Muhammadiyah juga memulai tradisi bagaimana cara “menghidupkan” dan memproduktifkan bulan Ramadhan yaitu dengan membentuk kepanitiaan kegiatan Ramadhan di setiap masjid Muhammadiyah. Sehingga setiap hari di bulan suci itu tidak ada yang terlewat dari kegiatan yang bermanfaat.
Saat ini, semua tradisi produktif yang dirintis oleh Muhammadiyah itu telah diterima sebagai tradisi seluruh umat Islam Indonesia, termasuk oleh mereka yang dahulu pernah menentang.
Namun dari sini pula timbul tantangan baru, yaitu membekaskan ritual selama bulan Ramadhan menjadi akhlak keseharian dalam sebelas bulan yang lain. Sehingga umat Islam tetap menjadi produktif meski Ramadhan telah berlalu. (isma)