Abdullah Tjan: Generasi Tionghoa Muslim Pendiri Muhammadiyah Tobelo

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Saat kita membicarakan kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di Kepulauan Maluku, terutama Tobelo, ada satu nama yang tak bisa diabaikan peranannya: Abdullah Tjan. Tjan, yang dikenal pula sebagai Abdullah Tjan Hoatseng, adalah Muslim keturunan Tionghoa dari keluarga Tjan yang dilahirkan pada 1877, ketika Indonesia masih berada di bawah kolonialisme Belanda. Berbeda dengan sebagian warga Indonesia keturunan Tionghoa di zamannya yang menganut Islam melalui konversi, keluarga Tjan diketahui sudah lama menganut Islam, yakni lima generasi. Itu artinya, sejak ayah dari ayah kakeknya Abdullah Tjan.

Keluarga Abdullah Tjan awalnya menetap di Ternate, namun belakangan pindah ke Tobelo, Halmahera Utara. Di masa mudanya, Tjan pernah belajar agama kepada seorang ulama terkemuka dari Batavia yang dikenal sebagai mufti Betawi, Sayyid Usman bin Yahya. Ia pernah pula bekerja di perusahan perkapalan Belanda, KPM, serta sebagai seorang pejabat di KUA.

Keluarga besar Tjan adalah keluarga muballigh yang sangat aktif di Muhmmadiyah. Selain dirinya, adiknya (B.H. Tjan) dan putra-putranya (Muhammad Tjan dan Ibrahim Tjan) juga aktif dalam menyiarkan ajaran Islam dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah di Tobelo.

Sebagai Muballigh Muhammadiyah

Organisasi-organisasi Islam yang bersifat nasional dan berpusat di Jawa mulai memasuki Kepulauan Rempah sejak akhir 1920an, ditandai dengan berdirinya Muhammadiyah Groep Galela yang dibentuk pada 17 September 1928 dan diketuai oleh Haji Muhammad Amal. Cabang Muhammadiyah di Ambon berdiri sejak 1933. Di tahun-tahun berikutnya, perkembangan Muhammadiyah kian pesat, ditandai dengan kehadiran organisasi ini di Weda, Tidore, dan Morotai. Muhammadiyah di Maluku melambangkan usaha organisasi ini untuk memurnikan ajaran Islam serta menyebarkan ide tentang modernisme dan kemajuan Islam, khususnya melalui lembaga pendidikan, di Hindia Belanda bagian timur.

Abdullah Tjan sendiri aktif sebagai pimpinan Muhammadiyah sejak 1928, saat ia diangkat sebagai Ketua I Muhammadiyah Halmahera Utara yang kala itu dipimpin oleh Haji Muhammad Amal. Lantaran Tjan melihat penyiaran Islam di Tobelo masih jauh tertinggal, ia tergerak untuk membentuk Muhammadiyah Tobelo. Tjan dan kawan-kawannya berhasil mewujudkan rencana ini pada 1934. Salah satu tanda awal dari eksistensi Muhammadiyah di Tobelo adalah sebuah gedung yang akan dipakai untuk sekolah Muhammadiyah.

Akan tetapi, muncul persoalan izin. Pemerintah Kolonial tidak memperbolehkan pendirian Muhammadiyah di Tobelo. Setelah berkorespondensi dengan PB Muhammadiyah di Yogyakarta—dan mendapat jawaban agar usaha pendirian Muhammadiyah di Tobelo tetap dilanjutkan tanpa perlu menunggu izin pemerintah— Tjan dan para koleganya memutuskan untuk jalan terus. Muhammadiyah Tobelo akhirnya terbentuk pada 1930. Posisi ketua dipegang oleh A Gani Datuk Bandaharo Alam, sementara Abdullah Tjan menjabat sebagai Ketua II. Langkah awal yang dilakukan setelah terbentuknya kepemimpinan ini ialah mendirikan Madrasah Muhammadiyah.

Di samping terbentuknya kepemimpinan Muhammadiyah, sejak pertengahan 1930an itu dibangun pula berbagai sekolah Muhammadiyah di Ternate, Galela, Weda, dan Tobelo sendiri, serta kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan. Untuk memenuhi kebutuhan muballigh, Muhammadiyah di Maluku mengikuti kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta yang menghadirkan dai dan guru agama dari kawasan lain Hindia Belanda. Muhammadiyah Tobelo dan Galela, umpamanya, mendatangkannya dari Padang dan Padang Panjang.

Dakwah Abdullah Tjan

Abdullah Tjan berdakwah di suatu lingkungan yang mempertemukan tiga entitas berbeda yang mewarnai dunia Maluku kala itu: Belanda, Misi Kristen, dan Islam. Gerakan penyebaran agama Kristen atau zending telah memusatkan perhatiannya pada Tobelo sejak paroh kedua abad ke-19. Kendati rezim sudah berganti, dari Hindia Belanda, Jepang, kemudian Republik Indonesia, posisi Tobelo sebagai salah satu pusat Kristen di Maluku masih tetap bertahan hingga paroh kedua abad ke-20, masa ketika Abdullah Tjan masih tetap aktif berdakwah di sana. Rivalitas antara zending Kristen dan dakwah Islam di Tobelo tampak dalam soal lembaga pendidikan. Pada 1940, misalnya, Muhammadiyah Tobelo membuka Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dan Madrasah Wustha Muhammadiyah. Ketua yayasannya tak lain dari adik Tjan sendiri, B.H. Tjan. Pihak Kristen dan Katolik merespons pembangunan sekolah Muhammadiyah ini dengan mendirikan sejumlah sekolah pula di Tobelo.

Muballigh dan guru Muhammadiyah yang dikirim dari Minang, Syamsuddin Yusuf, berhasil membawa sekolahsekolah Muhammadiyah di Tobelo ke level yang lebih tinggi. Di kedua sekolah tersebut tidak hanya bahasa Arab dan bahasa Indonesia saja yang diajarkan, tetapi juga bahasa Inggris bahkan bahasa Perancis. Kemajuan ini terhenti saat Jepang datang pada 1942. Kekejaman Jepang menyebabkan matinya aktivitas Muhammadiyah Tobelo selama dua dekade lebih.

Baru pada 1964 Muhammadiyah muncul kembali di Tobelo. Inisiatif diambil oleh putra Abdullah Tjan, Muhammad Tjan. Tjan yunior, bersama-sama dengan Yahya Muhammad Saleh, seorang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta asal Halmahera, membentuk kepemimpinan baru Muhammadiyah Tobelo. Sejak saat itu, Muhammadiyah Tobelo kembali menggiatkan usaha dakwah dan pendidikannya, kendati harus jatuh bangun menghadapi berbagai tantangan.

Masjid Raya Tobelo (Dok Muhammadiyah Halmahera Utara)

Abdullah Tjan dan Masjid

Dakwah Abdullah Tjan terutama sekali dijalankan di Kampung Gamsung. Tjan memusatkan dakwahnya di masjid. Ia menghidupkan masjid dengan melibatkan kaum Muslim di sekitarnya dalam berbagai kegiatan keislaman, seperti dengan pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat Tarawih. Peringatan hari besar Islam juga dilakukan untuk menyemarakkan aktivitas keislaman di sana. Abdullah Tjan sendiri bertindak sebagai imam shalat, dan sebagai imam ia berhasil mendorong kaum Muslimin untuk berbondongbondong datang ke masjid.

Perkembangan Muhammadiyah Tobelo melahirkan efek lanjutan berupa kian aktifnya Aisyiyah di tempat yang sama. Aisyiyah Tobelo bahkan bisa mengupayakan pembangunan sebuah Mushalla Muslimah berukuran 10 X 11 m pada 1978. Dana dan bahan bangunan diperoleh baik dari sumbangan para simpatisan Muhammadiyah maupun dari pemerintah setempat.

Hingga periode 1960an, Tjan menjabat sebagai imam di Masjid Tobelo. Ia meninggal pada 4 Juli 1970. Salah satu warisan dari Haji Abdullah Tjan yang masih ada hingga sekarang ialah Masjid Tobelo. Masjid ini diresmikan 9 Oktober 2015. Namun, pembangunannya sudah dimulai sejak lima dekade silam. Pada 1968, Haji Abdullah Tjan meletakkan batu pertama untuk pendirian masjid ini. Pada mulanya, masjid ini dinamakan Masjid Subulussalam, lalu pada era 1990an dinamai dengan Masjid Al-Amin. Kini, masjid yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Masjid Raya Tobelo ini merupakan salah satu masjid paling indah di Maluku, sekaligus sebagai penanda eksistensi Muhammadiyah sejak delapan dekade yang lalu, dengan Haji Abdullah Tjan sebagai perintisnya.

Muhammad Yuanda Zara PhD, Sejarawan

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 Tahun 2017

Exit mobile version