Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Dunia yang kita singgahi ini sesungguhnya telah dikuasai oleh kekuatan energi libido, yang lalu lintasnya adalah kesenangan. Pertukaran ekonominya adalah pertukaran hawa nafsu. Paradigma perkembangannya adalah paradigma kecepatan. Itulah dunia ekonomi dan kebudayaan kapitalisme global yang sarat dengan beraneka ragam energi, kegairahan, pergerakan, perubahan dan perkembangan tanpa henti.
Pergerakan energi libido menjejali dengan sesaknya ke seluruh ruang gerak manusia, baik yang terbuka maupun yang tertutup rapat sekalipun. Dalam hal ini, menurut Yasraf Amir Piliang (1998), perkembangan masyarakat kapitalisme global dipengaruhi oleh dua logika, yaitu logika pelepasan energi nafsu (libido) dan logika kecepatan, yang keduanya berperan besar bagi pelenyapan sosial dan terlebih padangan berbau agama.
Dalam sistem ekonomi pasar global, yang mengalir dari satu negara ke negara lain, dari satu pasar ke pasar yang lain, tidak hanya sekedar sabun, shampoo, body lotion, fried chicken, slimming tea, mobil dan kulkas, melainkan juga kesenangan, kegairahan, kecabulan, kemabukan, dan keterpesonaan di balik produk yang ditawarkan. Kapitalisme global sudah tidak lagi berkaitan dengan ekspansi kapital dan penguasaan pasar, melainkan lebih berkaitan dengan ekspansi arus kesenangan dan pengembang-biakan getaran nafsu. Gerakan ini menjadi sangat masif saat dunia maya internet mendukungnya. Perputaran ekonomi pasar dengan kecepatan dunia maya melegitimasi perputaran dan pelepasan nafsu secara bebas dan, sebaliknya, logika hawa nafsu menjadi paradigma dari keberlangsungan ekonomi pasar.
Perbincangan agama pun kini sudah tidak lagi berkaitan dengan pencarian jati diri manusia, penggapaian makna hidup yang abadi, refleksi perenungan mendalam tentang Tuhan, melainkan telah tereduksi menjadi ajang hijab-fashion show, gelak-tawa acara agama di televisi dengan iklan sang ustadz. Berkerudung sudah tidak lagi mengarahkan perilaku dan mengantarkan pada kedekatan dengan Tuhan, melainkan telah terkontaminasi ke dalam tempo kecepatan dan histeria sorak-sorai dansa, mode kecantikan dan pemenuhan kapital.
Berislam dan beribadah tidak lebih dari sekedar ceremoni dan tidak jauh dari urusan bisnis. Berhijab sudah tidak lagi untuk memenuhi perintah Allah dan menjaga kehormatan diri, melainkan sekedar mengikuti tren dalam meraup keuntungan ekonomi sesaat. Berpuasa seakan tidak ada hubungannya dengan kepedulian sosial dan berbagi sesama. Bahkan, berbagi kepada si miskin dan yatim pun lebih sering dijadikan alat memperoleh simpati, menggalang dukungan atau sekedar meminta doa. Inilah era masifikasi spiritualitas miskin makna.
Dalam konteks ini, pertama, agama dan mau tidak mau harus dimaknai lebih dari sekedar fashion mode atau sekedar pengakuan yang diucapkan secara lisan. Formalitas dan simbolisme tentu saja penting bagi seseorang untuk mendeklarasikan diri sebagai seorang Muslim dan Mukmin. Namun, perenungan (tafakur) dan pemaknaan mendalam (tafaquh bil-qalb) akan membantu seseorang menemukan sisi terdalam simbol dan formalisme. Layaknya shalat, jika dilakukan lebih dari sekedar gerakan dan bacaan, seseoang akan dapat kembali berada dalam orbit Ilahi ketika dihadapkan dengan jebakan disorientasi dan kekusutan hidup. Begitu juga puasa adalah cara Tuhan mendidik manusia agar lebih dekat kepada-Nya sekaligus peka secara sosial kepada sesama.
Kedua, keberimanan sudah selayaknya dijadikan sebagai cermin diri manusia sebagai “spiritual being”, yang sebelum lahir telah diakuinya sendiri. Yakni, ketika manusia yang ada di dalam “genggaman” ruh Allah itu ditanya, “Alastu birabbikum”, “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Janin itu lantas menjawab, “Qalu bala syahidna”, “Ya, saya bersaksi.” Pengakuan ini menandakan bahwa dalam diri manusia itu ada sinyal atau decorder yang setiap saat dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan. Agar sinyal itu tidak terputus, manusia pun diberi sarana ibadah ritual (shalat dan puasa), doa, alunan kalam Ilahi dan amal saleh sosial. Semakin sering sarana ini digunakan dan dilakukan, maka akan semakin kuat dan dekat pula hubungannya dengan Tuhannya. Inilah bagian dari implementasi ihsan dalam rangka menghidupkan hati yang mati oleh tindihan berat duniawi.
Ketiga, menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia tentang-Nya. Dalam bahasa Qs Al-Isra’: 84, “Katakanlah (Muhammad), setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Karena manusia memiliki potensi kreatif yang tak terhingga untuk merancang masa depannya, maka selayaknya orang beriman mampu membebaskan diri dari keberimanan yang mekanistik dan masif-formalistik.
Oleh karena itu, keberimanan yang bisa dikembangkan adalah keimanan yang dapat memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme, yaitu keimanan yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam jagad raya, tetapi inheren dalam hati dan kemanusiaannya tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa hidup dan berorientasi pada Tuhan. Bukankah konsep kejujuran, keterbukaan, kerja keras, kesederhanaan, saling menghargai, tolong-menolong, yang diperlukan dalam kancah globalisasi ekonomi dan informasi sekarang ini adalah konsep-konsep yang berakar pada dan muncul dari agama? Keberimanan model ini lebih memungkinkan menelusup ke dalam relung-relung kapitalisme global yang kering spiritualitas dan tidak peka kemanusiaan.
Ketiga, di balik pencitraan libidonomics yang mengalir deras di media dalam tempo tinggi itu, sesungguhnya terdapat pertarungan besar antara pandangan materialisme kapitalistik dan pandangan yang menjadikan iman sebagai landasan wacananya. Sebagai orang yang beriman patut optimis tatkala masih banyak wacana agama yang ditampilkan, meski terkadang masih syarat dengan hasrat nafsu, parodi dan ironi.
Dalam konteks kekinian, kita tidak mungkin menolak media dengan segala kecanggihannya itu. Namun, yang menarik untuk dilakukan –meski kecil—adalah bagaimana kaum beriman mampu menjadikan media dan pencitraan sebagai satu metode untuk menghidupkan hati, menegakkan yang haq dan mendekonstruksi yang bathil. Semoga kita semua bisa menjalankan rangkaian ibadah di bulan suci Ramadhan tidak sekedar simbol dan pemenuhan formalisme agama, melainkan bagian dari upaya kita untuk mencari jati diri sebagai manusia beriman dan memiliki makna bagi kemanusiaan kita. Amin. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sumenep.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 Tahun 2017