>> Download PDF Khutbah Idul Fitri 1440 H
Oleh: Haedar Nashir
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan Rabbul Izzati. Allah yang melimpahkan nikmat dan karunia-Nya bagi segenap kaum muslimin hingga dapat menunaikan puasa dan ibadah Ramadhan serta menjalankan Sunnah Idul Fitri. Shalawat dan salam terlimpahkan bagi Nabi Muhammad, Rasul pembawa Risalah Islam sebagai misi pencerahan bagi umat manusia di seluruh persada bumi.
Pagi hari ini kaum muslimin di segenap penjuru bumi hingga di negeri ini menunaikan Idul Fitri. Semua mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih, tahmid, dan dzikir kepada Allah yang menggema ke seluruh penjuru negeri dan terhunjam dalam hati. Dengan berdzikir dilanjutkan shalat Idul Fitri yang khusyuk hingga ke relung hati itu dapat menjadi energi ruhani yang menghidupkan jiwa yang fithri untuk menjadi insan muttaqin nan sejati. Semoga kita yang menjalankan seluruh prosesi ibadah yang dituntunkan Nabi itu mendapat anugerah pencerahan diri sekaligus pahala di hadapan Ilahi Rabbi.
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Baru saja kita segenap kaum muslimin selesai menunaikan shaum atau puasa Ramadhan disertai rangkaian ibadah lainnya sebulan lamanya. Dalam Islam, puasa Ramadhan dan ibadahibadah lainnya, tidak berhenti pada ritual semata. Ibadah hakikatnya ialah “taqarrub ila Allah” atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah, menjauhi larangan, dan melaksanakan apa yang diizinkan-Nya sebagaimana disunnahkan oleh Rasulullah. Dari makna ibadah tersebut tebentuk keshalihan seorang muslim yang memiliki hubungan baik dengan Allah (habluminallah) sekaligus hubungan dengan sesama (habluminannas) dan lingkungannya, sehingga terpancar rahmat bagi semesta alam.
Ibadah puasa bertujuan agar menjadikan orang beriman yang menjalankkannya menjadi insan bertakwa sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (Qs Al-Baqarah: 183)
Pertanyaannya, apa yang membekas dalam diri dengan puasa dan rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan setiap tahun itu? Sebuah pertanyaan yang memerlukan refleksi diri setiap muslim yang berpuasa, baik selaku individu maupun kolektif. Benih rohani apa yang dapat ditanam dan dikembangkan dalam kehidupan umat muslim khususnya di negeri yang mayoritas beragama Islam ini. Jawaban normatifnya tentu setiap muslim atau umat Islam makin bertakwa karena sudah tergembleng sebulan setiap setahun sehingga terjadi akumulasi kualitas ketakwaan yang kokoh.
Takwa yang menjadi tujuan puasa, bukan hanya berkaitan dengan iman namun memyangkut hubungan dengan sesama. Di antara ciri orang bertakwa ialah menahan marah dan memberi maaf kepada sesama (Qs Ali Imran: 134-135). Orang bertakwa selain beriman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Nabi, iman Hari Akhir, dan menegakkan shalat, juga mereka yang berzakat, memberi kepada orang miskin, dan berbuat baik kepada sesama (Qs Al-Baqarah: 177).
Insan bertakwa selalu bertaqarrub kepada Allah dan menjalani kehidupan dengan benar, baik, dan patut sesuai tuntunan ajaran Islam. Insan muttaqin itu senantias beriman, berilmu, dan beramal shalih dengan sepenuh hati untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Orang bertakwa itu hidupnya bersih lahir dan batin, disiplin, tanggungjawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa malu ketika salah, serta memiliki kehormatan dan martabat diri yang tinggi selaku manusia yang mulia dan utama.
Insan bertakwa itu mulia perilakunya. Orang bertakwa selalu tergerak untuk berbuat jujur, benar, adil, terpecaya, dan melakukan segala kebaikan untuk dirinya, keluarga, masyarakat, dan umat manusia keseluruhan. Sebaliknya orang bertakwa akan senantiasa menjauhi hal-hal yang salah, buruk, dan tidak pantas dalam kehidupannya. Mereka yang berpuasa harus menjadikan puasanya sebagai kekuatan ruhani membentuk perilaku baik dan terjauh dari perangai buruk buah dari ketakwaan. Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah Nabi bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan melakukan dusta maka Allah tidak lagi memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)
Karenanya, diharapkan dengan ibadah Ramadhan tahun ini makin mengaktualisasikan nilai dan perilaku takwa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Kepada segenap Muslim diajak untuk memulai puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadlan dengan niat ikhlas karena Allah, mengikuti Sunnah Rasululullah, dan mewujudkan amal-amal Islami yang membawa pada kebaikan, kedamaian, kemajuan, dan kebahagiaan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan relasi antarumat manusia universal.
Puasa dan seluruh ibadah yang dilakukan setiap muslim seperti tadarus Al-Qur’an, shalat tarawih atau shalat sunnah lainnya, dan berbagai ritual ibadah yang tampak khusyuk secara lahiriah niscaya menjadikan setiap muslim shalih jiwa, pikiran, dan tindakannya. Lebih-lebih di era media sosial dan politik yang sangat keras atau bebas saat ini, termasuk di tahun politik. Tanamkan jiwa baik terhadap sesama meski yang berbeda agama dan tidak sepaham atau sehaluan pandangan. Hindari ujaran-ujaran yang kasar, keras, panas, dan menyulut situasi konflik di tubuh umat dan bangsa. Jika benar ahli puasa, ahli tadarus al-Qur’an, dan ahli ibadah, maka tampilkan sikap shalih dan ihsan yang sejati dan tidak hanya tampak di luar belaka.
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Puasa yang bertujuan mencapai derajat takwa membuahkan akhlak mulia. Di tengah suasana kehidupan yang serba terbuka saat ini, diperlukan benteng akhlak mulia sebagai perisai dan pencerah akal budi. Media sosial selain bermanfaat sebagai media interaksi yang cepat dan mudah, pada saat yang sama menjadikan penggunanya seolah bebas berujar apa saja. Ujaran perseteruan, kebencian, permusuhan, saling hujat, dan hoaks menjadi hal biasa di media daring tersebut. Hubungan sosial menjadi lebih keras sehingga hilang rasa damai, ketenteraman, dan keadaban.
Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan pun mulai terasa adanya peluruhan nilai-nilai utama yang bersumber pada agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur Indonesia. Politik uang, permusuhan, kebencian, ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), provokasi, dan menghalalkan segala cara seakan legal dalam kehidupan politik di tubuh bangsa ini. Karenanya diperlukan pencerahan akal budi sebagai aktualisasi takwa buah dari puasa khususnya bagi kaum muslimin.
Jadikan puasa dengan segala rangkaian ibadah Ramadhan dan Idul fitri sebagai jalan ruhani untuk mencerahkan akal-budi berbingkai akhlak mulia untuk menebar rahmat bagi semesta alam sejalan misi kerisalahan Nabi untuk “menyempurnakan akhlak mulia” dan menebar “rahmatan lil-‘alamin” dalam kehidupan semesta. Nabi sendiri berakal-budi yang agung sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Qs Al-Qalam: 4).
Nabi Muhammad pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak mengantarkan manusia masuk surga, beliau menjawab: “Taqwallahi wa husnul khuluq”, yakni bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang mulia (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Abu Hurairah). Nabi memperingatkan dalam salah satu hadis yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Bukhari).
Dalam kehidupan yang dilanda krisis moral maka sangat penting dan menentukan ajaran tentang pencerahan akhlak mulia atau al-akhlaq al-karimah dalam Islam, yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbutan utama. Pencerahan akal budi berbasis nilai-nilai amanah, adil, ihsan, kasih sayang, dan akhlak mulia lainnya menjadi penting dalam kehidupan yang seringkali paradoks. Dalam kenyataan Islam atau agama tidak sepenuhnya menunjukkan konsistensi, sebaliknya terjadi hal-hal yang bertentangan antara nilai ajaran dengan perilaku pemeluknya.
Islam mengajarkan adil, ihsan, dan kasih sayang, namun para pemeluknya tidak jarang berbuat dhalim, keburukan, dan permusuhan. Islam mengajarkan kasih sayang, ta’awun, dan ukhuwah, namun pemeluknya berbuat permusuhan dengan sesama insan ciptaan Allah, bahkan dengan sesama seiman. Dalam narasi dan amalan orang Islam rajin shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya secara intensif tetapi sikap dan tindakannya diwarnai amarah, kasar, buruk kata, kebencian, dan permusuhan. Islam hanya sebatas ilmu dan ajaran verbal tetapi tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata, paradoks beragama seperti itulah yang termasuk beragama yang tidak mencerahkan yang dalam Al-Qur’an tergolong dalam perbuatan yang dimurkai Allah (Qs Ash-Shaff: 3).
Pasca puasa dan Idul Fitri setiap muslim penting meningkatkan kualitas akhlak mulia sebagai bagian dari kebaikan imannya. Nabi bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud).
Artinya, orang itu disebut mulia atau yang mulia karena di dalam dirinya tersimpan benih akhlak yang baik. Kemuliaan itu melebur dalam kebaikan perilaku. Dia tahu mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang patut dan tidak patut. Perbuatannya jujur sepenuh hati, tidak asal tabrak, apalagi nifaq. Dalam kemuliaan itu bersenyawa keelokan perilaku. Kata sejalan perilakunya, serta dari dirinya terpancar segala mutiara kebajikan.
Orang yang mulia itu menjaga marwah dirinya laksana menjaga mutiara yang berharga. Boleh jadi perbuatan itu tidak menyalahi aturan, tetapi dari kepatutan sungguh tak layak untuk dilakukan, maka jalan terbaik bagi dirinya menghindari perbuatan yang subhat itu. Apalagi untuk perbuatan yang benar-benar terlarang. Sungguh tak akan ada batasan verbal untuk perbuatan etika kecuali nilai kepatutan. Sumber perbuatan etik itu rasa dan nurani yang autentik, bukan aturan dan hukum formalitas. Itulah dasar kemuliaan berperilaku, al-akhlaq al-karimah.
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan ibadah lainnya meniscayakan kaum muslimin untuk hidup lebih tercerahkan dan berkemajuan. Khusus bagi generasi muda muslim agar hidup lebih seksama dalam mengarungi masa depan penuh tantangan. Jadilah generasi muda “qurrata ‘ayunin” dan “ulul albab” yang senantiasa berdzukir dan berpikir, giat ke masjid, berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua, gemar menuntut ilmu, bekerja keras, mandiri, gigih, bertanggungjawab, dan menjadi orang-orang berakhlak mulia sekaligus unggul dalam segala bidang kehidupan.
Kaum muda muslim harus melangkah ke depan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya. Kalau ada masalah selesaikan dengan cara damai dan berkeadaban mulia, jauhi kekerasan dan tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas. Jadilah generasi yang beriman dan berilmu luas untuk meraih masa depan yang lebih baik dan berdaya saing tinggi sehingga dinaikkan derajat kehidupannya oleh Allah sebagaimana firmanNya: “…Yarfa’illahu ladzina amanuu minkum wa ladzina uutul-ilma darajatin…” Allah akan mengangkat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat.. (Qs Al-Mujadilah: 11). Raihlan masa depan sebagai generasi milenial yang beriman, berilmu, beramal shalih, dan berkemajuan sebagai umat terpilih atau “khaira ummah”. Ingatlah bahwa masa depan itu milik umat yang bertakwa dan bersungguh-sungguh sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs Al-Hasyr: 18).
Pasca Ramadhan dan Idul Fitri ini marilah semua insan beriman berlomba-lomba beramal kebaikan sebagai perwujudan takwa dalam sepanjang hayat. Nabi mengingatkan, “Jika sekiranya manusia mengetahui kebajikankebajikan yang terkandung dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka mengharap-harap agar bulan Ramadhan berlaku sepanjang tahun” (HR Ibn Abdi Dunya). Karenanya, pasca Ramadhan dan Idul Fitri, setiap insan muslim dapat menjalani kehidupan dengan berhias akal budi yang tercerahkan yang berbingkai akhlak mulia sebagai cermin dari takwa hasil puasa.
Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah SwT agar seluruh amal ibadah kita diterima Allah, diampuni dosa dan kesalahan, serta kita selalu berada di jalan-Nya guna meraih ridla serta karunia-Nya. Kita do’akan agar saudara-saudara kita di Palestina, Rohingya, dan di kawasan lain yang nasibnya masih menderita untuk diringankan dan diberi kebebasan oleh Allah Yang Maha Segalanya. Kita berdo’a bagi saudara-saudara kita yang sakit dan sedang terkena musibah di mana pun berada agar diberi kesembuhan, kesabaran, keringanan, dan keberkahan oleh Allah Yang Maha Rahman dan Rahim.
—
Dr Haedar Nashir, MSi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015-2020