BANTUL, Suara Muhammadiyah – Adalah Prof Syafiq A Mughni dalam pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada hari kedua di aula Masjid Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (10/5/2019), menjelaskan bahwa masalah umat adalah masalah kualitas. Dalam pengajian yang dihadiri oleh jajaran pimpinan Muhammadiyah ini Prof Syafiq A Mughni duduk bersanding dengan pemateri lainnya: Prof Yunahar Ilyas dan Dr Pradana Boy.
Di bawah tema besar Risalah Pencerahan dalam Kehidupan Keumatan dan Kebangsaan, Syafiq menguraikan masalah keumatan di Indonesia yang, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Syafii Maarif di dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, bahwa umat Islam di Indonesia adalah mayoritas secara kuantitas, namun minus secara kualitas.
Umat Islam di Indonesia (dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya) menghadapi tantangan berat, baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam bangsa sendiri, sebagaimana yang diterangkan oleh Syafiq, adalah mudahnya umat ini diadu domba dan berpecah belah. Masing-masing lebih mengedepankan kepentingan pribadi dari pada kepentingan bersama. “Seharusnya kepentingan bersama itu lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi,” tuturnya.
Syafiq mengambil contoh fenomena belakangan hari di Indonesia tentang polarisasi umat akibat perbedaan pandangan politik. Semestinya umat lebih sadar dan dewasa di dalam sistem berdemokrasi yang meniscayakan perbedaan pandangan, termasuk pandangan politik. Dalam berdemokrasi, perbedaan adalah hal biasa. Persatuan tetap harus diutamakan.
Dalam dunia politik umat secara global, negara-negara muslim cenderung pecah kongsi dan saling baku hantam. Saudara-saudara seiman di belahan Timur Tengah hingga kini belum beranjak untuk merajut persatuan di antara mereka. Sesama negara muslim, bahkan sesama anak bangsa masih lagi mudah diadu domba dan bertikai dengan memakan korban yang tidak kepalang tanggung.
Selanjutnya, Syafiq menjelaskan tantangan berat umat yang muncul dari luar (eksternal) yang terkait dengan gejala islamphobia atau rasa takut dan rasa benci terhadap Islam dan penganutnya. Cerita Abdul Hamid Algar tentang dialog antara seorang sopir taksi dan seorang penumpang pascatragedi 11 September 2001 menjadi contoh fenomena islamphobia di Barat.
Dalam cerita itu, Hamid Algar sendiri sebagai seorang calon penumpang memanggil taksi di pusat kota Berkeley. Sopir taksi itu seorang Sikh India, mengenakan sorban. Ketika Algar masuk ke dalam taksi, sopir berkata: “Pak, jangan khawatir, saya bukan seorang Muslim.” Kemudian Algar menjawab: “Jangan khawatir, saya adalah seorang Muslim.” Kemudian keduanya tertawa, tetapi dengan kesadaran bahwa iklim telah berubah untuk Muslim di Amerika. (A Conversation with Hamid Algar by Russell Scoch 2003)
Cerita di atas ingin menunjukkan kepada kita betapa situasi islamphobia atau rasa takut terhadap Islam telah menggejala di Amerika dengan demikian parahnya pascatragedi 11 September. Dalam hal ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syafiq, umat harus muhasabah atau wawas diri.
Di lain sisi, tuduhan fundamentalisme, ekstremisme, dan radikalisme, juga dialamatkan kepada umat Muslim di banyak tempat. Padahal sesungguhnya gejala-gejala ini adalah gejala umum yang bisa saja terjadi di semua agama.
Dunia melihat Islam melalui perilaku umatnya. Di luar yang diperdebatkan orang tentang teori konspirasi atas tragedi ini, yang jelas umat Islam adalah yang paling dirugikan dalam pergaulan di kancah global. Umat harus menunjukkan wajah Islam yang autentik. Islam yang rahmatan lil’alamin.
Tantangan lain umat Muslim tentang islamphobia adalah supremasi kulit putih (white supremacy) yang belakangan mengemuka pascatragedi terorisme penembakan membabi buta di Masjid Christchurch di Selandia Baru pada 15 Maret 2019 yang lalu.
Selanjutnya tentang pencerahan umat, kata Syafiq, mengapa pencerahan itu harus terus-menerus dilakukan? Ini tidak lain adalah karena tantangan umat pada zaman dahulu dan kini terus mengalami perubahan, maka wacanapun juga harus berubah.
Pertama, terkait dengan pemahaman agama. Dulu umat terfokus pada masalah TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat), meskipun sekarang gejala itu masih ada, namun saat ini telah muncul tantangan yang baru dan akan terus-menerus muncul tantangan-tantangan yang baru lagi. Termasuk di antara tantangan saat ini adalah gejala takfiri atau gampang mengafirkan orang lain.
Ideologi transnasional yang menggejala di dunia muslim saat ini membawa dampak semakin gampangnya orang muslim mengafirkan muslim yang lain. Di belahan negara-negara muslim muncul kelompok-kelopok seperti al-Qaeda, ISIS, dan Boko Haram. Situasi dan kondisi ini justru melemahkan umat Islam.
Kedua, lanjut Syafiq, terkait dengan metode perjuangan. Ada tiga corak gerakan dalam perjuangan ini: gerakan fundamentalisme atau radikalisme yang menginginkan tujuannya cepat tercapai namun menggunakan metode memaksa, kemudian gerakan akomodasionis atau gerakan yang tidak menginginkan adanya perubahan dan telah merasa nyaman dengan apa yang ada, dan yang terakhir adalah gerakan reformis atau gerakan yang menginginkan adanya perubahan namun dengan cara yang terorganisasi, sistematis, dan terencana. Gerakan reformis adalah gerakan moderat.
Di Muhammadiyah, kata Syafiq, corak gerakan pencerahan harus dipadukan atau diintegrasikan dengan corak Islam berkemajuan. Ini akan menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai gerakan wasathiyah atau moderat dan sesuai dengan komitmen perkumpulan Ulama dunia di Bogor pada 1-3 Mei 2018 yang lalu.
“Muhammadiyah dengan gerakan Islam Berkemajuannya perlu dipopulerkan dan diinternasionalisasikan. Muhammadiyah harus memberikan pencerahan bagi umat secara global sehingga kelak kita tidak hanya terkesan menjadi mayoritas yang minim kualitas,” pungkas Syafiq. (Erik Tauvani)