Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) adalah salah satu periode paling krusial dalam sejarah Indonesia. Sebagai negara yang baru lahir, Indonesia harus menghadapi berbagai persoalan yang sangat pelik, mulai dari mantan penjajahnya, Belanda, yang ingin kembali berkuasa, buta huruf yang merajalela, hingga keterbelakangan masyarakatnya. Kegagalan dalam mengatasinya dapat membawa negara baru ini ke dalam kehancuran.
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang lahir tiga dekade sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah berpartisipasi dalam menopang Republik Indonesia di tahun-tahun formatifnya. Dua kontribusi penting Muhammadiyah yang sudah banyak diketahui publik adalah di bidang politik dan pertahanan.
Di bidang politik, para tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimejo, turut merumuskan dasar negara Indonesia. Di bidang pertahanan, para pemimpin Muhammadiyah ikut berpartisipasi mendirikan Hizbullah, sebuah organisasi pemuda yang bertindak sebagai badan perjuangan selama masa revolusi. Para pemuda Muhammadiyah adalah salah satu kelompok yang kemudian menjadi anggota Hizbullah.
Namun, sesungguhnya warga Muhammadiyah di masa revolusi tak hanya aktif di bidang politik dan pertahanan. Aktivitas Muhammadiyah jauh lebih beragam dari yang telah kita ketahui. Masa perang memang membuat banyak aktivitas kehidupan yang normal terhenti lantaran semua atensi terserap pada konflik yang tengah berlangsung. Tapi bukan berarti aktivitas di luar politik dan pertahanan tidak berjalan sama sekali.
Tidak semua orang maju ke medan tempur dan tidak setiap hari pula perang terjadi. Dalam konteks ini, ada sejumlah aktivitas di luar politik dan perang yang dijalankan warga Muhammadiyah di masa revolusi. Aktivitas-aktivitas ini masih sangat jarang dibahas dalam tulisan-tulisan tentang sejarah Muhammadiyah.
Pertama, pelayanan pendidikan, yang telah diinisiasi Muhammadiyah sejak awal pendiriannya, masih tetap dihidupkan oleh Muhammadiyah di tengah zaman perang itu. Di Blitar, Jawa Timur, misalnya, dilaporkan bahwa terhitung sejak tanggal 1 April 1946 Muhammadiyah akan membuka sebuah Sekolah Menengah Islam. Namun, tidak diketahui selanjutnya bagaimana perkembangan sekolah ini.
Kedua, Muhammadiyah, walaupun tengah berada di masa perang, tetap melanjutkan atensinya yang besar pada soal pemeliharaan anak yatim. Kelahiran Muhammadiyah didasari oleh penafsiran pendirinya, KH Ahmad Dahlan, pada Surat Al Maun, yang menekankan pentingnya kaum Muslim mengangkat derajat anak yatim, kaum lemah, orang miskin dan mereka yang terpinggirkan. Sekolah, rumah anak yatim dan fasilitas kesehatan yang dibentuk Muhammadiyah adalah pengejawantahan dari spirit Al Maun itu.
Spirit ini masih dipertahankan pada masa revolusi. Pada akhir Februari 1949, umpamanya, di Banda Aceh Muhammadiyah Cabang Aceh menggelar peringatan Hari Yatim. Acara yang diadakan di gedung Anak Yatim Banda Aceh ini tak hanya dihadiri oleh warga Muhammadiyah tapi juga para petinggi Republik dan pejabat daerah, termasuk Gubernur Sumatra Utara S.M. Amin, Gubernur Militer Tgk. Muhd. Daud Beureueh, dan Kepala Jawatan Sosial Provinsi Sumatra Utara A. Hasjmy.
Saat memberikan sambutan, Daud Beureueh mengutarakan apresiasinya pada Muhammadiyah “yang berjiwa hidup untuk melaksanakan perintah Tuhan, yakni memperingati Hari Yatim ini.” Apresiasi yang sama diberikan oleh A. Hasjmy. Ia mengatakan: “Kita melihat perkumpulan Muhammadiyah menjelma sebagai satu organisasi yang meretas jalan untuk mengambil tanggung jawab memenuhi salah satu suruhan agama, berjuang di tengah masyarakat untuk membela nasib bangsa.”
Mewakili pemerintah, Gubernur S.M. Amin menyatakan bahwa setiap pemerintah di dunia dibikin pening oleh problem kemiskinan di tengah masyarakatnya. Demikian pula di Indonesia. Walau pemerintah Indonesia sudah berusaha namun angka kemiskinan masih tetap tinggi. Melihat situasi ini serta mempertimbangkan pelayanan sosial yang diselenggarakan Muhammadiyah, pemerintah, dalam pandangan Hasjmy, memandang penting upaya yang dilakukan Muhammadiyah ini.
Secara keorganisasian, Muhammadiyah di daerah melakukan kegiatan konsolidasi untuk memperkuat persyarikatan sekaligus memantapkan posisi Muhammadiyah di masa perjuangan. Di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada akhir Mei 1948 diadakan Konferensi Muhammadiyah Sumatera Barat. Beberapa keputusan penting diambil, antara lain penetapan Sutan Mansur sebagai Pemimpin Umum Muhammadiyah Sumatera Barat sekaligus Wakil Ketua Muhammadiyah di Sumatera, Marzuki Jatim sebagai Ketua Majelis Pertimbangan, dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Sebelumnya, posisi Hamka diisi oleh S.Y. Sutan Mangkuto, yang telah ditunjuk pemerintah sebagai bupati di Solok.
Selain menetapkan nama-nama baru di dalam tubuh organisasi, konferensi tersebut juga mengambil sejumlah resolusi penting yang akan bermanfaat bagi kemajuan masyarakat. Dua di antaranya adalah memperkuat usaha Muhammadiyah di bidang pembangunan serta dalam hal pemberantasan buta huruf. Di samping itu, diserukan pula agar Muhammadiyah memperbanyak kadernya serta meningkatkan kontribusi di bidang pertahanan.
Sementara itu, partisipasi anak Muda Muhammadiyah dalam revolusi tak hanya dengan bergabung dengan laskar Hizbullah, melainkan juga dengan aktif dalam gerakan kepemudaan yang berorientasi pemikiran. Pada 6 Agustus 1949 pihak kantor Pembangunan dan Pemuda Sumatra Utara mengadakan sebuah rapat di Banda Aceh. Di sana tiga orang pemudapemudi Aceh dipilih sebagai wakil Daerah Aceh/Sumatra Utara pada Kongres Pemuda yang akan diadakan di Jawa. Ketiganya adalah A. Malik Sjafii dari Pemuda Muhammadiyah, Annie Kamarusid dari Aisyiah, dan A.R. Hasjim dari OPII.
Ada satu lagi kegiatan menarik lainnya yang dilakukan Muhammadiyah di masa revolusi, yang belum banyak diketahui bahkan oleh warga Muhammadiyah sendiri, yakni penerbitan brosur. Pada tahun 1948, Hamka menulis sebuah brosur sebanyak 22 halaman yang diberi judul Sesudah Naskah Renville. Di brosur ini Hamka mengkritik berbagai problem internal yang ia lihat dihadapi Indonesia pada tahun 1948 itu, termasuk para pemimpin yang memperalat para pemuda untuk kepentingannya sendiri, tentara yang jauh dari rakyat serta korupsi yang terjadi di mana-mana. Di halaman pertama brosur ini kita akan melihat nama penerbitnya: “PEMUDA MOEHAMMADIJAH S.Barat—P. Pandjang”.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018