SLEMAN, Suara Muhammadiyah– Program Studi Komunikasi Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta berkerjasama dengan Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan Diskusi Ilmiah Bulanan Komunikasi (DIBKOM) dengan mengangkat tema “Saring sebelum Sharing dalam Perspektif Sosial, Media, Keluarga dan Kesehatan” di Hall Baroroh Barried Lantai 4 Kampus Terpadu UNISA Yogyakarta.
Kaprodi Komunikasi UNISA Yogyakarta Wuri Rahmawati mengungkapkan selain civitas akademika UNISA Yogyakarta, peserta juga berasal dari Universitas Ahmad Dahlan, Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta, RS PKU Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia,Kemenag DIY, Universitas Negeri Jakarta, Kwik Kian Gie Bussiness School, UPN Yogyakarta dan Universitas Negeri Yogyakarta.
Wakil Rektor I UNISA Taufiqur Rahman dalam sambutannya menyampaikan, maraknya berita hoax di media sosial perlu menjadi perhatian bersama. Tak hanya bagi pemerintah, masyarakat pun dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menerima dan menyebarluaskan suatu berita atau informasi. Di era yang serba teknologi berbagai informasi tersebar dengan mudahnya. Saring sebelum Sharing menjadi bagian penting untuk mencegah peredaran hoax.
Kini semua orang bisa menjadi ahli untuk memberikan informasi. Banyak orang yang memiliki ilmu yang sedikit namun memiliki kemampuan dalam memanipulasi media. “Hal inilah yang terjadi di media sosial sekarang ini. Beberapa hari ini situasi politik cukup menghangat hingga pemerintah perlu ambil langkah dalam menyaring informasi salah satunya dengan aktivitas media sosial yang dibatasi agar isu politik tidak makin memanas,” imbuhnya.
Fake News (hoax) menjadi fatal ketika mampu membahayakan nyawa seseorang. Hoax di bidang kesehatan punya peluang mengancam nyawa seseorang. Beberapa waktu lalu muncul pernyataan bahwa vaksin itu haram. “Ini bisa menyebabkan seseorang meninggal, vaksin itu sebenarnya berguna untuk daya tahan tubuh seseorang. Bagaimana Indonesia mau maju kalau masyarakatnya tidak sehat?” Demikian paparan Devi Rahmawati, Ketua Program Studi Komunikasi Vokasi UI, salah seorang narasumber dalam diskusi.
Tak hanya itu, menurut Devi, masyarakat punya kecenderungan untuk menyebarkan suatu berita yang dinilai emosional. Hal ini bertujuan agar ia bisa berbagi apa yang dirasakannya saat membaca berita tersebut. Saat ini terdapat pula gejala di masyarakat, ketika menyebarkan informasi atau suatu berita yang paling pertama, dianggap sebagai pahlawan informasi. Padahal keakuratan dan kebenaran informasi atau berita yang disebarkan belum dapat dipertanggungjawabkan. “Segala informasi jangan langsung dishare, tetapi harus ada cek dan ricek. Jangan karena ingin dianggap pahlawan, segala informasi langsung dishare tanpa mempertimbangkan keakuratannya,” tutur Devi.
Amelita Lusia, Pengajar Bidang Peminatan Hubungan Masyarakat Program Vokasi UI memaparkan bahwa masyarakat Indonesia dalam sehari menggunakan waktu 8 jam 36 menit untuk mengakses internet dan 3 jam 26 menit di antaranya untuk mengakses media sosial. Media sosial menjadi salah satu tempat yang kerap ditemui berita hoax. “Ini perlu jadi perhatian bagi pemerintah Indonesia. Mungkin salah satu dari kita pernah baca, atau malah pernah menyebarkan berita hoaks,” ujarnya.
Menurutnya, informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Berita hoax umumnya tidak mencantumkan sumber berita yang valid atau tidak bisa diverifikasi. Cenderung tidak memuat dari sisi yang berlawanan atau “cover both side” dan ditulis dengan nada tendensius. Berita hoax kerap menampilkan narasumber anonym.
Reska Herlambang menyampaikan bahwa urutan lima besar informasi hoax paling populer berkaitan dengan isu sosial-politik (91,80%), Sara (88,60%),Kesehatan (41,20%), makanan dan minuman (32,60%), dan penipuan keuangan (24,50%). Masyarakat perlu berhati-hati dalam mempercayai suatu berita, terutama di bidang sosial-politik. Pasalnya, tak sedikit pihak tak bertanggung jawab yang menuliskan berita hoax di bidang tersebut.“Sekarang, orang tidak lagi mencari kebenaran, tapi orang mencari dukungan terhadap keyakinan yang dipercayainya,” tandas Reska. (Riz)