Menatap Wajah Baru Arab Saudi

Menatap Wajah Baru Arab Saudi

Mohammad bin Salman (FAYEZ NURELDINE/AFP/Getty Images)

Oleh : Syarofin Arba MF

Tampaknya Arab Saudi akan segera dihiasi dengan wajah baru. Negara di kawasan Timur Tengah itu tengah bertransformasi dari negara konservatif ke arah yang lebih terbuka dan modern. Sebuah keputusan penting dalam sejarah Saudi.

Kebijakan itu ditempuh setelah selama beberapa tahun terakhir Arab Saudi diterpa krisis ekonomi. Gonjang-ganjing perekonomian Saudi dipicu anjloknya harga minyak dunia. Padahal sekitar 70 persen pendapatan negara Arab Saudi diperoleh dari penjualan minyak. Artinya, selama ini ekonomi Saudi bergantung pada hasil minyak. Alhasil, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan, ekonomi Saudi pun terkena imbasnya.

Harga minyak yang jatuh membuat anggaran pemerintah Saudi menipis. Penghematan dilakukan dimana-mana dan dampaknya cukup besar pada anggaran negara. Perusahaan Saudi, Binladen Group, misalnya, mesti mem-PHK 50 ribu karyawannya akibat krisis ekonomi.

Akibat harga minyak yang anjlok, pada tahun 2015 Saudi mengalami defisit anggaran sebesar 100 miliar dolar AS. Awal Mei 2016 Saudi mendapatkan pinjaman senilai 10 miliar dolar AS dari konsorsium bank internasional. Selain peroalan defisit anggaran, masalah lain yang sedang dihadapi Arab Saudi adalah angka pengangguran yang kian membesar, pembengkakan subsidi, hingga kebutuhan perumahan layak bagi warganya.

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), angka pengangguran di Saudi mencapai 12,1 persen pada tahun 2016. Angka itu termasuk tertinggi sejak tahun 2012. Padahal, hampir separuh populasi Arab Saudi adalah penduduk usia di bawah 25 tahun yang akan segera memasuki usia kerja. Dalam sepuluh tahun ke depan setidaknya ada 5 juta orang Saudi yang membutuhkan lapangan pekerjaan.

Pertumbuhan ekonomi negara kawasan Timur Tengah itu tahun lalu hanya berkisar 0,4 persen. Angka pertumbuhan tahun sebelumnya sekitar 2 persen. Adapun angka inflasi di Saudi mencapai sekitar 4 persen pada tahun lalu, atau meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Angka pertumbuhan yang menurun serta inflasi yang meningkat kian memberatkan roda ekonomi nasional.

Reformasi Saudi

Krisis ekonomi membawa angin reformasi di Arab Saudi. Pemerintah Saudi mesti membanting setir dalam mengelola potensi negara. Menyadari bahwa ketergantungan pada sektor minyak hanya akan menjerumuskan negaranya pada resesi ekonomi, maka mereka tidak lagi bertumpu pada hasil minyak. Sektor-sektor lain mulai dikembangkan.

Terkait hal itu, mereka menyusun reformasi ekonomi bernama Visi Saudi 2030. Penyusunan reformasi itu dipimpin langsung oleh Mohammad bin Salman. Putra mahkota ini juga menjadi ketua Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan, di samping juga menjabat menteri pertahanan.

Pada tanggal 25 April 2016, Visi Saudi 2030 disetujui oleh Dewan Kabinet Arab Saudi. Rincian visi tersebut kemudian diumumkan oleh Mohammad bin Salman. Ia juga meminta dukungan dunia internasional guna terwujudnya visi Saudi sebagai sebuah kerajaan yang terbuka. Ia ingin menjadikan Arab Saudi sebagai negara Islam moderat yang terbuka bagi dunia dan bagi agama apapun.

Proyek untuk mendukung perwujudan visi itu tentu akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Menurutnya, program yang akan diusung di antaranya menambah pendapatan non-minyak dari $ 163 miliar menjadi $ 1 triliun setiap tahunnya. Tambahan juga ada pada proporsi ekspor non-minyak dari 16% menjadi setidaknya 50% produk domestik bruto non-minyak. Yang juga turut bertambah adalah kontribusi sektor swasta terhadap domestik bruto, dari 40% hingga 65%. Tambahan lainnya: meningkatkan investasi, menambah kontribusi usaha kecil dan menengah, serta menaikkan peringkat 25 menjadi 10 besar dalam Indeks Persaingan Global.

Berdasarkan Visi Saudi 2030, dalam 15 tahun ke depan pelbagai agenda kebijakan yang dikenal sebagai Rencana Transformasi Nasional akan dijalankan. Saudi ditargetkan akan mampu melepaskan ketergantungan minyak pada tahun 2020. Upaya itu melalui langkah diversifikasi ekonomi serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi dan pariwisata.

Pada tahun 2030, ekspor non-minyak Arab Saudi akan meningkat hingga 50 persen, atau meningkat enam kali lipat. Saudi menargetkan negaranya akan masuk dalam daftar 15 negara terkaya di dunia (saat ini Saudi berada di peringkat 19 negara terkaya di dunia). Salah satu langkah yang diambil yakni dengan melepas saham perusahaan minyak terbesar di dunia, Aramco. Melalui langkah ini diharapkan pemerintah Saudi akan meraup dana segar senilai 2 triliun dolar AS.

Pada bagian lain, Pemerintah Saudi tampak gencar memberantas korupsi. Mereka membuat undang-undang yang ketat terhadap para koruptor. Mereka menganggap para koruptor ini di samping merugikan keuangan negara juga akan menghalangi aliran dana investasi ke Arab Saudi.

Pemerintah Saudi juga telah mengumpulkan dana Rp 1.429 triliun dari para tahanan kasus korupsi. Para tahanan yang terdiri para pangeran, sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha Arab Saudi itu ditahan di Hotel Ritz-Carlton, Riyadh. Para pangeran dan pebisnis ternama yang ditangkap termasuk Pangeran Alwaleed bin Talal yang memiliki perusahaan investasi global Kingdom Holding dan Waleed al-Ibrahim yang mengontrol perusahaan penyiaran regional MBC.

Bukan itu saja. Sejumlah kebijakan baru terkait keberadaan kaum wanita diterapkan pula oleh pemerintah Saudi. Di antaranya memperbolehkan kaum wanita untuk bekerja, menyetir mobil, menonton bioskop, melihat pertandingan sepak bola, dan bekerja sebagai penyidik.

Pemerintah Saudi menerapkan kebijakan terkait diversifikasi ekonomi, mulai dari investasi di tambang mineral dan produksi peralatan militer. Pihak Saudi juga akan menerapkan sistem visa baru yang memungkinkan orang asing Muslim bekerja jangka panjang di Arab Saudi.

Menurut Managing Director dan Chief Executive King Abdullah Economic City (KAEC) Fahd al Rasheed, Arab Saudi akan mendiversifikasikan perekonomiannya pada pembangunan kota-kota besar. Ekonomi domestik akan berubah dari minyak menjadi bisnis perkotaan. Kini di Saudi telah terlihat pertumbuhan pembangunan di bidang infrastruktur seperti industri pelabuhan, wisata dan perumahan. Di bidang wisata misalnya telah dibangun wisata pantai memanjang di daerah Masjid Apung di Kota Jeddah.

Pada akhir 2017, Pemerintah Saudi mengumumkan akan membangun mega-city senilai 500 miliar dolar AS. Proyek raksasa ini bertujuan untuk mendiversifikasi ekonominya agar lebih fokus pada energi terbarukan.

Hal lain yang juga menarik: kerajaan di bawah pimpinan Raja Salman itu akan mengembangkan zona ekonomi baru. Zona ekonomi khusus itu berada di lokasi berjarak 470 km dari pesisir Laut Merah. Area ini konon akan dibuat menjadi kawasan bebas layaknya Dubai di Uni Emirat Arab.

Program pengembangan zona tersebut merupakan langkah untuk meninggalkan ketergantungan negara itu pada minyak sehingga perekonomian ditopang oleh beragam aspek. Zona ekonomi tersebut ditargetkan rampung pada tahun 2025. Kawasan itu akan memanfaatkan energi angin dan matahari. Di samping itu, program tersebut juga merupakan langkah solutif atas kebutuhan lapangan kerja dan sekaligus pengentasan pengangguran.

___

Syarofin Arba MF. Direktur Center for Study of Regional Development (CESRED), kini tengah mengadakan riset tentang ekonomi-bisnis dan ketenagakerjaan di Arab Saudi

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 Tahun 2018

Exit mobile version